
Hantu Perang Dagang Belum Mau Pulang

Kemarin, IHSG mampu ditutup naik tipis 0,1%. Transaksi berlangsung sepi dengan nilai Rp 5,89 triliun dan volume 7,32 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 313.134 kali.
Jalannya perdagangan memang diwarnai sejumlah risiko. Pertama, pelemahan nilai tukar rupiah yang kemarin sebesar 0,23%. Bank Indonesia (BI) memproyeksikan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) kuartal II-2018 bisa berada di atas 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal, CAD kuartal I hanya sebesar 2,15% dari PDB.
Saat lubang di transaksi berjalan makin menganga sementara pos transaksi modal dan finansial tertekan karena seretnya hot money di pasar keuangan, maka Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) praktis tidak tertolong. Pada akhirnya, nilai tukar rupiah menjadi taruhannya, lantaran NPI merupakan salah satu fundamental yang menjadi pijakan penguatan nilai tukar.
Mengekor pelemahan rupiah, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 137 miliar. Ketika rupiah melemah, ada potensi rugi kurs yang harus ditanggung oleh investor asing. Saham-saham yang paling banyak dilepas investor asing di antaranya PGAS (Rp 62,2 miliar), BBTN (Rp 57,6 miliar), AMRT (Rp 42,1 miliar), BTSP (Rp 20 miliar), dan BBNI (Rp 18,4 miliar).
Risiko kedua bagi IHSG datang dari panasnya hubungan dagang Amerika Serikat (AS) dengan China. Mulai 6 Juli, AS akan mengenakan bea masuk sebesar 25% untuk 818 produk China. Beijing pun membalas dengan memberlakukan bea masuk 25% bagi 659 produk AS.
Faktor perang dagang itu mampu membuat bursa Asia terjerembab ke teritori negatif. Indeks Nikkei 225 turun 0,78%, Shanghai Composite melemah 0,91%, Hang Seng terkoreksi 0,21%, dan Kospi negatif 0,35%.
Dari Wall Street, tiga indeks utama menguat lumayan signifikan setelah libur Hari Kemerdekaan. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,75%, S&P 500 bertambah 0,86%, dan Nasdaq surplus 1,23%.
Laju Wall Street didukung oleh itikad baik dari Uni Eropa untuk mencegah perang dagang dalam skala yang besar dengan AS. Para pejabat Eropa kini sedang mempertimbangkan untuk mengadakan pembicaraan tentang kesepakatan pemotongan tarif bea masuk antar eksportir mobil terbesar dunia, termasuk dengan pabrikan mobil asal AS.
Kanselir Jerman Angela Merkel mengatakan, pihaknya akan menurunkan tarif bea masuk untuk mobil impor dari AS. Namun itu memang baru posisi Jerman, belum Uni Eropa secara keseluruhan.
"Untuk negosiasi atas nama Uni Eropa membutuhkan posisi bersama. Kami masih membahasnya," ujar Merkel, dikutip dari Reuters.
Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump sempat mengancam akan menerapkan bea masuk sebesar 20% bagi mobil-mobil asal Uni Eropa jika bea masuk atas mobil asal AS tak dihapuskan. Sebagai catatan, Uni Eropa saat ini mengenakan bea masuk sebesar 10% atas impor mobil penumpang, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tarif 2,5% yang dikenakan oleh AS.
Setelah diangkat oleh perkembangan perdagangan AS-Eropa, Wall Street agak terpeleset saat pengumuman risalah rapat (minutes of meeting) Federal Open Market Committe (FOMC) edisi Juni 2018. Risalah tersebut semakin mengonfirmasi keyakinan bahwa The Federal Reserve akan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga acuan.
"Nantinya, akan tepat jika mengubah pernyataan yang merujuk kepada kebijakan akomodatif. Kenaikan suku bunga secara gradual akan membawa kebijakan moneter berada di tingkat di atas netral pada tahun depan," sebut risalah itu.
Kenaikan suku bunga secara agresif yang semakin nyata tidak menguntungkan bagi pasar saham. Sebab, saham adalah instrumen yang bekerja optimal dalam lingkungan suku bunga rendah.
Untuk perdagangan hari ini, sejumlah risiko masih menghantui IHSG. Terutama tentunya perang dagang.
Saat-saat penetapan tarif bea masuk baru di AS dan China semakin dekat dan belum ada tanda-tanda mereka berubah pikiran. Jika sampai benar-benar terjadi, dan sepertinya memang akan terjadi, maka situasi perdagangan dunia akan melambat.
AS dan China adalah dua perekonomian terbesar di dunia. Ketika keduanya saling hambat dalam hal perdagangan, maka arus rantai pasok global (global supply chain) akan bermasalah.
Selain itu, kelakuan Trump yang seakan seenaknya mengenakan bea masuk demi memproteksi industri dalam negeri bisa menjadi preseden buruk. Bisa jadi langkah ini kemudian ditiru oleh negara-negara lain sehingga perekonomian dunia menjadi tertutup. Ini tentu menjadi risiko yang amat sangat dihindari.
The Fed sudah menyampaikan bahwa risiko kebijakan perdagangan meningkat dan cukup mengkhawatirkan. Pengenaan berbagai bea masuk bisa berdampak kepada investasi, bahkan sebagian belanja modal sudah diturunkan karena kenaikan biaya impor.
Masih dari perang dagang, ternyata target AS tidak hanya China. Indonesia pun disebut-sebut akan menjadi sasaran berikutnya. Sofjan Wanandi, Ketua Tim Ahli Wakil Presiden, mengungkapkan Trump akan mencabut sejumlah perlakukan khusus yang saat ini diberikan ke Indonesia.
"Trump sudah kasih warning ke kita karena kita surplus. Beberapa special treatment yang dia beri ke kita mau dia cabut, terutama untuk tekstil," katanya.
Sepanjang 2017, Indonesia memang menikmati surplus US$ 9,59 miliar atau sekitar Rp 134 triliun (kurs Rp 14.000) dengan AS. Aksesori pakaian dan busana (baik yang tidak dirajut ataupun yang dirajut) merupakan produk yang paling banyak dikirim Indonesia ke AS, dengan nilai mencapai US$ 4,12 miliar (Rp 57,68 triliun).
"GSP (Generalized System of Preference) kita sedang di-review, dan ada sekitar 124 produk dan sektor yang saat ini sedang dalam review. Ada kayu plywood, cotton, macam-macam. Ada juga produk-produk pertanian, udang dan kepiting kalau enggak salah. Ini saya lagi lihat daftarnya juga," kata Shinta Widjaja Kamdani, Anggota Tim Ahli Wakil Presiden.
GSP adalah semacam sistem penghapusan bea masuk untuk produk impor dari negara yang dianggap AS sektor industrinya masih berkembang. Jika memang akhirnya sejumlah produk Indonesia dicabut dari daftar GSP, tentunya ekspor Indonesia ke AS akan lebih mahal gara-gara bea masuk yang lebih tinggi. Permintaan pun akan berkurang.
Perkembangan ini perlu dicermati oleh pelaku pasar. Risiko besar menanti bila AS betul-betul mengarahkan pandangannya ke Indonesia.
Harga minyak juga bisa menjadi sentimen pemberat IHSG. Harga si emas hitam tidak terduga turun karena bertambahnya cadangan minyak AS.
US Energi Information Administration melaporkan, cadangan minyak Negeri Paman Sam pada minggu yang berakhir 29 Juni naik 1,24 juta barel. Jauh dibandingkan konsensus pasar yang memperkirakan ada penurunan 3,5 juta barel.
Pasalnya, kenaikan ini terjadi kala pasokan minyak ke penyimpanan di Cushing (Oklahoma) sedang bermasalah. Pasokan minyak dari Kanada menurun karena kerusakan di fasilitas produksi milik Syncrude. Pasokan dari Syncrude bisa mencapai 350.000 barel/hari.
Penurunan harga minyak akan membuat emiten migas dan pertambangan kurang mendapat apresiasi. Ini bisa membebani IHSG secara keseluruhan.
Namun, ada pula faktor yang bisa menjadi pendorong IHSG untuk melanjutkan penguatan. Dolar AS sepertinya sedang tertekan, terlihat dari Dollar Index (yang mengukur posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama dunia) yang turun 0.28% pada pukul 04:49 WIB.
Rilis risalah rapat FOMC tidak mampu membantu penguatan dolar AS. Pasalnya risalah tersebut tidak memberikan kejutan baru, semuanya praktis sudah diketahui dan dicerna oleh pasar.
Selain itu, dolar AS juga tertekan oleh angka pembukaan lapangan kerja baru di AS. Pada Juni 2018, perekonomian AS menciptakan 177.000 lapangan kerja, di bawah konsensus pasar yang memperkirakan 190.000.
Tidak hanya itu, jumlah warga AS yang mengajukan klaim tunjangan pengangguran meningkat secara tidak terduga sebanyak 3.000 orang ke 231.000 pada pekan lalu, mengutip data dari Departemen Tenaga Kerja AS. Nilai ini meleset jauh dari konsensus yang memperkirakan penurunan ke angka 225.000.
Rilis data klaim pengangguran serta pertambahan lapangan kerja yang di bawah ekspektasi ini lantas memberikan persepsi bahwa ada kemungkinan The Fed tidak akan terlalu hawkish. Sebab, masih ada indikasi pasar tenaga kerja belum sepenuhnya pulih dan masih membutuhkan kebijakan moneter yang akomodatif. Ini tentu bukan kabar baik buat greenback.
Pelemahan dolar AS dapat dimanfaatkan oleh rupiah untuk berbalik arah ke teritori positif. Penguatan rupiah akan menjadi sentimen positif bagi IHSG.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data cadangan devisa Indonesia periode Juni 2018.
- Rilis data upah per jam rata-rata AS bulan Juni 2018 (19.30).
- Rilis data perubahan lapangan kerja non pertanian AS periode Juni 2018 (19:30).
- Rilis data tingkat pengangguran AS periode Juni 2018 (19:30).
Indeks | Close | % Change | % YtD |
IHSG | 5,739.33 | 0.10 | (9.70) |
LQ45 | 905.60 | (0.24) | (16.10) |
DJIA | 24,356.74 | 0.75 | (1.47) |
CSI300 | 3,342.14 | (0.64) | (17.09) |
Hang Seng | 28,182.09 | (0.21) | (5.81) |
Nikkei 225 | 21,546.99 | (0.78) | (5.35) |
Straits Times | 3,256.71 | 0.36 | (4.30) |
Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang:
Mata Uang | Close | % Change | % YoY |
USD/IDR | 14,380 | 0.23 | 7.42 |
EUR/USD | 1.17 | 0.30 | 2.35 |
GBP/USD | 1.32 | (0.07) | 1.94 |
USD/CHF | 0.99 | 0.11 | 3.44 |
USD/CAD | 1.31 | (0.04) | 1.22 |
USD/JPY | 110.65 | 0.18 | (2.25) |
AUD/USD | 0.74 | 0.08 | (2.62) |
Berikut perkembangan harga sejumlah komoditas:
Komoditas | Close | % Change | % YoY |
Minyak Light Sweet (US$/barel) | 73,14 | (1.51) | 60.65 |
Minyak Brent (US$/barel) | 77,59 | (0.86) | 61,24 |
Emas (US$/troy ons) | 1,258.22 | 0.10 | 2.71 |
CPO (MYR/ton) | 2,270.00 | 0.04 | (15.55) |
Batu bara (US$/ton) | 113.18 | (0.17) | 38.53 |
Tembaga (US$/pound) | 2.83 | (0.81) | 6.56 |
Nikel (US$/ton) | 14,353.50 | 0.00 | 58.83 |
Timah (US$/ton) | 19,682.00 | 0.77 | (0.98) |
Karet (JPY/kg) | 165.00 | 0.30 | (14.29) |
Kakao (US$/ton) | 2,420.00 | 0.08 | 23.62 |
Berikut perkembangan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara:
Tenor | Yield (%) |
5Y | 7.62 |
10Y | 7.73 |
15Y | 8.17 |
20Y | 8.14 |
30Y | 8.46 |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2018 YoY) | 5.06% |
Inflasi (Juni 2018 YoY) | 3.12% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2.19% PDB |
Transaksi berjalan (Q I-2018) | -2.15% PDB |
Neraca pembayaran (Q I-2018) | -US$ 3.85 miliar |
Cadangan devisa (Mei 2018) | US$ 122.9 |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article RI Hadapi 2 Ujian Maha Berat: Kabar "Panas" dari AS & Serangan China
