
Newsletter
Berharap Tren Penguatan Jumat Akan Berlanjut, Happy Weekend!
Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
13 September 2019 07:40

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dunia yang kondusif diprediksi masih akan tetap berlanjut dan jika tidak aral melintang maka pasar keuangan masih akan berlanjut menghijau hari ini.
Kemarin, pasar saham ditutup terkoreksi cukup dalam meskipun pasar obligasi dan rupiah justru perkasa dan menguat hampir sepanjang hari hingga menembus level psikologis Rp 14.000 per dolar AS.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 39 poin (0,62%) menjadi 6.342 kemarin dari posisi sehari sebelumnya 6.381. Pelemahan itu terjadi setelah 6 hari membentuk tren penguatan yang seakan belum akan putus di tengah kondisi sentimen perang dagang yang masih berada pada periode bulan madu.
Sepanjang hari, indeks kompilasi saham domestik tersebut hanya mengecap nikmatnya zona positif hanya di awal perdagangan, tepatnya tidak lebih dari menit ke-46 setelah pasar dibuka dan selebihnya harus menyelam di zona negatif hingga tutup warung.
Pada saat ditutup, delapan dari sembilan indeks sektoral melemah terutama pada sektor aneka industri dan infrastruktur, sedangkan penguatan hanya terjadi pada sektor properti.
Meskipun menguat di awal perdagangan, pada sesi dua indeks sektor barang konsumsi justru jatuh 0,37%, menandai pelemahan selama 3 hari beruntun.
Saham-saham konsumer terus tertekan seiring dengan rilis data penjualan barang-barang ritel yang mengecewakan.
Melansir Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI) pada hari Selasa (10/9/19), penjualan barang-barang ritel periode Juli 2019 hanya tercatat tumbuh sebesar 2,4% secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu (Juli 2018) yang sebesar 2,9%.
Untuk bulan Agustus, angka sementara menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel hanya tumbuh 3,7% YoY, jauh di bawah pertumbuhan pada Agustus 2018 yang mencapai 6,1%.
Sebagai catatan, sudah sedari Mei 2019 pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak bisa mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan pada bulan Juni, penjualan barang-barang ritel terkontraksi 1,8% secara tahunan. Pada Juni 2018, diketahui ada pertumbuhan sebesar 2,3%.
Saham-saham konsumer yang dilego pelaku pasar pada perdagangan kemarin di antaranya: PT Indofood Sukses Makmur Tbk/INDF (-2,58%), PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Tbk/SIDO (-1,65%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-1,18%), PT Gudang Garam Tbk/GGRM (-1,16%), dan PT Kimia Farma Tbk/KAEF (-0,99%).
Nilai transaksi saham pada perdagangan kemarin dibukukan Rp 8,8 triliun, terdiri dari transaksi reguler Rp 7,32 triliun dan transaksi negosiasi Rp 1,5 triliun. Dari jumlah transaksi itu, kemarin investor asing membukukan jual bersih Rp 491,59 miliar di pasar reguler dan semakin menegaskan arus dana asing keluar (capital outflow) dari pasar saham senilai Rp 11,53 triliun sejak awal tahun.
Di pasar sebelahnya yaitu pasar obligasi, penguatan harga tercermin dari harga wajar yang dirilis PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI/IBPA).
Seri acuan yang paling menguat harga wajarnya adalah FR0078 yang bertenor 10 tahun dengan penurunan yield wajar 4,09 basis poin (bps) menjadi 7,21%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitupun sebaliknya. Yield yang menjadi acuan hasil investasi yang didapat investor juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
Apresiasi pasar obligasi pemerintah hari ini juga tercermin pada indeks harga obligasi wajarnya, di mana indeks INDOBeX Government Total Return milik PHEI/IBPA masih menguat. Indeks tersebut naik 0,34 poin (0,13%) menjadi 260,93 dari posisi kemarin 260,59.
Penguatan SBN hari ini juga membuat selisih (spread) yield obligasi rupiah pemerintah tenor 10 tahun dengan yield surat utang pemerintah AS (US Treasury) tenor serupa yang mencapai 553 bps, melebar dari posisi kemarin 552 bps.
Yield US Treasury 10 tahun turun 0,8 bps hingga 1,72% dari posisi kemarin 1,73%.
BERLANJUT KE HAL 2
Dari mata uang Garuda, rupiah kemarin berhasil menjebol angka level psikologis Rp 14.000 per dolar AS, tepatnya menguat 0,5% hingga Rp 13.985 per dolar AS pada pentupan pasar sekaligus memarkirnya di level terkuat sejak 26 Juli tersebut.
Tidak cuma di hadapan dolar AS, kedigdayaan rupiah juga masih tercatat di depan mata uang lain yaitu riyal Arab Saudi dan yuan China, meskipun bermain tanpa gol dengan euro.
Bukan hanya rupiah, ternyata mayoritas nilai tukar Benua Kuning juga kompak menguat terhadap greenback, nama lain dolar AS, seiring dengan kemesraan yang semakin diumbar China-Amerika Serikat (AS) kepada publik setelah sebelumnya masih baku cakar dengan saling menetapkan kenaikan tarif impor.
Nilai tukar dolar juga ditunjukkan dari posisi Dollar Index, yang sering disebut DXY atau USDX juga, yang melemah semalam hingga 98,42 dari posisi di awal perdagangan 98,62.
Bergeser ke mata uang Uni Eropa, koreksi yang terjadi pada euro kemarin ternyata belum mampu menafikan penguatan euro secara akumulatif 3,5% terhadap dolar AS sejak tengah tahun.
Penguatan didukung oleh momentum pertama kalinya Bank Sentral Eropa (ECB) melontarkan sinyal untuk melonggarkan moneter jika diperlukan menepis ancaman krisis di Benua Biru.
Dan kemarin, bank sentral yang dipimpin Mario Draghi tersebut benar melancarkan stimulus lanjutan yang sudah sesuai dengan prediksi dan kehendak pasar yaitu penurunan suku bunga simpanan bank (deposit rate) sebesar 10 bps menjadi -0,5% dari sebelumnya -0,4%, sementara main refinancing facility tetap sebesar 0% dan suku bunga pinjaman (lending facility) juga masih tetap 0,25%.
Stimulus pembelian aset (quantitative easing/QE) juga diketokpalukan dengan angka 20 miliar euro per bulan mulai awal November hingga waktu yang belum ditentukan, sebagai upaya memperkuat likuiditas keuangan dan mendorong pertumbuhan ekonomi sekawasan.
Langkah Draghi tersebut memang diprediksi akan ngegas dan menjadi jurus sapu jagat karena Draghi akan segera menghabiskan masa kepemimpinannya pada Oktober, sebelum digantikan oleh mantan pimpinan Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Madeleine Odette Lagarde di ECB.
Angin baik tersebut membuat bursa saham Eropa menguat kemarin, di mana indeks DAX di Jerman naik 0,41%, CAC40 di Prancis naik 0,44%, dan FTSE 100 naik tipis 0,09%.
Namun, jangan lupakan bahwa angin tersebut terbentuk di tengah ancaman resesi negara-negara utama dunia, yang kondisinya sedang mencampuradukkan logika karena semakin buruk kondisi ekonomi saat ini justru disorak-sorai dapat memicu penurunan stimulus moneter terutama dengan pemangkasan suku bunga.
Belum lagi warisan yang ditinggalkan Draghi bagi Lagarde dalam program QE, yang tentu akan membuat berang Presiden AS Donald Trump yang tidak akan senang dalam persaingan gombal suku bunga rendah (yang semakin rendah suku bunga seharusnya justru menunjukkan adanya masalah ekonomi di negara tersebut) yang juga semakin tidak masuk akal dan akan menjadi lucu-lucuan.
Positifnya angin pasar keuangan Eropa akibat pencanangan program stimulus juga berlanjut sampai ke Wall Street, di mana kebijakan itu disambut baik pelaku pasar di tengah meredanya ketegangan perang dagang.
Dow Jones Industrial Average mengakhiri hari dengan kenaikan 0,2% ke 27.182,45 alias meningkat tujuh sesi berturut-turut. Indeks S&P 500 yang berbasis luas naik 0,3% dan ditutup pada 3.009,57, sementara indeks Nasdaq Composite Index yang kaya saham-saham teknologi juga naik 0,3% menjadi 8.194,47.
Pasar berada di wilayah positif hampir di sepanjang perdagangan. "Kami berayun ke teritori normal dengan fokus pada perdagangan dan kebijakan moneter," kata analis setempat dari National Securities Art Hogan.
Langkah ECB ini diharapkan akan diikuti oleh The Federal Reserves AS. Diharapkan bank sentral AS ini akan mengambil kebijakan dovish ke depan, yang melindungi pertumbuhan dengan penurunan suku bunga kembali.
Saat ini, pelaku pasar global masih melihat besarnya potensi penurunan suku bunga acuan AS menjadi 1,75%-2,2% adalah sebesar 91,2%, naik dari posisi kemarin 87,7%.
BERLANJUT KE HAL 3
Pertama, faktor angin segar yang masih bertiup dan berputar-putar sudah beberapa lap dari benua ke benua, tampaknya akan berputar lagi ke Benua Kuning pagi ini.
Dari semakin terbukanya AS-China terhadap hubungan mereka yang disambut kemeriahan bursa saham serta potensi terjadinya perjanjian interim yang dibantah sendiri oleh Trump yang juga menjuluki dirinya sendiri 'Your Favorite President'.
Kedua, harga minyak mentah dunia yang tidak jadi naik karena turunnya tensi AS dengan Iran kemarin seakan membuat lega Indonesia yang masih harus menyadari nasibnya sebagai importir bersih (nett importir). Pagi ini, harga minyak mentah WTI masih melanjutkan tren koreksi menjadi US$ 54,96 per barel dari posisi tertinggi dalam 2 pekan terakhir yaitu US$ 57,85 per barel pada 9 September.
Data investasi asing langsung (FDI), China. 14:00.
Neraca perdagangan, Uni Eropa. 16:00.
Penjualan ritel, AS. 19:30.
Allotment IPO PT Telefast Indonesia Tbk (TFAS) 16:15.
Cum dividen bonus PT Asuransi Sinarmas MSIG Tbk (LIFE) 16:15.
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Â
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv) Next Article Siap-siap, Pasar Keuangan Indonesia Bangkit Hari Ini!
Kemarin, pasar saham ditutup terkoreksi cukup dalam meskipun pasar obligasi dan rupiah justru perkasa dan menguat hampir sepanjang hari hingga menembus level psikologis Rp 14.000 per dolar AS.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 39 poin (0,62%) menjadi 6.342 kemarin dari posisi sehari sebelumnya 6.381. Pelemahan itu terjadi setelah 6 hari membentuk tren penguatan yang seakan belum akan putus di tengah kondisi sentimen perang dagang yang masih berada pada periode bulan madu.
Sepanjang hari, indeks kompilasi saham domestik tersebut hanya mengecap nikmatnya zona positif hanya di awal perdagangan, tepatnya tidak lebih dari menit ke-46 setelah pasar dibuka dan selebihnya harus menyelam di zona negatif hingga tutup warung.
Pada saat ditutup, delapan dari sembilan indeks sektoral melemah terutama pada sektor aneka industri dan infrastruktur, sedangkan penguatan hanya terjadi pada sektor properti.
Meskipun menguat di awal perdagangan, pada sesi dua indeks sektor barang konsumsi justru jatuh 0,37%, menandai pelemahan selama 3 hari beruntun.
Saham-saham konsumer terus tertekan seiring dengan rilis data penjualan barang-barang ritel yang mengecewakan.
Melansir Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI) pada hari Selasa (10/9/19), penjualan barang-barang ritel periode Juli 2019 hanya tercatat tumbuh sebesar 2,4% secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu (Juli 2018) yang sebesar 2,9%.
Untuk bulan Agustus, angka sementara menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel hanya tumbuh 3,7% YoY, jauh di bawah pertumbuhan pada Agustus 2018 yang mencapai 6,1%.
Sebagai catatan, sudah sedari Mei 2019 pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak bisa mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan pada bulan Juni, penjualan barang-barang ritel terkontraksi 1,8% secara tahunan. Pada Juni 2018, diketahui ada pertumbuhan sebesar 2,3%.
Saham-saham konsumer yang dilego pelaku pasar pada perdagangan kemarin di antaranya: PT Indofood Sukses Makmur Tbk/INDF (-2,58%), PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Tbk/SIDO (-1,65%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-1,18%), PT Gudang Garam Tbk/GGRM (-1,16%), dan PT Kimia Farma Tbk/KAEF (-0,99%).
Nilai transaksi saham pada perdagangan kemarin dibukukan Rp 8,8 triliun, terdiri dari transaksi reguler Rp 7,32 triliun dan transaksi negosiasi Rp 1,5 triliun. Dari jumlah transaksi itu, kemarin investor asing membukukan jual bersih Rp 491,59 miliar di pasar reguler dan semakin menegaskan arus dana asing keluar (capital outflow) dari pasar saham senilai Rp 11,53 triliun sejak awal tahun.
Di pasar sebelahnya yaitu pasar obligasi, penguatan harga tercermin dari harga wajar yang dirilis PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI/IBPA).
Seri acuan yang paling menguat harga wajarnya adalah FR0078 yang bertenor 10 tahun dengan penurunan yield wajar 4,09 basis poin (bps) menjadi 7,21%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitupun sebaliknya. Yield yang menjadi acuan hasil investasi yang didapat investor juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
Apresiasi pasar obligasi pemerintah hari ini juga tercermin pada indeks harga obligasi wajarnya, di mana indeks INDOBeX Government Total Return milik PHEI/IBPA masih menguat. Indeks tersebut naik 0,34 poin (0,13%) menjadi 260,93 dari posisi kemarin 260,59.
Penguatan SBN hari ini juga membuat selisih (spread) yield obligasi rupiah pemerintah tenor 10 tahun dengan yield surat utang pemerintah AS (US Treasury) tenor serupa yang mencapai 553 bps, melebar dari posisi kemarin 552 bps.
Yield US Treasury 10 tahun turun 0,8 bps hingga 1,72% dari posisi kemarin 1,73%.
BERLANJUT KE HAL 2
Dari mata uang Garuda, rupiah kemarin berhasil menjebol angka level psikologis Rp 14.000 per dolar AS, tepatnya menguat 0,5% hingga Rp 13.985 per dolar AS pada pentupan pasar sekaligus memarkirnya di level terkuat sejak 26 Juli tersebut.
Tidak cuma di hadapan dolar AS, kedigdayaan rupiah juga masih tercatat di depan mata uang lain yaitu riyal Arab Saudi dan yuan China, meskipun bermain tanpa gol dengan euro.
Bukan hanya rupiah, ternyata mayoritas nilai tukar Benua Kuning juga kompak menguat terhadap greenback, nama lain dolar AS, seiring dengan kemesraan yang semakin diumbar China-Amerika Serikat (AS) kepada publik setelah sebelumnya masih baku cakar dengan saling menetapkan kenaikan tarif impor.
Nilai tukar dolar juga ditunjukkan dari posisi Dollar Index, yang sering disebut DXY atau USDX juga, yang melemah semalam hingga 98,42 dari posisi di awal perdagangan 98,62.
Bergeser ke mata uang Uni Eropa, koreksi yang terjadi pada euro kemarin ternyata belum mampu menafikan penguatan euro secara akumulatif 3,5% terhadap dolar AS sejak tengah tahun.
Penguatan didukung oleh momentum pertama kalinya Bank Sentral Eropa (ECB) melontarkan sinyal untuk melonggarkan moneter jika diperlukan menepis ancaman krisis di Benua Biru.
Dan kemarin, bank sentral yang dipimpin Mario Draghi tersebut benar melancarkan stimulus lanjutan yang sudah sesuai dengan prediksi dan kehendak pasar yaitu penurunan suku bunga simpanan bank (deposit rate) sebesar 10 bps menjadi -0,5% dari sebelumnya -0,4%, sementara main refinancing facility tetap sebesar 0% dan suku bunga pinjaman (lending facility) juga masih tetap 0,25%.
Stimulus pembelian aset (quantitative easing/QE) juga diketokpalukan dengan angka 20 miliar euro per bulan mulai awal November hingga waktu yang belum ditentukan, sebagai upaya memperkuat likuiditas keuangan dan mendorong pertumbuhan ekonomi sekawasan.
Langkah Draghi tersebut memang diprediksi akan ngegas dan menjadi jurus sapu jagat karena Draghi akan segera menghabiskan masa kepemimpinannya pada Oktober, sebelum digantikan oleh mantan pimpinan Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Madeleine Odette Lagarde di ECB.
Angin baik tersebut membuat bursa saham Eropa menguat kemarin, di mana indeks DAX di Jerman naik 0,41%, CAC40 di Prancis naik 0,44%, dan FTSE 100 naik tipis 0,09%.
Namun, jangan lupakan bahwa angin tersebut terbentuk di tengah ancaman resesi negara-negara utama dunia, yang kondisinya sedang mencampuradukkan logika karena semakin buruk kondisi ekonomi saat ini justru disorak-sorai dapat memicu penurunan stimulus moneter terutama dengan pemangkasan suku bunga.
Belum lagi warisan yang ditinggalkan Draghi bagi Lagarde dalam program QE, yang tentu akan membuat berang Presiden AS Donald Trump yang tidak akan senang dalam persaingan gombal suku bunga rendah (yang semakin rendah suku bunga seharusnya justru menunjukkan adanya masalah ekonomi di negara tersebut) yang juga semakin tidak masuk akal dan akan menjadi lucu-lucuan.
Positifnya angin pasar keuangan Eropa akibat pencanangan program stimulus juga berlanjut sampai ke Wall Street, di mana kebijakan itu disambut baik pelaku pasar di tengah meredanya ketegangan perang dagang.
Dow Jones Industrial Average mengakhiri hari dengan kenaikan 0,2% ke 27.182,45 alias meningkat tujuh sesi berturut-turut. Indeks S&P 500 yang berbasis luas naik 0,3% dan ditutup pada 3.009,57, sementara indeks Nasdaq Composite Index yang kaya saham-saham teknologi juga naik 0,3% menjadi 8.194,47.
Pasar berada di wilayah positif hampir di sepanjang perdagangan. "Kami berayun ke teritori normal dengan fokus pada perdagangan dan kebijakan moneter," kata analis setempat dari National Securities Art Hogan.
Langkah ECB ini diharapkan akan diikuti oleh The Federal Reserves AS. Diharapkan bank sentral AS ini akan mengambil kebijakan dovish ke depan, yang melindungi pertumbuhan dengan penurunan suku bunga kembali.
Saat ini, pelaku pasar global masih melihat besarnya potensi penurunan suku bunga acuan AS menjadi 1,75%-2,2% adalah sebesar 91,2%, naik dari posisi kemarin 87,7%.
BERLANJUT KE HAL 3
Pertama, faktor angin segar yang masih bertiup dan berputar-putar sudah beberapa lap dari benua ke benua, tampaknya akan berputar lagi ke Benua Kuning pagi ini.
Dari semakin terbukanya AS-China terhadap hubungan mereka yang disambut kemeriahan bursa saham serta potensi terjadinya perjanjian interim yang dibantah sendiri oleh Trump yang juga menjuluki dirinya sendiri 'Your Favorite President'.
Kedua, harga minyak mentah dunia yang tidak jadi naik karena turunnya tensi AS dengan Iran kemarin seakan membuat lega Indonesia yang masih harus menyadari nasibnya sebagai importir bersih (nett importir). Pagi ini, harga minyak mentah WTI masih melanjutkan tren koreksi menjadi US$ 54,96 per barel dari posisi tertinggi dalam 2 pekan terakhir yaitu US$ 57,85 per barel pada 9 September.
Ketiga, tetap jangan dilupakan bahwa euforia pemangkasan suku bunga justru merupakan pertanda sedang ada masalah di makro ekonomi yang harus mendapatkan perhatian ke depannya, minimal dengan disiplin fiskal dan industri yang semakin kondusif.
Keempat, jangan lupa bahwa ini akhir pekan. Pergerakan positif pasar saham, berapapun jumlahnya, seharusnya disyukuri pelaku pasar karena grafik IHSG harus mematahkan keyakinan di akhir pekan biasanya terjadi aksi jual dan bersih-bersih portofolio.
Keyakinan yang berujung mistis tersebut, seharusnya sudah berganti tren karena sejak 16 Agustus hingga pekan lalu, keinginan berlibur akhir pekan dengan senyum lebih lebar masih terjadi karena trennya belum putus. Dan, Jumat ini bukanlah saat yang tepat untuk mengakhiri tren senyum tersebut.
BERLANJUT KE HAL 4
Jumat, 13 SeptemberKeempat, jangan lupa bahwa ini akhir pekan. Pergerakan positif pasar saham, berapapun jumlahnya, seharusnya disyukuri pelaku pasar karena grafik IHSG harus mematahkan keyakinan di akhir pekan biasanya terjadi aksi jual dan bersih-bersih portofolio.
Keyakinan yang berujung mistis tersebut, seharusnya sudah berganti tren karena sejak 16 Agustus hingga pekan lalu, keinginan berlibur akhir pekan dengan senyum lebih lebar masih terjadi karena trennya belum putus. Dan, Jumat ini bukanlah saat yang tepat untuk mengakhiri tren senyum tersebut.
BERLANJUT KE HAL 4
Data investasi asing langsung (FDI), China. 14:00.
Neraca perdagangan, Uni Eropa. 16:00.
Penjualan ritel, AS. 19:30.
Allotment IPO PT Telefast Indonesia Tbk (TFAS) 16:15.
Cum dividen bonus PT Asuransi Sinarmas MSIG Tbk (LIFE) 16:15.
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q2-2019Â YoY) | 5,05% |
Inflasi (Agustus 2019Â YoY) | 3,49% |
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Agustus 2019) | 5,5% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (Q2-2019) | -3,04% PDB |
Neraca pembayaran (Q2-2019) | -US$ 1,98 miliar |
Cadangan devisa (Agustus 2019) | US$ 126,4 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv) Next Article Siap-siap, Pasar Keuangan Indonesia Bangkit Hari Ini!
Most Popular