CNBC Indonesia Research

Mengapa Inflasi Dikendalikan, Apa Itu Inflasi Jahat vs Baik?

Research - Muhammad Maruf, CNBC Indonesia
04 November 2022 07:50
Pedagang menakar beras literan di pasar Kebayoran Lama, Jakarta, 1/11. Ekonomi Indonesia mengalami deflasi pada Oktober 2022 sekaligus angka inflasi menurun secara tahunan. (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki) Foto: (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Jika uang ibarat darah dalam perekonomian, maka inflasi adalah kolesterolnya. Jadi mengendalikan inflasi sangat penting bagi kesehatan ekonomi sebuah negara, seperti juga Indonesia. Mengapa bahasanya dikendalikan bukan dibasmi?

Inflasi adalah kenaikan harga-harga secara umum di suatu wilayah-di Indonesia adalah catatan harga di 90 kota yang dicatat Badan Pusat Statistik (BPS) dan diumumkan setiap awal bulan. Lawan katanya adalah deflasi, penurunan harga-harga. Inflasi, seperti juga kolesterol, ada yang baik dan ada yang jahat.

Inflasi menjadi 'jahat' bila kadarnya terlalu tinggi, sehingga menggerus pertumbuhan ekonomi, sementara inflasi 'baik' ada pada level tertentu yang diperlukan untuk menggerakkan ekonomi.

Inflasi tinggi bikin hidup rakyat sulit karena harga barang dan jasa mahal, sementara inflasi terlalu rendah tidak menarik bagi pengusaha untuk berbisnis karena tidak menjanjikan keuntungan maksimal. Inflasi yang baik adalah inflasi yang sedang-sedang saja, moderat.

Inflasi Oktober 5,71% (dibandingkan tahun lalu/yoy), atau 4,73% (inflasi kalender/ akumulasi Januari-Oktober) adalah jahat, terlalu tinggi. Inflasi yang dianggap baik adalah 3,0% untuk 2022 dan 2023, dan 2,5% untuk 2024. Ini telah ditentukan oleh pemerintah via menteri keuangan, dan Bank Indonesia (BI) oleh undang-undang diberi mandat untuk menjaganya.

Bank Indonesia menjaga inflasi dengan dua cara. Satu, dengan menjaga kenaikan harga barang dan jasa di dalam negeri, kedua menjaga nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya mata uang utama dunia dolar Amerika Serikat.

Sebagai bank sentral di negara lain, BI diberikan dua alat utama untuk menjaga inflasi pada target yang ditentukan; suku bunga dan operasi moneter. Bila inflasi tinggi, bank sentral menaikkan suku bunga, dengan harapan bank-bank ikut menaikkan suku bunga deposito, sehingga orang lebih memilih menabung dari pada berbelanja.

Bila orang mengurangi belanja, maka permintaan turun, sehingga otomatis harga-harga menyusul, dan inflasi terkoreksi.

Sebaliknya, bila inflasi rendah, BI menurunkan suku bunga sehingga orang lebih memilih berbelanja dari pada menabung. Bahkan diharapkan, masyarakat meminjam uang di bank untuk berbelanja atau usaha, sehingga belanja naik, harga naik, sementara pengusaha tertarik untuk meluaskan usaha, ujung-ujungnya tercipta lapangan kerja.

Alat kedua, operasi moneter dilakukan dengan cara menjual dan membeli surat berharga, dalam hal ini surat utang pemerintah. Saat ini BI melaksanakan operasi kembar, atau operation twist. Yakni menjual surat berharga jangka pendek dan membeli yang jangka panjang. Harapannya, bank lebih memilih menggunakan uang tabungan nasabah untuk membeli surat berharga BI daripada menyalurkannya menjadi kredit.

Dua cara di atas intinya adalah cara untuk mengurangi jumlah uang beredar di masyarakat via bank-bank. Dengan jumlah uang yang lebih sedikit, maka diharapkan harga barang turun. Namun, cara seperti ini menyakitkan banyak orang, warga biasa seperti anda dan saya. Karena tiba-tiba, suku bunga cicilan naik, dan lowongan kerja jadi lebih sedikit.

Sementara cara BI untuk menstabilkan nilai tukar adalah dengan juga memainkan dua alat di atas-mempersedikit jumlah rupiah-ditambah dengan invervensi langsung di pasar uang. Cara ini seperti upaya 'bawah tangan' bank sentral karena sejatinya Indonesia menganut rezim nilai tukar mengambang bebas, sehingga tidak boleh ada intervensi regulator-aturan yang sejak 2008 juga dilanggar banyak negara.

Caranya, 'meminta' bank-bank pelat merah menjual dolar AS, sehingga jumlah dolar di pasar bertambah, dengan harapan 'harga' dolar terhadap rupiah turun. Ini menjelaskan mengapa cadangan devisa kadang turun banyak saat nilai tukar dolar menguat terhadap rupiah dimana BI berupaya menstabilkannya.

Upaya moneter bukan satu-satunya jalan untuk mengendalikan inflasi. Pemerintah bisa juga dengan menggunakan alat kebijakan fiskal, yaitu dengan tidak ekspansi atau mengurangi belanja dan subsidi. Namun, cara ini tidak popular secara politik, karena-bayangkan saja-pemerintah sengaja mengurangi subsidi agar masyarakat enggan berbelanja. Ini bisa menimbulkan kegaduhan.

Cara lain yang sebetulnya tidak menyakitkan, bahkan menyehatkan ekonomi adalah dengan memperbaiki jalur distribusi barang, menumpas oligopoli, monopoli di sisi penyediaan barang dan jasa. Ini mencakup membasmi pungutan liar oknum-oknum polisi dan PNS dinas perhubungan di jalanan terhadap pengendara truk. Termasuk juga, memperbaiki tata niaga produksi dan distribusi barang kebutuhan pokok.

Dengan begitu, harga barang dan jasa tidak mahal karena komponen biaya pengadaannya lebih murah. Bayangkan saja, biaya logistik di Indonesia itu mencapai sekitar 20% dari total produk domestik bruto (PDB) salah satu yang termahal di dunia.

Biaya tinggi tidak hanya dari pungli, tetapi dari jalan yang jelek, hingga pengurusan izin transportasi yang sulit. Inilah mengapa, presiden Joko Widodo cukup agresif membuat jalan tol agar, biaya distribusi dapat ditekan.Sayang, cara ini efeknya tidak cepat alias jangka panjang.

Apalagi masalah tata niaga yang cenderung gelap dan banyak mafia. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan baru baru ini bilang, penyediaan kedelai dan terigu di Indonesia dimonopoli oleh satu orang, sementara minyak goreng dikempit oleh oligopoli tujuh pemain besar. Ini yang sebenarnya membuat harga barang di Indonesia sering naik seenaknya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(mum/mum)

[Gambas:Video CNBC]