
Newsletter
Bintang Hari Ini: Donald Trump
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
23 July 2018 05:44

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah pekan sebelumnya melesat, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi sepanjang pekan lalu. Sentimen eksternal dan domestik menjadi pemberat IHSG.
Selama sepekan kemarin, IHSG jatuh 1,2%. Investor asing membukukan jual bersih sebesar Rp 800 miliar, karena pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang mencapai 0,7% selama sepekan. Depresiasi rupiah menjadi yang terdalam di antara mata uang Asia.
Seperti rupiah, nasib IHSG pun serupa yaitu mencatatkan penurunan terdalam di antara bursa utama Benua Kuning. Sepanjang pekan lalu, indeks Nikkei 225 melonjak 3,71%, Shanghai Composite naik 0,54%, dan Straits Times melesat 2,01%. Sementara Hang Seng melemah 1,1% dan Kospi turun 0,56%.
Penyebab utama pelemahan rupiah yang menyeret IHSG ke zona merah adalah pidato Jerome Powell, Gubernur The Federal Reserve/The Fed, di hadapan Senat dan Kongres AS. Powell menyatakan bahwa perekonomian AS semakin membaik sehingga kenaikan suku bunga secara gradual adalah kebijakan yang paling tepat untuk saat ini.
Pernyataan Powell memberi energi bagi dolar AS yang kemudian menguat secara global. Berbagai mata uang menjadi korban keganasan greenback, termasuk rupiah.
Selain tekanan dari testimoni Powell yang hawkish, pemberat rupiah juga datang dari Bank Indonesia (BI) yang memutuskan untuk menahan suku bunga acuan 7 day reverse repo rate sebesar 5,25%. Keputusan ini selaras dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia.
Tidak adanya kejutan dari BI membuat investor menjalankan prinsip buy the rumours, sell the news. Ketika sebuah peristiwa masih dalam wacana, maka lakukanlah akumulasi beli. Namun ketika sudah terjadi dan sesuai dengan ekspektasi, maka mulailah menjual.
Sentimen perang dagang juga masih berlanjut dan sedikit banyak ikut memberi tekanan kepada IHSG. Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, yang menyatakan bahwa Presiden China Xi Jinping telah menghambat kemajuan negosiasi perdagangan antara AS-China.
Padahal, bawahan Xi, termasuk penasihat ekonomi senior Liu He, sudah sepakat dengan AS. Xi diklaim telah menolak untuk melakukan perubahan terhadap kebijakan transfer teknologi China, dan kebijakan perdagangan lainnya.
Ketika ditanya mengenai komentar Kudlow tersebut, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying berkata, "Pejabat AS terkait secara tidak terduga mendistorsi fakta dan membuat tuduhan bohong yang mengejutkan dan tidak terbayangkan. Inkonsistensi dan pelanggaran janji AS sudah diketahui secara global," tegasnya, dilansir dari Reuters.
Saling tuduh antara dua raksasa ekonomi terbesar di dunia itu lantas mengindikasikan bahwa perang dagang masih jauh dari kata usai. Eskalasi tensi perang dagang ini lantas membebani perdagangan di bursa regional pada pekan lalu.
Dari Wall Street, tiga indeks utama mencatatkan kinerja variatif sepanjang pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik tipis 0,15%, S&P 500 menguat tetapi nyaris stagnan di 0,02%, sementara Nasdaq turun 0,07%.
Seperti halnya di Asia, Wall Street juga terbeban oleh isu perang dagang. Apalagi akhir pekan lalu muncul kekhawatiran akibat komentar Presiden AS Donald Trump.
"Kita sudah kalah jauh (dalam hal perdagangan dengan China). Saya siap untuk menuju 500," tegas Trump dalam wawancara dengan CNBC International.
Trump memang sudah lama mengeluhkan defisit perdagangan AS dengan China, yang menurutnya sangat tidak adil dan melukai Negeri Paman Sam. Membanjirnya produk China di pasar AS dinilainya mengancam industri dalam negeri dan penciptaan lapangan kerja.
Oleh karena itu, Trump rajin mengancam dengan pengenaan bea masuk terhadap produk-produk China. Terakhir, AS mengenakan bea masuk 25% kepada 818 produk China senilai US$ 34 miliar.
Ancaman Trump berikutnya adalah dia siap menambah bea masuk bagi importasi produk China senilai US$ 500 miliar, itulah yang dimaksud dengan 500. Saat ditanya apakah Trump mengetahui bahwa tindakannya membuat pasar jatuh, eks taipan properti itu bergeming.
"Kalau memang terjadi, terjadilah. Saya tidak melakukan ini untuk politik," ujarnya.
Tidak hanya China, Trump pun 'menembakkan' keluhan ke segala penjuru. Di dalam negeri, korban terbarunya adalah The Fed.
Trump menilai pengetatan moneter oleh The Fed akan menghambat pemulihan ekonomi Negeri Adidaya. Kenaikan suku bunga yang diperkirakan mencapai empat kali sepanjang 2018 membuat dolar AS menguat sendirian, dan itu membuat ekspor AS kurang kompetitif.
"China, Uni Eropa, dan lainnya telah memanipulasi mata uang mereka dan suku bunga ditekan serendah mungkin. Sementara AS menaikkan suku bunga dan dolar AS semakin kuat, menyebabkan kita tidak kompetitif. Seperti biasa, bukan sebuah kesetaraan (level playing field)," cuit Trump melalui Twitter.
Di tengah pusaran badai yang dibuat Trump, Wall Street masih bisa terselamatkan oleh kinerja emiten yang solid. Akhir pekan lalu, raksasa teknologi Microsoft melaporkan laba pada kuartal II-2018 naik 10% menjadi US$ 8,8 miliar. Kenaikan laba tersebut didukung pendapatan yang kuat dari iklan pencarian internet, game, sistem operasi Windows, dan bisnis utama lainnya.
Untuk perdagangan awal pekan ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Sentimen-sentimen tersebut terkait dengan Presiden Trump, yang akan menjadi bintang karena namanya kemungkinan banyak diperbincangkan.
Pertama tentu adalah perang dagang. Pernyataan Trump yang siap mengenakan bea masuk bagi importasi produk China senilai US$ 500 miliar belum sempat direspons oleh pasar Asia.
Oleh karena itu, respons terhadap perkembangan tersebut bisa saja terjadi hari ini dan memukul bursa saham Asia. Saat bursa saham negara tetangga berjatuhan, maka IHSG berpeluang untuk mengikutinya.
Investor juga patut terus memonitor perkembangan nilai tukar dolar AS. Setelah komentar Trump bahwa dolar AS sudah terlalu kuat, greenback sempat tertekan dan melemah secara global. Aksi 'obok-obok' Trump terhadap dolar AS terbukti mendatangkan hasil yang signifikan.
Namun The Fed cukup tenang menghadapi serangan Trump. Meski Trump mengkritik The Fed yang terus menaikkan suku bunga, tetapi Powell dan kolega tidak reaktif. Bahkan mereka dengan tegas menolak segala bentuk intervensi politik dalam kebijakan moneter.
"Kami tidak memasukkan faktor politik dalam pertimbangan (kebijakan)," tegas Powell dalam sebuah acara radio, dikutip dari Reuters.
"Orang-orang boleh berkomentar, termasuk Bapak Presiden dan para politisi lainnya. Namun keputusan dan kebijakan terbaik ditentukan oleh Komite," kata James Bullard, Presiden The Fed St Louis.
Komentar para petinggi The Fed ini bisa melegakan pasar bahwa bank sentral AS akan tetap pada arah kebijakan yang sudah diperkirakan, yaitu menaikkan suku bunga acuan dua kali sampai akhir tahun. Dengan begitu, kenaikan suku bunga acuan menjadi empat kali sepanjang 2018.
Perkembangan ini bisa menjadi suntikan energi bagi dolar AS. Dengan sokongan penuh dari The Fed, kenaikan suku bunga kemungkinan besar masih akan terjadi dan mendorong laju penguatan greenback.
Kenaikan suku bunga akan membuat berinvestasi di AS menjadi menarik karena memperoleh imbal hasil yang lebih. Aliran modal masuk ini akan menjadi fondasi bagi penguatan dolar AS.
Jika benar dolar AS akan menguat, maka mata uang lainnya akan terancam. Rupiah pun bisa tertekan bila dolar AS kembali garang.
Pelemahan rupiah (bila terjadi) akan membuat berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini menjadi kurang menguntungkan, karena nilainya turun ketika dikonversikan ke dolar AS. Investor (utamanya asing) masih akan cenderung keluar, sehingga bisa memberi tekanan kepada IHSG.
Namun, IHSG bisa mendapat angin segar dari harga minyak yang sedang naik. Bila kenaikan ini berlanjut, maka emiten migas dan pertambangan akan mendapatkan lebih banyak apresiasi, yang bisa berdampak kepada IHSG secara keseluruhan.
Namun, kenaikan harga minyak ini sebenarnya dipicu oleh sesuatu yang mengkhawatirkan yaitu potensi konflik AS-Iran. Seperti diketahui, AS sudah keluar dari perjanjian nuklir dengan Iran dan kemungkinan akan menjatuhkan sanksi bagi Teheran. Iran pun semakin lama semakin keras menghadapi ancaman AS.
"Tuan Trump, tolong jangan bermain-main dengan ekor singa karena hanya akan membawa penyesalan. AS harus tahu bahwa perdamaian dengan Iran adalah biangnya damai, sementara peperangan dengan Iran adalah biangnya perang," tegas Hassan Rouhani, Presiden Iran, dalam acara pembekalan kepada para diplomat, dikutip dari Reuters.
Apabila situasi Timur Tengah sampai memanas (mudah-mudahan jangan sampai), maka pasokan minyak dunia akan terhambat karena kawasan tersebut merupakan penghasil utama si emas hitam. Sebab, Iran mengancam akan memblokade jalur ekspor minyak dari kawasan Teluk bila AS sampai menerapkan sanksi. Persepsi penurunan pasokan ini kemudian menyebabkan kenaikan harga.
Namun, kenaikan harga ini masih rentan terkoreksi karena beberapa faktor. Pertama, pelabuhan utama di Libya siap untuk dibuka kembali. Sebelumnya, terjadi kisruh politik di negara tersebut yang mengakibatkan ditutupnya sejumlah pelabuhan ekspor utama yang dikuasai kelompok separatis Libyan National Army (LNA).
Kedua, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) melaporkan peningkatan produksi sebesar 173.000 barel per hari (bph) menjadi 32,3 juta bph, pada Juni 2018. Jumlah itu merupakan yang tertinggi sejak akhir 2016.
Ketiga, produksi minyak mentah mingguan AS mencapai 11 juta bph, rekor tertinggi sepanjang sejarah. Nilai ini sekarang hanya berjarak tipis dari produsen minyak terbesar dunia yaitu Rusia yang mampu memproduksi minyak hingga 11,2 juta bph.
Keempat, 900 pekerja tambahan di kilang minyak Norwegia kini ikut melakukan mogok kerja, bergabung dengan sekitar 700 orang yang sudah melakukan protes sejak dua pekan lalu. Penyebabnya pihak perusahaan tidak mampu memenuhi permintaan kenaikan gaji dan uang pensiun.
Mogok kerja ini sejatinya belum berdampak signifikan pada produksi minyak Norwegia. Namun kemungkinan pembatalan kontrak dari beberapa perusahaan pengeboran akan terbuka lebar jika kisruh ini berlangsung selama sebulan atau lebih.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kalau Trump Saja Bisa Kena Covid, Apa Kabar Kita-kita?
Selama sepekan kemarin, IHSG jatuh 1,2%. Investor asing membukukan jual bersih sebesar Rp 800 miliar, karena pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang mencapai 0,7% selama sepekan. Depresiasi rupiah menjadi yang terdalam di antara mata uang Asia.
Seperti rupiah, nasib IHSG pun serupa yaitu mencatatkan penurunan terdalam di antara bursa utama Benua Kuning. Sepanjang pekan lalu, indeks Nikkei 225 melonjak 3,71%, Shanghai Composite naik 0,54%, dan Straits Times melesat 2,01%. Sementara Hang Seng melemah 1,1% dan Kospi turun 0,56%.
Penyebab utama pelemahan rupiah yang menyeret IHSG ke zona merah adalah pidato Jerome Powell, Gubernur The Federal Reserve/The Fed, di hadapan Senat dan Kongres AS. Powell menyatakan bahwa perekonomian AS semakin membaik sehingga kenaikan suku bunga secara gradual adalah kebijakan yang paling tepat untuk saat ini.
Pernyataan Powell memberi energi bagi dolar AS yang kemudian menguat secara global. Berbagai mata uang menjadi korban keganasan greenback, termasuk rupiah.
Selain tekanan dari testimoni Powell yang hawkish, pemberat rupiah juga datang dari Bank Indonesia (BI) yang memutuskan untuk menahan suku bunga acuan 7 day reverse repo rate sebesar 5,25%. Keputusan ini selaras dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia.
Tidak adanya kejutan dari BI membuat investor menjalankan prinsip buy the rumours, sell the news. Ketika sebuah peristiwa masih dalam wacana, maka lakukanlah akumulasi beli. Namun ketika sudah terjadi dan sesuai dengan ekspektasi, maka mulailah menjual.
Sentimen perang dagang juga masih berlanjut dan sedikit banyak ikut memberi tekanan kepada IHSG. Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, yang menyatakan bahwa Presiden China Xi Jinping telah menghambat kemajuan negosiasi perdagangan antara AS-China.
Padahal, bawahan Xi, termasuk penasihat ekonomi senior Liu He, sudah sepakat dengan AS. Xi diklaim telah menolak untuk melakukan perubahan terhadap kebijakan transfer teknologi China, dan kebijakan perdagangan lainnya.
Ketika ditanya mengenai komentar Kudlow tersebut, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying berkata, "Pejabat AS terkait secara tidak terduga mendistorsi fakta dan membuat tuduhan bohong yang mengejutkan dan tidak terbayangkan. Inkonsistensi dan pelanggaran janji AS sudah diketahui secara global," tegasnya, dilansir dari Reuters.
Saling tuduh antara dua raksasa ekonomi terbesar di dunia itu lantas mengindikasikan bahwa perang dagang masih jauh dari kata usai. Eskalasi tensi perang dagang ini lantas membebani perdagangan di bursa regional pada pekan lalu.
Dari Wall Street, tiga indeks utama mencatatkan kinerja variatif sepanjang pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik tipis 0,15%, S&P 500 menguat tetapi nyaris stagnan di 0,02%, sementara Nasdaq turun 0,07%.
Seperti halnya di Asia, Wall Street juga terbeban oleh isu perang dagang. Apalagi akhir pekan lalu muncul kekhawatiran akibat komentar Presiden AS Donald Trump.
"Kita sudah kalah jauh (dalam hal perdagangan dengan China). Saya siap untuk menuju 500," tegas Trump dalam wawancara dengan CNBC International.
Trump memang sudah lama mengeluhkan defisit perdagangan AS dengan China, yang menurutnya sangat tidak adil dan melukai Negeri Paman Sam. Membanjirnya produk China di pasar AS dinilainya mengancam industri dalam negeri dan penciptaan lapangan kerja.
Oleh karena itu, Trump rajin mengancam dengan pengenaan bea masuk terhadap produk-produk China. Terakhir, AS mengenakan bea masuk 25% kepada 818 produk China senilai US$ 34 miliar.
Ancaman Trump berikutnya adalah dia siap menambah bea masuk bagi importasi produk China senilai US$ 500 miliar, itulah yang dimaksud dengan 500. Saat ditanya apakah Trump mengetahui bahwa tindakannya membuat pasar jatuh, eks taipan properti itu bergeming.
"Kalau memang terjadi, terjadilah. Saya tidak melakukan ini untuk politik," ujarnya.
Tidak hanya China, Trump pun 'menembakkan' keluhan ke segala penjuru. Di dalam negeri, korban terbarunya adalah The Fed.
Trump menilai pengetatan moneter oleh The Fed akan menghambat pemulihan ekonomi Negeri Adidaya. Kenaikan suku bunga yang diperkirakan mencapai empat kali sepanjang 2018 membuat dolar AS menguat sendirian, dan itu membuat ekspor AS kurang kompetitif.
"China, Uni Eropa, dan lainnya telah memanipulasi mata uang mereka dan suku bunga ditekan serendah mungkin. Sementara AS menaikkan suku bunga dan dolar AS semakin kuat, menyebabkan kita tidak kompetitif. Seperti biasa, bukan sebuah kesetaraan (level playing field)," cuit Trump melalui Twitter.
Di tengah pusaran badai yang dibuat Trump, Wall Street masih bisa terselamatkan oleh kinerja emiten yang solid. Akhir pekan lalu, raksasa teknologi Microsoft melaporkan laba pada kuartal II-2018 naik 10% menjadi US$ 8,8 miliar. Kenaikan laba tersebut didukung pendapatan yang kuat dari iklan pencarian internet, game, sistem operasi Windows, dan bisnis utama lainnya.
Untuk perdagangan awal pekan ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Sentimen-sentimen tersebut terkait dengan Presiden Trump, yang akan menjadi bintang karena namanya kemungkinan banyak diperbincangkan.
Pertama tentu adalah perang dagang. Pernyataan Trump yang siap mengenakan bea masuk bagi importasi produk China senilai US$ 500 miliar belum sempat direspons oleh pasar Asia.
Oleh karena itu, respons terhadap perkembangan tersebut bisa saja terjadi hari ini dan memukul bursa saham Asia. Saat bursa saham negara tetangga berjatuhan, maka IHSG berpeluang untuk mengikutinya.
Investor juga patut terus memonitor perkembangan nilai tukar dolar AS. Setelah komentar Trump bahwa dolar AS sudah terlalu kuat, greenback sempat tertekan dan melemah secara global. Aksi 'obok-obok' Trump terhadap dolar AS terbukti mendatangkan hasil yang signifikan.
Namun The Fed cukup tenang menghadapi serangan Trump. Meski Trump mengkritik The Fed yang terus menaikkan suku bunga, tetapi Powell dan kolega tidak reaktif. Bahkan mereka dengan tegas menolak segala bentuk intervensi politik dalam kebijakan moneter.
"Kami tidak memasukkan faktor politik dalam pertimbangan (kebijakan)," tegas Powell dalam sebuah acara radio, dikutip dari Reuters.
"Orang-orang boleh berkomentar, termasuk Bapak Presiden dan para politisi lainnya. Namun keputusan dan kebijakan terbaik ditentukan oleh Komite," kata James Bullard, Presiden The Fed St Louis.
Komentar para petinggi The Fed ini bisa melegakan pasar bahwa bank sentral AS akan tetap pada arah kebijakan yang sudah diperkirakan, yaitu menaikkan suku bunga acuan dua kali sampai akhir tahun. Dengan begitu, kenaikan suku bunga acuan menjadi empat kali sepanjang 2018.
Perkembangan ini bisa menjadi suntikan energi bagi dolar AS. Dengan sokongan penuh dari The Fed, kenaikan suku bunga kemungkinan besar masih akan terjadi dan mendorong laju penguatan greenback.
Kenaikan suku bunga akan membuat berinvestasi di AS menjadi menarik karena memperoleh imbal hasil yang lebih. Aliran modal masuk ini akan menjadi fondasi bagi penguatan dolar AS.
Jika benar dolar AS akan menguat, maka mata uang lainnya akan terancam. Rupiah pun bisa tertekan bila dolar AS kembali garang.
Pelemahan rupiah (bila terjadi) akan membuat berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini menjadi kurang menguntungkan, karena nilainya turun ketika dikonversikan ke dolar AS. Investor (utamanya asing) masih akan cenderung keluar, sehingga bisa memberi tekanan kepada IHSG.
Namun, IHSG bisa mendapat angin segar dari harga minyak yang sedang naik. Bila kenaikan ini berlanjut, maka emiten migas dan pertambangan akan mendapatkan lebih banyak apresiasi, yang bisa berdampak kepada IHSG secara keseluruhan.
Namun, kenaikan harga minyak ini sebenarnya dipicu oleh sesuatu yang mengkhawatirkan yaitu potensi konflik AS-Iran. Seperti diketahui, AS sudah keluar dari perjanjian nuklir dengan Iran dan kemungkinan akan menjatuhkan sanksi bagi Teheran. Iran pun semakin lama semakin keras menghadapi ancaman AS.
"Tuan Trump, tolong jangan bermain-main dengan ekor singa karena hanya akan membawa penyesalan. AS harus tahu bahwa perdamaian dengan Iran adalah biangnya damai, sementara peperangan dengan Iran adalah biangnya perang," tegas Hassan Rouhani, Presiden Iran, dalam acara pembekalan kepada para diplomat, dikutip dari Reuters.
Apabila situasi Timur Tengah sampai memanas (mudah-mudahan jangan sampai), maka pasokan minyak dunia akan terhambat karena kawasan tersebut merupakan penghasil utama si emas hitam. Sebab, Iran mengancam akan memblokade jalur ekspor minyak dari kawasan Teluk bila AS sampai menerapkan sanksi. Persepsi penurunan pasokan ini kemudian menyebabkan kenaikan harga.
Namun, kenaikan harga ini masih rentan terkoreksi karena beberapa faktor. Pertama, pelabuhan utama di Libya siap untuk dibuka kembali. Sebelumnya, terjadi kisruh politik di negara tersebut yang mengakibatkan ditutupnya sejumlah pelabuhan ekspor utama yang dikuasai kelompok separatis Libyan National Army (LNA).
Kedua, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) melaporkan peningkatan produksi sebesar 173.000 barel per hari (bph) menjadi 32,3 juta bph, pada Juni 2018. Jumlah itu merupakan yang tertinggi sejak akhir 2016.
Ketiga, produksi minyak mentah mingguan AS mencapai 11 juta bph, rekor tertinggi sepanjang sejarah. Nilai ini sekarang hanya berjarak tipis dari produsen minyak terbesar dunia yaitu Rusia yang mampu memproduksi minyak hingga 11,2 juta bph.
Keempat, 900 pekerja tambahan di kilang minyak Norwegia kini ikut melakukan mogok kerja, bergabung dengan sekitar 700 orang yang sudah melakukan protes sejak dua pekan lalu. Penyebabnya pihak perusahaan tidak mampu memenuhi permintaan kenaikan gaji dan uang pensiun.
Mogok kerja ini sejatinya belum berdampak signifikan pada produksi minyak Norwegia. Namun kemungkinan pembatalan kontrak dari beberapa perusahaan pengeboran akan terbuka lebar jika kisruh ini berlangsung selama sebulan atau lebih.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data penjualan rumah AS periode Juni 2018 (21:00).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2018 YoY) | 5.06% |
Inflasi (Juni 2018 YoY) | 3.12% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2.19% PDB |
Transaksi berjalan (Q I-2018) | -2.15% PDB |
Neraca pembayaran (Q I-2018) | -US$ 3.85 miliar |
Cadangan devisa (Juni 2018) | US$ 119.8 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kalau Trump Saja Bisa Kena Covid, Apa Kabar Kita-kita?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular