Newsletter

Sentimen Masih Ngeri-Ngeri Sedap, Mampukah IHSG Bangkit?

Maesaroh, CNBC Indonesia
10 October 2022 06:05
Masih Dihantui Virus Corona, IHSG Merah. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Masih Dihantui Virus Corona, IHSG Merah. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia pekan lalu mencatatkan kinerja yang mengecewakan. Baik Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, ataupun pasar Surat Berharga Negara (SBN) kompak melemah.

Ambruknya pasar keuangan domestik tidak bisa dilepaskan dari meningkatnya ketidakpastian global, ancaman resesi, kekhawatiran akan stagflasi, rontoknya rupiah, serta lesunya bursa saham Amerika Serikat (AS).

Pada perdagangan terakhir pekan lalu, Jumat (7/10/2022), IHSG ditutup melemah 0,7% di 7.026,78. Sebanyak 178 saham menguat, 360 saham turun, dan 152 saham stagnan. Investor asing juga mencatatkan net sell sebesar Rp 1,3 triliun di semua pasar.

Pada pekan lalu, IHSG sebenarnya lebih banyak bergerak di zona positif. Dalam lima hari perdagangan, IHSG hanya dua kali berakhir di zona merah yakni pada Senin dan Jumat. Tiga hari perdagangan lainnya berakhir di zona hijau.

Dalam sepekan, investor asing juga masih mencatatkan net buy yakni sebesar Rp 4,77 triliun di seluruh pasar.  Namun, secara keseluruhan, IHSG masih melemah 0,20% dalam sepekan. Artinya, IHSG sudah ambruk selama dua pekan beruntun karena pekan sebelumnya IHSG pun jatuh 1,92%.

IHSG jeblok salah satunya karena data inflasi dalam negeri. Indonesia mencatatkan inflasi sebesar 1,17% (month-to-month) pada September yang merupakan rekor tertingginya sejak Desember 2014.

Lonjakan inflasi akibat dari kenaikan harga BBM subsidi tersebut bisa menekan daya beli masyarakat dan pertumbuhan. Kondisi ini bisa membuat keuntungan banyak perusahaan, termasuk berbasis consumer goods, akan tergerus.

Kekhawatiran investor semakin meningkat setelah pada Kamis (6/10/2022) Perkumpulan negara-negara produsen minyak mentah dunia, OPEC+ sepakat untuk memangkas produksi minyak mentahnya hingga 2 juta bare per hari (bph) mulai November 2022.
Keputusan OPEC+ dikhawatirkan membuat harga minyak mentah kembali melambung sehingga inflasi akan sulit diturunkan.

Langkah OPEC juga dikhawatirkan akan mempercepat resesi di sejumlah negara serta menghambat pemulihan ekonomi di sebagian negara lainnya.  Risiko stagflasi dan resesi pun akan semakin menguat jika inflasi sulit dijinakkan sementara pemulihan ekonomi terganggu.

Sejumlah lembaga/institusi juga terus mengingatkan ancaman resesi. Survei terbaru dari perusahaan akuntan multinasional KPMG juga menunjukan kencangnya kekhawatiran resesi. KPMG melakukan survei terhadap 1.300 petinggi perusahaan antara Juli-Agustus.

Survei yang diterbitkan pada Rabu (5/10/2022) kemarin menunjukkan delapan dari 10 petinggi perusahaan percaya jika resesi akan terjadi selambatnya dalam 12 bulan ke depan.

Tak hanya di Indonesia, kekhawatiran resesi dan keputusan OPEC+ untuk memangkas produksi juga membuat bursa Asia Pasifik memerah.

Pada perdagangan terakhir pekan lalu, Jumat (7/10/2022), Indeks Nikkei 225 Jepang ditutup melemah 0,71%, Hang Seng Hong Kong ambles 1,51%, dan Straits Times Singapura turun 0,18%. Indeks ASX 200 Australia merosot 0,8% dan Indeks KOSPI Korea Selatan melemah 0,22%.

Di pasar currency, penguatan dolar Amerika Serikat (AS) membuat nilai tukar rupiah terpuruk. Pada perdagangan terakhir, Jumat (7/10/2022), rupiah ditutup melemah 0,43% ke posisi Rp 15.250/US$. Posisi tersebut adalah yang terendah sejak Senin pekan lalu.

Nilai tukar rupiah memang membukukan penguatan selama hari beruntun pada periode Selasa-Kamis. Namun, secara keseluruhan, dalam sepekan rupiah ambruk 0,16%. Dalam sebulan terakhir, mata uang Garuda bahkan sudah ambruk 2,2%.

Ambruknya rupiah tidak bisa dilepaskan dari keperkasaan dollar AS. Pada pekan lalu, indeks dolar (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,6% ke 112,79. Posisi tersebut masih berada di kisaran tertingginya selama 20 tahun lebih.


Pelemahan mata uang sebenarnya tidak hanya dialami rupiah. Mayoritas mata uang ASEAN juga ambles pekan lalu. Ringgit Malaysia anjlok 0,28% sementara Peso Filipina ambles 0,49% sepekan. Namun, dolar Singapura masih menguat 0,13% sementara baht Thailand naik 0,50% sepekan.

Di pasar SBN, harga mayoritas SBN ditutup melemah pada perdagangan Jumat (7/10/2022). Yield melemah karena investor banyak yang melepas SBN. Hal ini ditandai dengan meningkatnya yield SBN. Imbal hasil (yield) di hampir seluruh tenor SBN naik, kecuali SBN tenor 30 tahun.

Melansir data dari Refinitiv, SBN tenor 30 tahun turun 3,2 basis poin (bp) ke posisi 7,319% pada perdagangan Jumat pekan lalu. Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara naik 6,3 bp menjadi 7,282%.

Banyaknya investor, terutama asing, yang melepas SBN tercatat dari derasnya capital outflow. Bank Indonesia (BI) mencatat sejak awal Januari hingga 6 Oktober 2022 dana asing yang kabur mencapai Rp 167,81 triliun di pasar SBN.

Kinerja SBNFoto: Refinitiv
Kinerja SBN

Beralih ke Negeri Paman Sam, bursa saham Wall Street berakhir di zona merah pekan lalu. Amblesnya Wall Street pada Jumat semakin memperpanjang tren negatif yang sudah berlangsung sejak Rabu pekan lalu.

Pada Jumat (7/10/2022), indeks Dow Jones Industrial Average ditutup melemah 630,15 poin atau 2,11% ke 29.296,79. Sementara itu, indeks S&P 500 anjlok104,86 poin atau 2,80% menjadi 3.639,66 dan indeks Nasdaq Composite ambruk 420,91 poin atau 3,8% ke 10.652,4.

Kendati ambruk pada Rabu-Jumat, secara keseluruhan bursa AS masih menguat sepekan. Dalam sepekan, S&P masih menguat 1,51%, Dow Jones naik 1,99% sementara Nasdaq menanjak 0,73%. Penguatan dalam sepekan ditopang oleh rally besar pada Senin dan Selasa.

Pada Jumat, bursa AS anjlok setelah data tenaga kerja AS untuk September keluar.  Biro statistik Tenaga Kerja AS mengumumkan ada peningkatan jumlah pekerja sebanyak 263.000 pada September. Jumlah tersebut memang jauh lebih rendah dibandingkan 315.000 pada Agustus.  Namun, tingkat pengangguran melandai ke 3,5% pada September 2022 dari 3,7% pada Agustus.

Meskipun penambahan pekerja melandai tetapi angkanya masih terbilang solid. Dengan data yang masih solid, pasar pun berekspektasi jika kebijakan hawkish bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) akan bertahan lama.

 "The Fed tidak akan membantu pasar. Kebijakan mereka untuk mengejar stabilitas harga bahkan bisa membuat pasar saham terkapar," tutur Christopher Harvey, analis dari Wells Fargo Securities, dikutip dari CNBC International.

Kenaikan suku bunga The Fed akan melambungkan dolar AS dan hal ini tidak sepenuhnya membawa keberuntungan bagi perusahaan AS.

Laporan FactSet menunjukkan dari perusahaan yang tercatat di bursa S&P dan sudah melaporkan laporan keuangan pada kuartal III-2022, setengah dari mereka terdampak negatif oleh penguatan dolar AS. Sementara itu, 65% menunjukkan jika mereka terdampak besar oleh ongkos tenaga kerja dan 55% terimbas oleh gangguan rantai pasok.

Analis Wall Street memperkirakan pendapatan perusahaan akan naik 2,4% (year on year) pada kuartal III-2022, terendah sejak kuartal III-2020.

Pada awal perdagangan pekan ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen, salah satunya adalah ambruknya kinerja bursa saham AS pada pekan lalu. Kinerja Wall Street yang mengecewakan bisa menjadi sentiment negatif ke pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia.

Data inflasi AS pada September menjadi fokus utama perhatian pelaku pasar pada pekan ini. Data inflasi AS memang baru akan keluar pada Kamis tetapi jika ekspektasi inflasi AS naik dampaknya sudah bisa menggoyang pasar jauh-jauh hari sebelumnya.

Sebagai catatan, inflasi AS ada Agustus tercatat 8,3% (yoy), melandai dibandingkan Juli yang tercatat 8,5%.


Sentimen lain yang bisa menentukan pergerakan IHSG hari ini adalah masih kencangnya kekhawatiran resesi. Kekhawatiran tersebut telah disampaikan sejumlah lembaga. Dana Moneter Innternasional (IMF) bahkan sudah memberi peringatan berulang mengenai ancaman tersebut.

Managing Director IMF Kristalina Georgieva, Minggu (9/10/2022),  menyatakan bahwa risiko resesi dan ketidakstabilan keuangan terus meningkat. Ia mengatakan prospek ekonomi global 'gelap' mengingat guncangan yang disebabkan oleh pandemi Covid-19, serangan Rusia ke Ukraina, dan bencana iklim di semua benua.

"Kami mengalami perubahan mendasar dalam ekonomi global, dari dunia yang relatif mudah diprediksi ... ke dunia dengan lebih banyak kerapuhan - ketidakpastian yang lebih besar, volatilitas ekonomi yang lebih tinggi, konfrontasi geopolitik, dan bencana alam yang lebih sering dan menghancurkan," katanya dalam pidato di Universitas Georgetown dikutip Reuters, Minggu (9/10/2022).

Dia mengatakan semua ekonomi terbesar di dunia - Eropa, China, dan Amerika Serikat - sekarang melambat, yang mengurangi permintaan ekspor dari negara-negara berkembang, yang sudah terpukul keras oleh harga pangan dan energi yang tinggi.

IMF/Bank Dunia sendiri akan menggelar Annual Meetings pada 10-16 Oktober 2022 di Washington DC. Pada pertemuan pekan ini, mereka akan membahas mengenai situasi perekonomian terkini.

Kekhawatiran juga tengah meliputi semenanjung Korea setelah Korea Utara dikabarkan kembali menembakkan dua rudal balistik pada Minggu pagi (8/10/2022).
Penembakan rudal sebagai balasan atas latihan militer AS, Jepang, dan Korea Selatan.

Mengutip Reuters, Menteri Pertahanan Jepang, Toshiro Ino menyebutkan, kedua rudal mencapai ketinggian 100 km (60 mil) dan mencakup jangkauan 350 km.

Masih terkait ketegangan geopolitik, Presiden AS Joe Biden pada Sabtu (8/10/2022) mengingatkan bahwa ancaman perang nuklir saat ini semakin mendekati kenyataan. Biden mengatakan pernyataan Presiden Rusia Vladimir Putin yang akan mengancam bakal menggunakan senjata nuklir dalam invasinya di Ukraina bukanlah suatu bercandaan.

Biden mengingatkan penggunaan senjata nuklir bisa membawa dunia ke akhir zaman (armageddon).
"Pertama kali sejak krisis rudal Kuba, kami memiliki ancaman langsung penggunaan (dari) senjata nuklir jika pada kenyataannya segala sesuatunya terus berlanjut di jalur yang mereka (Rusia) tuju," seperti dikutip dari Reuters, Sabtu (8/10/2022).

Dari dalam negeri, data yang perlu dicermati pasar hari ini adalah survei konsumen yang akan dikeluarkan Bank Indonesia.  Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada September menjadi penting karena akan mencerminkan perilaku konsumen dalam berbelanja setelah ada kenaikan harga BBM Subsidi awal September lalu serta lonjakan inflasi.

Mandiri Spending Index menunjukkan laju inflasi telah menahan belanja masyarakat. Tingkat belanja di tiga minggu pasca kenaikan harga BBM sedikit lebih rendah dibanding sebelum kenaikan.

"Salah satu pendorong perlambatan pertumbuhan belanja masyarakat karena beban dampak kenaikan BBM," tulis Bank Mandiri dalam laporannya Consumer Updates: Cautious Consumers, Slowing down Spending.

Pelemahan belanja akan mempengaruhi keuntungan banyak perusahaan di Indonesia, terutama yang berbasis consumer goods.

Kendati diselimuti berbagai sentimen negatif,  CEO dari PT Yugen Bertumbuh Sekuritas William Surya Wijaya memperkirakan IHSG akan berpotensi menguat dan kemungkinan bergerak di kisaran  6996 - 7137. Dia menjelaskan peluang kenaikan mulai terlihat dalam jangka pendek. 

"Momentum tekanan masih dapat dimanfaatkan oleh investor untuk melakukan akumulasi pembelian dengan target investasi jangka panjang, hari ini IHSG berpotensi menguat," tutur William dalam analisisnya.

Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:

  •          Laporan Survei Konsumen September 2022 (11:00 WIB)
  •          Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono akan berbicara dalam High-Policy Dialogue on Sustainable Infrastructure and Investment
  •          IMF/Bank Dunia akan memulai annual meetings yang akan berlangsung pada 10-16 Oktober 2022.

Berikut beberapa agenda korporasi:

  •          RUPS Indo Kordsa Tbk (BRAM) pukul 10:00 WIB
  •          RUPS PT Borneo Olah Sarana Sukses Tbk (BOSS) pukul 14: 00 WIB
  •          Tanggal ex Dividen Tunai Interim Reliance Sekuritas Indonesia Tbk (RELI)
  •          Tanggal ex Dividen Tunai Interim PT Dana Brata Luhur Tbk (TEBE)

 

Di bawah ini adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:

alah sejumlah indikator perekonomian nasional:

 

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q II-2022 YoY)

5,44%

Inflasi (September 2022 YoY)

5.95%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (September 2022)

4,25%

Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2022)

(3,92% PDB)

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q II-2022)

(1,1%) PDB

Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q II-2022)

US$ 2,4 miliar

Cadangan Devisa (Agustus 2022)

US$ 123,2 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA


(mae/luc) Next Article Kekuatan Oktober sebagai "Bear Killer" Pudar, IHSG Aman?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular