Newsletter

Gawat, China Sudah Ngegas Lagi & Gaung Resesi Kian Terdengar!

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
28 August 2019 06:43
Gawat, China Sudah Ngegas Lagi & Gaung Resesi Kian Terdengar!
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditransaksikan bervariasi pada perdagangan kemarin (27/8/2019): Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melejit 1,02% ke level 6.278,17, rupiah terdepresiasi 0,11% di pasar spot ke level Rp 14.250/dolar AS, sementara imbal hasil (yield) obligasi seri acuan tenor 10 tahun turun 0,8 bps.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga bergerak di zona hijau: indeks Nikkei menguat 0,96%, indeks Shanghai melesat 1,35%, indeks Straits Times naik 0,07%, dan indeks Kospi bertambah 0,43%.

Kembali hadirnya asa damai dagang AS-China menjadi faktor yang memantik aksi beli di bursa saham Benua Kuning. Berbicara di hadapan reporter di sela-sela pertemuan dengan para pimpinan negara-negara Group of Seven (G-7) di Prancis, Presiden AS Donald Trump menyebut bahwa kedua negara akan mulai berbincang dengan sangat serius.

"China menelepon delegasi tingkat tinggi kami di bidang perdagangan tadi malam dan mengatakan 'mari kembali ke meja perundingan' sehingga kami akan melakukannya dan saya rasa mereka ingin melakukan sesuatu. Mereka telah sangat tersakiti namun mereka sadar bahwa inilah langkah yang tepat untuk dilakukan dan saya memiliki rasa hormat yang besar untuk itu. Ini adalah perkembangan yang sangat positif untuk dunia," kata Trump, dilansir dari CNBC International.

Komentar dari Trump tersebut datang pasca sebelumnya Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin sudah mendinginkan suasana terlebih dahulu. Mnuchin memberi sinyal bahwa AS masih sangat terbuka untuk meneken kesepakatan dagang dengan China, asalkan kesepakatannya merupakan kesepakatan yang adil dan berimbang.

"Jika China setuju terhadap sebuah hubungan yang adil dan berimbang, kami akan menandatangani kesepakatan (dagang) itu dalam sekejap," kata Mnuchin, dilansir dari CNBC International.

Sebelumnya, perang dagang kedua negara tereskalasi menjelang dan pada saat akhir pekan. Eskalasi pertama dari pengumuman China bahwa pihaknya akan membebankan bea masuk bagi produk impor asal AS senilai US$ 75 miliar. Pembebanan bea masuk tersebut akan mulai berlaku efektif dalam dua waktu, yakni 1 September dan 15 Desember. Bea masuk yang dikenakan China berkisar antara 5%-10%.

Lebih lanjut, China juga mengumumkan pengenaan bea masuk senilai 25% terhadap mobil asal pabrikan AS, serta bea masuk sebesar 5% atas komponen mobil, berlaku efektif pada 15 Desember. Untuk diketahui, China sebelumnya telah berhenti membebankan bea masuk tersebut pada bulan April, sebelum kini kembali mengaktifkannya.

"Sebagai respons terhadap tindakan AS, China terpaksa mengambil langkah balasan," tulis pernyataan resmi pemerintah China, dilansir dari CNBC International.

Eskalasi berikutnya datang dari langkah AS yang merespons bea masuk balasan dari China dengan bea masuk versinya sendiri. Melalui cuitan di Twitter, Trump mengumumkan bahwa per tanggal 1 Oktober, pihaknya akan menaikkan bea masuk bagi US$ 250 miliar produk impor asal China, dari yang saat ini sebesar 25% menjadi 30%.

Sementara itu, bea masuk bagi produk impor asal China lainnya senilai US$ 300 miliar yang akan mulai berlaku pada 1 September (ada beberapa produk yang pengenaan bea masuknya diundur hingga 15 Desember), akan dinaikkan menjadi 15% dari rencana sebelumnya yang hanya sebesar 10%.

"...Yang menyedihkan, pemerintahan-pemerintahan terdahulu telah membiarkan China lolos dari praktek perdagangan yang curang dan tidak berimbang, yang mana itu telah menjadi beban yang sangat berat yang harus ditanggung oleh masyarakat AS. Sebagai seorang Presiden, saya tak lagi bisa mengizinkan hal ini terjadi!...." cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump.

Jika dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut bisa segera meneken kesepakatan dagang, tentu perekonomian global bisa dipacu untuk melaju di level yang relatif tinggi.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Klaim Sepihak Trump Kirim Wall Street Melemah Beralih ke AS, Wall Street mencetak koreksi pada perdagangan kemarin: indeks Dow Jones turun 0,47%, indeks S&P 500 melemah 0,32%, dan indeks Nasdaq Composite berkurang 0,34%.

Pada sesi awal perdagangan, optimisme bahwa AS-China bisa segera meneken kesepakatan dagang sukses memantik aksi beli di bursa saham Negeri Paman Sam dan mendorong Wall Strret menghijau.

Trump mengungkapkan bahwa menurutnya pihak China memiliki keinginan yang tulus untuk meneken kesepakatan dagang. Bahkan, menurutnya China “sangat ingin” untuk meneken kesepakatan dagang dengan AS. Alasannya, perekonomian China sudah sangat tersakiti oleh perang dagang yang sudah berlangsung lebih dari satu setengah tahun tersebut.

“Saya tak yakin mereka memiliki pilihan” kecuali meneken kesepakatan dengan AS, terlepas dari apakah mereka ingin atau tidak, kata Trump.

Namun, hal yang ditakutkan kemudian terjadi. Klaim sepihak dari Trump membuat pelaku pasar saham AS panik dan mendorong mereka untuk melego saham-saham di sana.

Pada hari Senin (25/8/2019) malam, Pemimpin Redaksi Global Times Hu Xijin menyebutkan bahwa delegasi tingkat tinggi AS dan China tak menggelar perbincangan melalui sambungan telepon seperti yang dikatakan Trump. Untuk diketahui, Global Times merupakan sebuah tabloid yang berada di bawah naungan People's Daily. People's Daily sendiri merupakan sebuah koran yang dikontrol oleh Partai Komunis China.

"Berdasarkan yang saya tahu, delegasi tingkat tinggi dari China dan AS tidak mengggelar perbincangan melalui sambungan telepon dalam beberapa hari terakhir," tulis Hu melalui akun Twitternya.

Lebih lanjut, Hu menyebut bahwa komunikasi memang terjadi, namun pada level yang jauh lebih rendah, sehingga pernyataan yang dilontarkan oleh Trump tidaklah tepat.  

"Kedua pihak telah menjaga komunikasi di level bawah (technical level), itu tidaklah memiliki signifikansi seperti yang dikesankan oleh Presiden Trump."

Hu pun menyebut bahwa China tak mengubah posisinya dalam hal perang dagang dengan AS.

"China tak mengubah posisinya. China tak akan tunduk kepada tekanan dari AS," kata Hu untuk menutup cuitannya.



Sementara itu, pihak pemerintah China juga membantah klaim dari Trump tersebut. Kemarin malam waktu setempat, China kembali buka suara. China kembali menegaskan bahwa perbincangan melalui sambungan telepon yang dibangga-banggakan oleh Trump tersebut tidak pernah terjadi.

“Saya belum mendengar kejadian terkait dua sambungan telepon yang disebut oleh pihak AS pada akhir pekan,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang, dilansir dari CNBC International.

Klaim sepihak yang dilakukan oleh Trump terkait dengan perkembangan hubungan dagang dengan China dikhawatirkan akan membuat China berang dan menjauhkan kedua negara dari kesepakatan dagang.

Dominannya sentimen perang dagang AS-China membuat rilis data ekonomi yang menggembirakan gagal untuk mengerek kinerja Wall Street. Kemarin, angka indeks keyakinan konsumen AS periode Agustus 2019 diumumkan di level 135,1 oleh The Conference Board, jauh mengalahkan ekspektasi yang sebesar 129,3, seperti dilansir dari Forex Factory.

Tingginya angka IKK menunjukkan bahwa masyarakat AS memandang dengan sangat positif perekonomian di sana, serta mengindikasikan bahwa mereka akan mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk aktivitas konsumsi.

Mengingat lebih dari 50% perekonomian AS dibentuk oleh konsumsi rumah tangga, tentu hal tersebut menjadi kabar baik bagi perekonomian secara umum, sekaligus pasar saham.

Namun ya itu tadi, sentimen perang dagang AS-China yang begitu dominan membuat rilis data ini menjadi tak bisa mendikte pergerakan Wall Street.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini Pada perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama, tentunya kinerja Wall Street yang mengecewakan pada perdagangan kemarin. Mengingat posisi Wall Street selaku kiblat dari pasar saham dunia, patut diduga bahwa koreksi yang dibukukan di sana akan menjalar ke kawasan Asia, termasuk Indonesia.

Kedua, pelaku pasar patut mencermati dinamika yang mewarnai perang dagang AS-China. Seperti yang sudah disebutkan di halaman sebelumnya, China membantah klaim dari Trump dengan menegaskan bahwa perbincangan melalui sambungan telepon yang dibangga-banggakan oleh Trump tidak pernah terjadi.

China justru mengungkapkan kekecewaannya terhadap keputusan AS yang kembali menetapkan bea masuk yang lebih tinggi bagi importasi produk asal China. Menurut Beijing, langkah AS tersebut sama sekali tak konstruktif.

“Sangat disayangkan bahwa AS telah lebih lanjut menaikkan bea masuk bagi produk ekspor China ke AS. Tekanan yang ekstrim ini benar-benar berbahaya bagi kedua belah pihak dan sama sekali tidak konstruktif,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang, dilansir dari CNBC International.

Bisa jadi, dalam waktu dekat perang dagang kedua negara akan kembali tereskalasi dan membuat laju perekonomian kedua negara, berikut dunia, mengalami yang namanya hard landing.

Pada tahun 2018, International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.

Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,331%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,871% saja.

Bahkan, eskalasi perang dagang AS-China bisa membawa perekonomian AS jatuh ke jurang resesi. Berbicara mengenai resesi, kita masuk ke sentimen ketiga yang harus dicermati pelaku pasar.

Dalam beberapa waktu terakhir, yield obligasi AS tenor 2 tahun sempat beberapa kali bergerak melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun. Fenomena ini disebut sebagai inversi.

Untuk diketahui, inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.

Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi. Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan dunia lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan.

Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.

CNBC International mencatat, pada perdagangan kemarin inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun kembali terjadi. Pada satu titik, yield obligasi tenor 2 tahun sempat mengungguli yield tenor 10 tahun hingga sebesar 5 bps, menandai inversi terparah sejak tahun 2007.

BERLANJUT KE HALAMAN 4 -> Simak Data dan Agenda Berikut Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data perubahan cadangan minyak AS (21:30 WIB)

Investor juga perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Nusa Raya Cipta Tbk (NRCA)RUPSLB09:30 WIB
PT Bank Mandiri Tbk (BMRI)RUPSLB14:00 WIB


Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2019)5,05% YoY
Inflasi (Juli 2019)3,32% YoY
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Agustus 2019)5,5%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2019)-3,04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2019)-US$ 1,98 miliar
Cadangan devisa (Juli 2019)US$ 125,9 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA

(ank) Next Article Dikepung Sentimen Negatif, Batu Bara Jadi Obat Galau IHSG?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular