
Newsletter
Trade War: Bursa Asia Euforia, Wall Street Justru Was-Was
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
15 October 2019 06:42

Jakarta, CNBC Indonesia - Kemarin (14/10/2019), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup naik. Hal serupa juga terjadi pada bursa lain di kawasan Asia.
IHSG kembali finish di zona hijau dengan penguatan sebesar 0,35%. Indeks bursa Taiwan menjadi jawara pada periode perdagangan Senin kemarin dengan apresiasi sebesar 1.63%. Sementara itu indeks bursa China dan Thailand bertengger di posisi runner up dengan kenaikan sebesar 1.15%. Rata-rata penguatan 11 indeks bursa Asia adalah 0.8%.
IHSG dibuka menguat dan menyentuh titik tertingginya secara intraday di level 6.153,578 di awal perdagangan. Walau sempat melemah pada sesi kedua perdagangan, akhirnya IHSG ditutup naik 0,35% ke level 6.126,377. Hijaunya IHSG di detik-detik terakhir ditopang oleh penguatan saham-saham di sektor industri dasar dan kimia yang terangkat 1,82% disusul oleh saham sektor manufaktur yang naik 0.82%.
Saham-saham di sektor pertanian, pertambangan, aneka industri, properti dan juga infrastruktur, utilitas dan transportasi masing-masing mengalami koreksi. Koreksi terdalam dialami oleh saham-saham yang berada di sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi yang anjlok hingga 0,74%.
Asing mencatatkan jual bersih/net sell sebesar Rp. 383,95 miliar pada perdagangan Senin (14/10/2019). Namun secara year to date, asing masih mencatatkan beli bersih/net buy sebesar Rp. 50,3 triliun. Sementara itu investor domestik justru mencatatkan aksi beli bersih sebesar Rp. 384 miliar pada perdagangan kemarin.
Sementara itu nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami depresiasi 0,08%. Pelemahan terhadap dolar juga diikuti oleh beberapa mata uang Asia lainnya seperti Malaysia yang terkoreksi 0,05%, Won Negeri Ginseng yang jatuh 0,1%, Rupee India amblas 0,44% serta dolar Hong Kong yang turun 0,02%.
Beberapa mata uang Benua Kuning yang menguat terhadap dolar pada perdagangan kemarin antara lain, Yuan China, Peso Filiphina, Dolar Singapura dan Taiwan, serta Baht Thailand. Mata uang Negeri Panda menjadi jawara di kawasan Asia dengan penguatan 0,33%.
Menguatnya bursa Asia terutama dipicu oleh euforia tensi dagang yang mulai mengendur antara dua raksasa ekonomi dunia AS-China. Pada pekan lalu tepatnya tanggal 10-11 Oktober, dialog negosiasi dagang kedua negara diselenggarakan di Washington DC dan mencapai kemajuan yang substansial setelah ketegangan terjadi 15 bulan terakhir akibat saling serang lewat kenaikan tarif (tit for tat).
BERLANJUT KE HALAMAN 2 >> Berbeda dengan mayoritas bursa Asia yang ditutup menghijau, indeks utama bursa Negeri Paman Sam justru terkoreksi tipis. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) terkoreksi 29,23 poin atau 0,11% ke level 26.787,36. Indeks S&P 500 terpangkas 4,12 poin atau 0,14% ke level 2.966,15 dan indeks komposit Nasdaq amblas 8,39 poin ke level 8.048,65.
Ketika bursa kawasan Asia masih terimbas euforia akibat hubungan AS-China yang mulai mencair, bursa AS justru masih was-was dan wait and see atas keberlanjutan babak drama perang dagang AS-China.
Indeks utama di bursa AS jatuh setelah mendapat laporan bahwa China masih ingin berdialog dengan AS sebelum menandatangani perjanjian parsial yang diumumkan oleh Presiden Donald Trump Jumat pekan kemarin.
Perang dagang memang belum usai. Dibalik melunaknya ketegangan yang terjadi, masih ada tanda tanya besar terkait dengan keputusan yang diambil oleh kedua belah pihak. Perlu diketahui bersama bahwa poin yang dibahas pada perundingan dagang AS-China pekan lalu belum sepenuhnya mencapai kesepakatan.
Beberapa poin substansial yang menjadi fokus perbincangan tersebut seperti pembahasan terkait kekayaan intelektual dan jasa keuangan, penundaan tarif serta pembelian produk pertanian AS oleh China. AS berjanji akan menunda kenaikan tarif sebesar 30% pada barang China senilai US$ 250 miliar yang seharusnya berlaku per 15 Oktober nanti. Di sisi lain China juga menjanjikan beberapa hal yang salah satunya berupa konsesi pembelian produk-produk pertanian AS senilai US$ 40 miliar – US$ 50 miliar.
Janji China untuk membeli produk pertanian AS dinilai kurang begitu berarti dibandingkan dengan isu tentang devaluasi mata uang Yuan, reformasi kebijakan industri serta kebijakan subsidi yang justru menjadi poin utama yang disasar oleh Trump.
Selain itu Pemerintahan Trump juga belum memberikan putusan yang sama untuk barang-barang dari China yang akan kena tarif tambahan pada Desember nanti seperti ponsel, laptop, mainan dan pakaian yang kena tarif tambahan hingga 15%. Para pejabat kedua negara menegaskan bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan dalam kesepakatan ini.
BERLANJUT KE HALAMAN 3 >> Investor masih perlu mencermati beberapa sentimen utama yang menggerakkan pasar pada hari ini. Setidaknya ada tiga sentimen utama yang investor perlu cermati.
Pertama dan yang paling utama adalah perkembangan perang dagang AS-China. Masih ada waktu kurang lebih empat pekan untuk melihat apakah dalam kurun waktu tersebut hubungan kedua belah pihak masih akan memanas atau tidak sebelum menuju ke perundingan “fase dua”. Investor masih belum bisa tenang sebelum kesepakatan antara AS-China tidak abu-abu dan benar-benar jelas.
Bagaimanapun juga perang dagang yang terjadi selama kurang lebih 15 bulan ini telah membuat perekonomian AS dan China terguncang.
Ekonomi AS tumbuh melambat dicirikan dengan indeks PMI manufaktur yang berada di angka 47,8 terparah sejak 10 tahun terakhir serta indeks PMI jasa AS yang juga melambat dan mencatatkan rekor terendahnya sejak 2016.
Ekonomi China pun tumbuh melambat. Angka pertumbuhan ekonomi China pada kuartal kedua tercatat sebesar 6,2% atau paling rendah dalam 27 tahun terakhir. Selain itu, aktivitas ekspor dan impor China di bulan September juga mengalami kontraksi.
Ekspor China turun 3,2% year on year pada September 2019 menjadi US$ 218,12 miliar setelah turun 1% pada bulan sebelumnya. Penurunan ekspor China di angka 3,2% melebihi perkiraan pasar yang hanya memprediksi besaran kontraksi di angka 3% saja. Selain itu penurunan ekspor di bulan September merupakan yang terendah di tahun ini sejak Februari lalu.
Impor China merosot 8,5% dari tahun sebelumnya menjadi US$ 178,47 miliar pada September 2019. Turun lebih rendah dibandingkan dengan konsensus pasar yang hanya memperkirakan turun sebesar 5,2% saja setelah penurunan 5,6% pada Agustus. Ini adalah penurunan impor tahunan kelima secara berturut-turut.
Kedua, investor juga perlu mencermati pergerakan harga komoditas. Lagi-lagi masih soal perang dagang yang jadi biang kerok harga komoditas seperti minyak dan batu bara tertekan. Kemarin, harga minyak dan batu bara kembali amblas.
Harga minyak kontrak berjangka jenis Brent ditutup melemah 1,92% sementara itu harga minyak acuan jenis West Texas Intermediet/ Light Sweet juga ditutup terkoreksi sebesar 2,03%. Dalam enam bulan terakhir harga minyak Brent dan Light Sweet telah terkoreksi masing-masing sebesar 16,6% dan 15,5%.
Penurunan harga minyak terus terjadi seiring dengan adanya perang dagang AS-China yang membuat kekhawatiran akan menurunnya permintaan minyak mentah dunia. Pasalnya China merupakan salah satu negara importir minyak terbesar di dunia. Selain itu isu oversuplai juga masih membayangi jika negara-negara eksportir minyak OPEC tidak memiliki komitmen kuat untuk memangkas kapasitas produksinya.
BERLANJUT KE HALAMAN 4 >> Ketegangan yang terjadi antara Tehran dan Riyadh juga perlu diwaspadai menyusul peristiwa meledaknya fasilitas kilang minyak Saudi Aramco di Abqaiq dan Khurais pertengahan September lalu serta meledaknya tanker minyak milik Iran Jumat pekan kemarin di dekat pelabuhan Jeddah. Ketegangan yang terjadi telah membuat harga minyak mentah jadi bergerak liar.
Harga batu bara kontrak berjangka ICE Newcastle juga terus membukukan performa yang buruk dalam enam bulan terakhir. Sejak 15 April hingga penutupan perdagangan kemarin harga batu bara telah anjlok 24,2%. Impor batu bara China yang turun 8,1% di bulan September dibandingkan dengan bulan sebelumnya juga menyebabkan batu bara kembali tertekan 1,02% pada perdagangan kemarin.
Harga komoditas lain yang juga perlu dipantau adalah logam mulia emas. Dalam enam bulan terakhir sejak memanasnya perang dagang AS-China, harga emas dunia di pasar spot sudah naik 15,89% secara point to point. Emas menjadi barang yang diburu ketika ketidakpastian global meningkat. Belum jelasnya kesepakatan dagang antara AS-China membuat harga emas kembali naik 0,23% kemarin, walau belum kembali menyentuh level US$ 1.500/ons.
Sentimen ketiga yang juga perlu investor cermati adalah kemungkinan adanya perang dagang lain. Kita perlu kembali melihat poros AS-Eropa. Perang dagang AS-Eropa timbul setelah organisasi perdagangan dunia (WTO) memenangkan gugatan AS atas tuduhan subsidi ilegal Eropa kepada Airbus yang membuat persaingan tidak sehat. Akibatnya kerugian yang dicapai Amerika per tahunnya mencapai US$ 7,5 miliar.
Washington akan mulai menerapkan bea masuk 10% untuk pesawat Airbus dan 25% untuk produk-produk seperti anggur (wine), scotch, wiski serta keju dari benua biru. Bea masuk ini akan berlaku 18 Oktober. Terkait kemungkinan perang dagang AS-Eropa, investor masih perlu memantau apakah akan dikenakan serangan balasan dari pihak Eropa walau keputusan AS sudah sesuai dengan WTO. Jika hal tersebut terjadi tentu ketidakpastian global akan meningkat dan dapat berdampak pada ekonomi dunia yang makin seret.
BERLANJUT KE HELAMAN 5 Berikut adalah agenda dan rilis data ekonomi yang terjadwal untuk hari ini :
• Pidato Gubernur Bank Sentral Jepang (BoJ) (07.30 WIB)
• Rilis data inflasi China bulan September (08.30 WIB)
• Rilis data neraca dagang, ekspor dan impor Indonesia (11.00 WIB)
• Rilis data produksi industri Jepang bulan Agustus (11.30 WIB)
• Rilis data inflasi final Perancis bulan September (13.45 WIB)
Berikut adalah agenda dan aksi korporasi dalam negeri yang terjadwal untuk hari ini :
• RUPS PT Indonesia Kendaraan Terminal Tbk.
• RUPS PT Jasa Armada Indonesia Tbk.
Berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional :
(twg/twg) Next Article Hitung Mundur 'Tanggal Keramat' & Menanti Babak Baru AS-China
IHSG kembali finish di zona hijau dengan penguatan sebesar 0,35%. Indeks bursa Taiwan menjadi jawara pada periode perdagangan Senin kemarin dengan apresiasi sebesar 1.63%. Sementara itu indeks bursa China dan Thailand bertengger di posisi runner up dengan kenaikan sebesar 1.15%. Rata-rata penguatan 11 indeks bursa Asia adalah 0.8%.
IHSG dibuka menguat dan menyentuh titik tertingginya secara intraday di level 6.153,578 di awal perdagangan. Walau sempat melemah pada sesi kedua perdagangan, akhirnya IHSG ditutup naik 0,35% ke level 6.126,377. Hijaunya IHSG di detik-detik terakhir ditopang oleh penguatan saham-saham di sektor industri dasar dan kimia yang terangkat 1,82% disusul oleh saham sektor manufaktur yang naik 0.82%.
Saham-saham di sektor pertanian, pertambangan, aneka industri, properti dan juga infrastruktur, utilitas dan transportasi masing-masing mengalami koreksi. Koreksi terdalam dialami oleh saham-saham yang berada di sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi yang anjlok hingga 0,74%.
Asing mencatatkan jual bersih/net sell sebesar Rp. 383,95 miliar pada perdagangan Senin (14/10/2019). Namun secara year to date, asing masih mencatatkan beli bersih/net buy sebesar Rp. 50,3 triliun. Sementara itu investor domestik justru mencatatkan aksi beli bersih sebesar Rp. 384 miliar pada perdagangan kemarin.
Sementara itu nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami depresiasi 0,08%. Pelemahan terhadap dolar juga diikuti oleh beberapa mata uang Asia lainnya seperti Malaysia yang terkoreksi 0,05%, Won Negeri Ginseng yang jatuh 0,1%, Rupee India amblas 0,44% serta dolar Hong Kong yang turun 0,02%.
Beberapa mata uang Benua Kuning yang menguat terhadap dolar pada perdagangan kemarin antara lain, Yuan China, Peso Filiphina, Dolar Singapura dan Taiwan, serta Baht Thailand. Mata uang Negeri Panda menjadi jawara di kawasan Asia dengan penguatan 0,33%.
Menguatnya bursa Asia terutama dipicu oleh euforia tensi dagang yang mulai mengendur antara dua raksasa ekonomi dunia AS-China. Pada pekan lalu tepatnya tanggal 10-11 Oktober, dialog negosiasi dagang kedua negara diselenggarakan di Washington DC dan mencapai kemajuan yang substansial setelah ketegangan terjadi 15 bulan terakhir akibat saling serang lewat kenaikan tarif (tit for tat).
BERLANJUT KE HALAMAN 2 >> Berbeda dengan mayoritas bursa Asia yang ditutup menghijau, indeks utama bursa Negeri Paman Sam justru terkoreksi tipis. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) terkoreksi 29,23 poin atau 0,11% ke level 26.787,36. Indeks S&P 500 terpangkas 4,12 poin atau 0,14% ke level 2.966,15 dan indeks komposit Nasdaq amblas 8,39 poin ke level 8.048,65.
Ketika bursa kawasan Asia masih terimbas euforia akibat hubungan AS-China yang mulai mencair, bursa AS justru masih was-was dan wait and see atas keberlanjutan babak drama perang dagang AS-China.
Indeks utama di bursa AS jatuh setelah mendapat laporan bahwa China masih ingin berdialog dengan AS sebelum menandatangani perjanjian parsial yang diumumkan oleh Presiden Donald Trump Jumat pekan kemarin.
Perang dagang memang belum usai. Dibalik melunaknya ketegangan yang terjadi, masih ada tanda tanya besar terkait dengan keputusan yang diambil oleh kedua belah pihak. Perlu diketahui bersama bahwa poin yang dibahas pada perundingan dagang AS-China pekan lalu belum sepenuhnya mencapai kesepakatan.
Beberapa poin substansial yang menjadi fokus perbincangan tersebut seperti pembahasan terkait kekayaan intelektual dan jasa keuangan, penundaan tarif serta pembelian produk pertanian AS oleh China. AS berjanji akan menunda kenaikan tarif sebesar 30% pada barang China senilai US$ 250 miliar yang seharusnya berlaku per 15 Oktober nanti. Di sisi lain China juga menjanjikan beberapa hal yang salah satunya berupa konsesi pembelian produk-produk pertanian AS senilai US$ 40 miliar – US$ 50 miliar.
Janji China untuk membeli produk pertanian AS dinilai kurang begitu berarti dibandingkan dengan isu tentang devaluasi mata uang Yuan, reformasi kebijakan industri serta kebijakan subsidi yang justru menjadi poin utama yang disasar oleh Trump.
Selain itu Pemerintahan Trump juga belum memberikan putusan yang sama untuk barang-barang dari China yang akan kena tarif tambahan pada Desember nanti seperti ponsel, laptop, mainan dan pakaian yang kena tarif tambahan hingga 15%. Para pejabat kedua negara menegaskan bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan dalam kesepakatan ini.
BERLANJUT KE HALAMAN 3 >> Investor masih perlu mencermati beberapa sentimen utama yang menggerakkan pasar pada hari ini. Setidaknya ada tiga sentimen utama yang investor perlu cermati.
Pertama dan yang paling utama adalah perkembangan perang dagang AS-China. Masih ada waktu kurang lebih empat pekan untuk melihat apakah dalam kurun waktu tersebut hubungan kedua belah pihak masih akan memanas atau tidak sebelum menuju ke perundingan “fase dua”. Investor masih belum bisa tenang sebelum kesepakatan antara AS-China tidak abu-abu dan benar-benar jelas.
Bagaimanapun juga perang dagang yang terjadi selama kurang lebih 15 bulan ini telah membuat perekonomian AS dan China terguncang.
Ekonomi AS tumbuh melambat dicirikan dengan indeks PMI manufaktur yang berada di angka 47,8 terparah sejak 10 tahun terakhir serta indeks PMI jasa AS yang juga melambat dan mencatatkan rekor terendahnya sejak 2016.
Ekonomi China pun tumbuh melambat. Angka pertumbuhan ekonomi China pada kuartal kedua tercatat sebesar 6,2% atau paling rendah dalam 27 tahun terakhir. Selain itu, aktivitas ekspor dan impor China di bulan September juga mengalami kontraksi.
Ekspor China turun 3,2% year on year pada September 2019 menjadi US$ 218,12 miliar setelah turun 1% pada bulan sebelumnya. Penurunan ekspor China di angka 3,2% melebihi perkiraan pasar yang hanya memprediksi besaran kontraksi di angka 3% saja. Selain itu penurunan ekspor di bulan September merupakan yang terendah di tahun ini sejak Februari lalu.
Impor China merosot 8,5% dari tahun sebelumnya menjadi US$ 178,47 miliar pada September 2019. Turun lebih rendah dibandingkan dengan konsensus pasar yang hanya memperkirakan turun sebesar 5,2% saja setelah penurunan 5,6% pada Agustus. Ini adalah penurunan impor tahunan kelima secara berturut-turut.
Kedua, investor juga perlu mencermati pergerakan harga komoditas. Lagi-lagi masih soal perang dagang yang jadi biang kerok harga komoditas seperti minyak dan batu bara tertekan. Kemarin, harga minyak dan batu bara kembali amblas.
Harga minyak kontrak berjangka jenis Brent ditutup melemah 1,92% sementara itu harga minyak acuan jenis West Texas Intermediet/ Light Sweet juga ditutup terkoreksi sebesar 2,03%. Dalam enam bulan terakhir harga minyak Brent dan Light Sweet telah terkoreksi masing-masing sebesar 16,6% dan 15,5%.
Penurunan harga minyak terus terjadi seiring dengan adanya perang dagang AS-China yang membuat kekhawatiran akan menurunnya permintaan minyak mentah dunia. Pasalnya China merupakan salah satu negara importir minyak terbesar di dunia. Selain itu isu oversuplai juga masih membayangi jika negara-negara eksportir minyak OPEC tidak memiliki komitmen kuat untuk memangkas kapasitas produksinya.
BERLANJUT KE HALAMAN 4 >> Ketegangan yang terjadi antara Tehran dan Riyadh juga perlu diwaspadai menyusul peristiwa meledaknya fasilitas kilang minyak Saudi Aramco di Abqaiq dan Khurais pertengahan September lalu serta meledaknya tanker minyak milik Iran Jumat pekan kemarin di dekat pelabuhan Jeddah. Ketegangan yang terjadi telah membuat harga minyak mentah jadi bergerak liar.
Harga batu bara kontrak berjangka ICE Newcastle juga terus membukukan performa yang buruk dalam enam bulan terakhir. Sejak 15 April hingga penutupan perdagangan kemarin harga batu bara telah anjlok 24,2%. Impor batu bara China yang turun 8,1% di bulan September dibandingkan dengan bulan sebelumnya juga menyebabkan batu bara kembali tertekan 1,02% pada perdagangan kemarin.
Harga komoditas lain yang juga perlu dipantau adalah logam mulia emas. Dalam enam bulan terakhir sejak memanasnya perang dagang AS-China, harga emas dunia di pasar spot sudah naik 15,89% secara point to point. Emas menjadi barang yang diburu ketika ketidakpastian global meningkat. Belum jelasnya kesepakatan dagang antara AS-China membuat harga emas kembali naik 0,23% kemarin, walau belum kembali menyentuh level US$ 1.500/ons.
Sentimen ketiga yang juga perlu investor cermati adalah kemungkinan adanya perang dagang lain. Kita perlu kembali melihat poros AS-Eropa. Perang dagang AS-Eropa timbul setelah organisasi perdagangan dunia (WTO) memenangkan gugatan AS atas tuduhan subsidi ilegal Eropa kepada Airbus yang membuat persaingan tidak sehat. Akibatnya kerugian yang dicapai Amerika per tahunnya mencapai US$ 7,5 miliar.
Washington akan mulai menerapkan bea masuk 10% untuk pesawat Airbus dan 25% untuk produk-produk seperti anggur (wine), scotch, wiski serta keju dari benua biru. Bea masuk ini akan berlaku 18 Oktober. Terkait kemungkinan perang dagang AS-Eropa, investor masih perlu memantau apakah akan dikenakan serangan balasan dari pihak Eropa walau keputusan AS sudah sesuai dengan WTO. Jika hal tersebut terjadi tentu ketidakpastian global akan meningkat dan dapat berdampak pada ekonomi dunia yang makin seret.
BERLANJUT KE HELAMAN 5 Berikut adalah agenda dan rilis data ekonomi yang terjadwal untuk hari ini :
• Pidato Gubernur Bank Sentral Jepang (BoJ) (07.30 WIB)
• Rilis data inflasi China bulan September (08.30 WIB)
• Rilis data neraca dagang, ekspor dan impor Indonesia (11.00 WIB)
• Rilis data produksi industri Jepang bulan Agustus (11.30 WIB)
• Rilis data inflasi final Perancis bulan September (13.45 WIB)
Berikut adalah agenda dan aksi korporasi dalam negeri yang terjadwal untuk hari ini :
• RUPS PT Indonesia Kendaraan Terminal Tbk.
• RUPS PT Jasa Armada Indonesia Tbk.
Berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional :
Indikator | Tingkat |
Tingkat pertumbuhan ekonomi (Q2-2019 YoY) | 5,05% |
Inflasi (September 2019 YoY) | 3,39% |
BI 7 Days Reverse Repo Rate (September 2019) | 5,25% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi Berjalan (Q2-2019) | -3,04% PDB |
Neraca Pembayaran (Q2-2019) | -US$ 1,98 miliar |
Cadangan Devisa (September 2019) | US$ 124,3 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar silahkan klik di sini.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(twg/twg) Next Article Hitung Mundur 'Tanggal Keramat' & Menanti Babak Baru AS-China
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular