
Baik-baik, Sentimen Negatif Masih Berjubel

Kemarin, IHSG ditutup melemah 0,91%. Perdagangan berlangsung kurang semarak dengan nilai transaksi Rp 6,9 triliun dan volume 73 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 369.099 kali.
Faktor eksternal menjadi penyebab utama koreksi IHSG. Uni Eropa mengancam akan menerapkan bea masuk baru bagi sejumlah produk asal Amerika Serikat (AS) senilai US$ 294 miliar, jika Negeri Paman Sam bersikeras menaikkan bea masuk bagi mobil-mobil asal Benua Biru. Sebagai catatan, bea masuk yang menyasar produk senilai hampir US$ 300 miliar tersebut merupakan yang terbesar yang pernah diumumkan oleh negara mana pun sejak perang dagang mulai berkecamuk pada Maret 2018.
Hal ini lantas memperparah kekhawatiran investor menjelang berlakunya kebijakan bea masuk AS bagi sejumlah produk China senilai US$ 34 miliar, yakni pada 6 Juli 2018. Negeri Panda pun sudah menyiapkan rencana pembalasan dengan bea masuk pada produk-produk AS dengan nilai yang sama.
Selain itu, sentimen negatif dari sisi eksternal juga datang dari rilis data ekonomi China. Akhir pekan lalu, indeks PMI manufaktur periode Juni versi China Federation of Logistics and Purchasing diumumkan 51,5. Lebih rendah dari konsensus yang dihimpun oleh Reuters yaitu 51,6.
Kemudian kemarin, data yang sama versi Markit diumumkan sebesar di level 51. Lagi-lagi lebih rendah dari konsensus yang sebesar 51,1.
Sebagai catatan, angka di atas 50 menandakan adanya ekspansi sektor manufaktur dibandingkan periode sebelumnya. Namun, angka yang lebih rendah dari konsensus menunjukkan bahwa ekspansinya tak sekencang yang diharapkan pelaku pasar.
Bagi perekonomian seperti China yang sangat mengandalkan sektor manufaktur, lambatnya ekspansi di sektor ini tentu mengancam laju perekonomian yang juga tengah diterpa sentimen negatif dari aktivitas pemerintahnya dalam mengurangi tumpukan utang sektor swasta yang menggunung. Terlebih, risiko perang dagang juga terus mengintai, bahkan sudah meluas menjadi perang investasi.
Dua sentimen ini menyebabkan bursa saham Asia pun ditutup minus, bahkan cukup dalam. Indeks Nikkei 225 anjlok 2,21%, Shanghai Composite amblas turun 2,52%, Kospi terpangkas 2,35%, dan Straits Times berkurang 0,91%.
Penguatan dolar AS juga berimbas negatif bagi IHSG. Kemarin, rupiah melemah 0,35% terhadap greenback. Dolar AS memang sedang perkasa dan menguat terhadap berbagai mata uang.
Apresiasi dolar AS disebabkan oleh investor kini kembali melirik rilis data terbaru di Negeri Paman Sam yaitu indeks Personal Consumption Expenditure (PCE). Pada Mei 2018, PCE meningkat 2,3% secara year-on-year (YoY), tertinggi sejak Maret.
Kemudian indeks PCE inti (di luar komponen volatile food dan energi) naik 2% YoY, tertinggi sejak April 2012. Sebagai catatan, indeks PCE inti merupakan alat utama The Federal Reserve/The Fed untuk mengukur inflasi.
PCE inti kini telah menyentuh target The Fed yaitu 2%. Ini merupakan kali pertama PCE inti mencapai target dalam enam tahun terakhir.
Pelaku pasar pun kemudian semakin bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak empat kali sepanjang 2018, atau dua kali lagi. Lebih banyak ketimbang perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali. Ini menjadi bahan bakar baru bagi dolar AS untuk kembali menguat. Dengan data terbaru ini, perkiraan tersebut semakin terkonfirmasi.
Depresiasi rupiah membuat berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini menjadi kurang menguntungkan, karena nilainya turun. Oleh karena itu, investor asing pun memilih untuk melepas saham-saham di Bursa Efek Indonesia. Kemarin, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 130,44 miliar.
Sebenarnya IHSG sempat tertolong oleh rilis data inflasi periode Juni 2018. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi bulanan (month-to-month/MtM) sebesar 0,59%, sementara inflasi tahunan (year-on-year/YoY) sebesar 3,12%. Inflasi tersebut lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia (0,51% MtM/2,97% YoY).
Kuatnya data inflasi mengonfirmasi persepsi yang sempat timbul bahwa konsumsi masyarakat Indonesia sudah membaik. Sebelumnya, persepsi ini timbul seiring kencangnya impor barang konsumsi pada Mei.
Saham barang-barang konsumsi pun menjadi incaran investor. Sektor barang konsumsi menguat 0,24%, menjadikannya satu-satunya sektor yang bisa menguat pada perdagangan kemarin. Saham-saham sektor barang konsumsi yang diburu investor di antaranya HMSP (+2,23%), GGRM (+2,6%), KLBF (+2,46%), SIDO (+2,56%), dan ICBP (+0,28%).
Namun apa mau dikata. Derasnya tekanan dari sisi eksternal membuat IHSG tak bisa mengakhiri hari di zona hijau.
Dari Wall Street, tiga indeks utama mencatatkan kenaikan meski relatif terbatas. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,15%, S&P 500 menguat 0,31%, dan Nasdaq bertambah 0,76%.
Laju Wall Street lebih dipengaruhi sentimen domestik yaitu kinclongnya kinerja saham-saham teknologi. Saham-saham Microsoft, Facebook, dan Apple naik masing-masing 1,42%, 1,56%, dan 1,11%. Mereka adalah saham-saham berkapitalisasi jumbo, sehingga kenaikannya bisa mendorong indeks secara keseluruhan.
Sentimen positif lainnya adalah data pengeluaran konstruksi yang naik 0,4% pada Mei 2018 dibandingkan bulan sebelumnya. Dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, terjadi pertumbuhan 4,5%.
Stimulus fiskal yang digaungkan oleh Presiden AS Donald Trump sudah mulai menampakkan hasil. Pada Mei, pengeluaran konstruksi publik naik 0,7% ke titik tertinggi sejak Oktober 2010.
Data tersebut memberi harapan pertumbuhan AS akan membaik pada kuartal II-2018. The Fed memperkirakan perekonomian AS tumbuh 3,8% pada kuartal ini, membaik ketimbang kuartal sebelumnya yaitu 2%.
Kenaikan saham Apple cs dan pengeluaran konstruksi ini berhasil menolong Wall Street dari kekhawatiran perang dagang yang terbukti mampu menjadi momok di Asia dan Eropa. Namun dari penguatan Wall Street yang cenderung terbatas, terlihat bahwa investor sejatinya masih sangat berhati-hati.
Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mewaspadai beberapa sentimen. Pertama adalah perang dagang yang masih memanas. Sentimen ini berhasil merontokkan bursa saham Asia kemarin, dan bisa saja masih berlanjut jelang 6 Juli.
Apalagi Presiden AS Donald Trump terus menebar ancaman dan kali ini ditujukan kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Menurut Trump, WTO telah memperlakukan AS dengan sangat buruk.
Beberapa waktu lalu, situ berita Axios melaporkan bahwa pemerintahan Trump tengah berencana membuat regulasi untuk bebas menaikkan bea masuk kapan saja dan menerapkan bea masuk khusus bagi negara tertentu. Dua aturan ini adalah pelanggaran mendasar di mata WTO.
"AS mendapatkan kerugian dari WTO. Kami belum merencanakan apa-apa untuk saat ini, tetapi jika mereka tidak memperlakukan kami dengan baik, maka kami akan melakukan sesuatu," tegas Trump, dikutip dari Reuters.
Pekan lalu, sempat beredar kabar bahwa Trump ingin AS keluar dari WTO. Namun hal ini sudah dibantah oleh pemerintah.
Dinamika perang dagang masih berlangsung dan perkembangannya begitu cepat. Pelaku pasar perlu memperhatikan isu ini karena menyangkut nasib pertumbuhan ekonomi dunia.
Kemudian, dolar AS sepertinya masih dalam jalur pendakian. Ini terlihat dari Dollar Index, yang mencerminkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama, pada pukul 03:47 WIB menguat 0,21%.
Penguatan dolar AS kali ini disebabkan oleh rilis data PMI manufaktur. Tidak seperti di China, indeks PMI manufaktur di AS melesat dan cukup jauh mengungguli konsensus.
Pada Juni, indeks PMI manufaktur AS versi Institute of Supply Management (ISM) tercatat 60,2. Jauh di atas konsensus pasar yang memperkirakan 58,4.
Ini menandakan pelaku usaha di Negeri Adidaya sangat optimistis dan ekspansif. Artinya, pemulihan ekonomi di AS pun semakin terlihat nyata.
Perkembangan ini kian mengonfirmasi bahwa The Fed kemungkinan besar akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak empat kali tahun ini, atau dua kali lagi. Berita ini tentu lagi-lagi menambah bensin bagi dolar AS untuk menguat terhadap mata uang dunia.
Rupiah harus tetap berhati-hati. Kemarin, terbukti bahwa arus penguatan greenback lebih deras ketimbang sentimen kenaikan suku bunga Bank Indonesia (BI) 7 day reverse repo rate. Rupiah pun akhirnya terseret arus gelombang penguatan dolar AS.
Sentimen negatif juga bisa datang dari harga minyak yang bergerak turun. Penurunan harga si emas hitam disebabkan oleh kenaikan pasokan.
Survei Reuters menunjukkan, produksi minyak di Arab Saudi pada Juni 2018 diperkirakan mencapai 10,72 juta barel/hari atau naik 700.000 barel/hari dibandingkan bulan sebelumnya. Bahkan pada Juli ini, Negeri Padang Pasir menargetkan produksi minyak bisa mencapai 11 juta barel/hari, menurut salah seorang sumber yang dikutip Reuters.
Sementara produksi minyak Asosiasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) secara keseluruhan diperkirakan sebesar 32,32 juta barel/hari pada Juni. Naik 320.000 barel/hari dibandingkan bulan sebelumnya.
Tidak hanya Arab Saudi dan OPEC, pasokan minyak dari Rusia pun bertambah. Kementerian Energi Rusia menyebutkan produksi minyak negara tuan rumah Piala Dunia 2018 itu adalah 11,06 juta barel/hari pada Juni. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 10,97 juta barel/hari.
Perang dagang yang masih berkecamuk juga menjadi pemberat bagi harga minyak. Sebab, perang dagang akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi global sehingga permintaan energi berkurang. Kajian JPMorgan menyebutkan, pernag dagang berpotensi mengurangi pertumbuhan ekonomi dunia sekurang-kurangnya 0,5%.
Berbagai sentimen ini menyebabkan harga minyak tertarik ke bawah. Penurunan harga minyak menjadi sentimen negatif bagi IHSG, karena membuat saham-saham migas dan pertambangan kurang diapresiasi investor.
Sentimen negatif yang masih berjubel membuat pelaku pasar perlu berhati-hati. Namun bila bursa Asia lebih memilih untuk merespons penguatan yang terjadi di Wall Street, maka IHSG punya peluang untuk menguat.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis suku bunga acuan Australia (11:30).
- Rilis data indeks konstruksi PMI Inggris periode Juni 2018 (15:30).
- Rilis data pemesanan barang oleh pabrik di AS periode Mei 2018 (21:00).
Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu |
PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP) | RUPSLB | 10:00 |
Berikut perkembangan sejumlah bursa saham utama:
Indeks | Close | % Change | % YtD |
IHSG | 5,746.77 | (0.90) | (9.58) |
LQ45 | 902.09 | (0.76) | (16.43) |
DJIA | 24,307.18 | 0.15 | (1.67) |
CSI300 | 3,407.98 | (2.93) | (15.45) |
Hang Seng | 28,955.11 | 1.61 | (3.22) |
NIKKEI | 21,811.93 | (2.21) | (4.19) |
Strait Times | 3,238.94 | (0.91) | (4.82) |
Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang:
Mata Uang | Close | % Change | % YoY |
USD/IDR | 14,375 | 0.35 | 7.56 |
EUR/USD | 1.16 | (0.40) | 2.43 |
GBP/USD | 1.31 | (0.51) | 1.58 |
USD/CHF | 0.99 | 0.32 | 3.13 |
USD/CAD | 1.32 | 0.45 | 1.41 |
USD/JPY | 110.84 | 0.16 | (2.22) |
AUD/USD | 0.73 | (0.89) | (4.20) |
Berikut perkembangan harga sejumlah komoditas:
Komoditas | Close | % Change | % YoY |
Minyak Light Sweet (US$/barel) | 73.95 | (0.13) | 57.12 |
Minyak Brent (US$/barel) | 77.40 | (2.73) | 55.81 |
Emas (US$/troy ons) | 1,241.72 | (0.85) | 1.75 |
CPO (MYR/ton) | 2,303.00 | 0.22 | (12.83) |
Batu bara (US$/ton) | 112.23 | 0.81 | 43.21 |
Tembaga (US$/pound) | 2.92 | (0.89) | 9.09 |
Nikel (US$/ton) | 12,823.00 | 0.78 | 58.60 |
Timah (US$/ton) | 19,750.00 | 0.77 | (1.13) |
Karet (JPY/kg) | 166.60 | (1.13) | (17.32) |
Kakao (US$/ton) | 2,465.00 | (0.44) | 22.59 |
Berikut perkembangan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara:
Tenor | Yield (%) |
5Y | 7.56 |
10Y | 7.76 |
15Y | 8.15 |
20Y | 8.25 |
30Y | 8.48 |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2018 YoY) | 5.06% |
Inflasi (Juni 2018 YoY) | 3.12 |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2.19% PDB |
Transaksi berjalan (Q I-2018) | -2.15% PDB |
Neraca pembayaran (Q I-2018) | -US$ 3.85 miliar |
Cadangan devisa (Mei 2018) | US$ 122.9 |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kalau Trump Saja Bisa Kena Covid, Apa Kabar Kita-kita?
