
Newsletter
Ombak Belum Reda, Investor Masih Harus Waspada
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
22 June 2018 05:59

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih belum mampu bangkit pada perdagangan kemarin. Pelemahan nillai tukar rupiah menjadi salah satu faktor yang menyeret IHSG ke zona merah.
Kemarin. IHSG ditutup anjlok 1,05%. Nilai transaksi tercatat Rp 8,65 triliun dengan volume 6,83 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 429.816 kali. Saham-saham yang berkontribusi signifikan bagi pelemahan IHSG di antaranya HMSP (-2,83%), ASII (-3,96%), TLKM (-2,7%), BBCA (-1,63%), dan BBRI (-1,69%).
Sempat dibuka menguat tipis 0,1%, IHSG tak kuasa menahan gempuran jual investor asing. Sampai dengan akhir perdagangan, investor asing melakukan jual bersih senilai Rp 833,8 miliar.
Penyebab keluarnya investor asing adalah depresiasi rupiah. Pada penutupan perdagangan kemarin, rupiah berada di Rp 14.098/US$ atau melemah 1,24%. Depresiasi rupiah menjadi yang terdalam di kawasan.
Kala rupiah melemah, memegang aset dalam mata uang menjadi kurang menguntungkan karena nilainya turun. Ini yang mendasari aksi jual kemarin.
Dari sisi eksternal, risiko perang dagang masih kental terasa. Media milik pemerintah China The Global Times melaporkan bahwa jika Presiden AS Donald Trump tetap memperparah tensi dengan China di bidang perdagangan, maka Negeri Tirai Bambu dapat membalasnya dengan menargetkan perusahaan-perusahaan anggota indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA), seperti dikutip dari CNBC International.
"Jika Trump terus meninggikan tensi (di bidang) perdagangan dengan China, kami tidak dapat mengesampingkan kemungkinan bahwa China akan menyerang balik dengan mengadopsi pendekatan garis keras menargetkan persusahaan-perusahaan anggota indeks Dow Jones," tulis The Global Times.
Sebagai catatan, indeks DJIA merupakan salah satu indeks saham utama di AS yang beranggotakan 30 saham perusahaan-perusahaan terbuka besar yang bermarkas di AS. Biasanya, perusahaan-perusahaan yang masuk dalam indeks bergengsi ini merupakan pemimpin di industri yang digelutinya.
Setiap pergerakan indeks DJIA akan memberikan pengaruh bagi bursa saham lainnya di seluruh penjuru dunia, tak terkecuali Indonesia. Beberapa anggota dari indeks DJIA adalah Boeing, Apple, dan Nike.
Dari Wall Street, tiga indeks utama berakhir merah. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,80%, S&P 500 melemah 0,63%, dan Nasdaq berkurang 0,87%.
Selain perang dagang, kejatuhan Wall Street juga disebabkan aturan pajak penjualan online. Mahkamah Agung AS memerintahkan para pelaku usaha e-commerce wajib memungut pajak penjualan.
Menanggapi putusan ini, saham-saham perusahaan e-commerce berguguran. Amazon, misalnya, turun 1,13%. Bahkan saham eBay anjlok 3,2%.
Presiden Trump mendukung putusan ini. Eks taipan properti tersebut memang sudah lama menunjukkan ketidaksukaannya terhadap para pelaku usaha perdagangan online yang membuat banyak pengusaha konvensional terpaksa gulung tikar.
"Kemenangan besar di Mahkamah Agung mengenai pajak penjualan di internet. Sudah saatnya! Ini kemenangan besar bagi keadilan dan negara kita. Hari yang bersejarah bagi konsumen dan pengusaha ritel," cuit Trump di Twitter.
Dengan kebijakan ini, maka konsumen akan membayar lebih saat berbelanja online karena dipungut pajak. Selama ini, penjual online di AS tidak wajib memungut pajak kepada konsumen, karena tidak ada kehadiran fisik dalam transaksi. Faktor ini yang menjadi keunggulan besar toko online terhadap toko brick and mortar (fisik) karena harga di dunia maya lebih murah.
Perkembangan ini membuat investor mencemaskan nasib perusahaan-perusahaan seperi Amazon atau eBay. Pasalnya, mereka bisa dikejar-kejar otoritas pajak jika sampai lalai memungut pajak. Sebagai gambaran, hanya otoritas pajak AS yang bisa membuat Al Capone mendekam di penjara.
Untuk perdagangan hari ini, berbagai sentimen negatif masih menyelimuti IHSG. Dari eksternal, kejatuhan Wall Street menjadi faktor pertama yang dicermati investor. Biasanya dinamika di Wall Street akan memberi warna terhadap bursa saham Asia, termasuk Indonesia.
Hawa perang dagang yang masih terasa juga perlu diwaspadai. Korban perang dagang sudah mulai angkat bicara, seperti perusahaan otomotif asal Jerman, Daimler, yang memangkas proyeksi laba. Bea masuk yang diterapkan China terhadap produk-produk AS akan menekan penjualan Mercedes-Benz sehingga menurunkan pos laba sebelum bunga dan pajak (EBIT).
Tidak hanya Daimler, sesama perusahaan otomotif asal Jerman yaitu BMW juga sudah mengeluh. BMW banyak mengekspor kendaraan jenis Sport Utility Vehicle (SUV) dari AS ke China.
"Disebabkan perkembangan mengenai perdagangan dan bea masuk akhir-akhir ini, perusahaan tengah mengevaluasi berbagai skenario dan opsi strategis yang dimungkinkan," sebut BMW dalam pernyataannya, dikutip dari Reuters.
Perang dagang tidak hanya mengancam arus perdagangan, tetapi juga pertumbuhan ekonomi dunia. Investor tentu tidak nyaman dengan situasi ini, dan bisa dipaksa untuk bermain aman. Kala investor enggan mengambil risiko, IHSG lagi-lagi akan tertekan.
Sentimen negatif lainnya adalah harga minyak yang masih turun. Dalam rapat konsultasi sebelum pertemuan inti dari Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC), keputusan untuk mengurangi kadar pemotongan produksi hampir mencapai kesepakatan. Meski Iran masih belum satu suara, tetapi sepertinya tidak menghalangi niat Rusia dan Arab Saudi untuk melakukan hal tersebut.
Menurut pihak Rusia dan Arab Saudi, kenaikan produksi 1 juta barel/hari atau sekitar 1% dari pasokan minyak dunia hampir disepakati. Hanya Iran yang absen. "Saya rasa kami tidak akan mencapai kesepakatan," tegas Menteri Perminyakan Iran Bijan Zanganeh, dikutip dari Reuters.
Sejak awal 2017, OPEC dan negara produsen minyak non-OPEC sepakat untuk menurunkan produksi demi mengangkat harga minyak yang sempat terpuruk hingga di level US$ 30/barel. Langkah itu terbukti sukses mengatrol harga minyak. Oleh karena itu, beberapa negara mengajukan proposal untuk mengurangi pemotongan produksi secara bertahap karena pasar dinilai sudah relatif stabil.
Kenaikan pasokan minyak membuat harga terkoreksi. Penurunan harga minyak bukan berita baik buat IHSG, karena emiten migas dan pertambangan menjadi kurang mendapat apresiasi.
Sepertinya ombak belum reda. IHSG masih harus waspada terhadap potensi koreksi lanjutan.
Namun, ada satu sentimen positif yang mungkin bisa membantu IHSG. Setelah terus menguat sejak pertengahan pekan lalu, dolar AS kini mulai kehabisan bensin. Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) turun 0,2% pada pukul 04.40 WIB.
Reli dolar AS yang cukup panjang menggoda investor untuk melakukan ambil untung. Dalam sepekan terakhir, Dolar Index sudah menguat 0,1% dan dalam sebulan penguatannya mencapai 1,34%.
Pemicu ambil untung ini adalah data yang kurang menggembirakan. The Fed Philadelphia merilis indeks aktivitas bisnis wilayah Mid-Atlantik, yang pada Juni tercatat 19,9. Turun drastis dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 34,4. Penurunan ini terjadi saat perang dagang AS-China memanas.
Selain itu, investor juga mengapresiasi perkembangan di Inggris. Bank Sentral Inggris, Bank of England (BoE), memang masih menahan suku bunga acuan di 0,5% dalam rapat yang berakhir dini hari tadi waktu Indonesia. Namun peluang untuk kenaikan pada Agustus dirasa semakin besar.
Penyebabnya adalah Andy Haldane, Kepala Ekonom BoE, yang duduk sebagai salah satu anggota komite voting. Haldane dikenal sebagai sosok yang hawkish sehingga kemungkinan suku bunga acuan naik menjadi 0,75% pada Agustus menjadi kian terbuka.
Pada pertemuan kemarin, tiga dari sembilan anggota komite voting memilih menaikkan suku bunga. Anggota yang memilih kenaikan suku bunga bertambah satu orang dari rapat bulan lalu. Artinya kenaikan suku bunga acuan di Negeri Ratu Elizabeth sudah semakin dekat.
Dua sentimen itu menjadi pelatuk yang membuat investor memilih untuk merealisasikan keuntungan. Akibatnya, dolar AS pun mulai limbung.
Tekanan terhadap greenback bisa dimanfaatkan oleh rupiah untuk berbalik menguat. Apabila rupiah mampu menguat, maka berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini menjadi menguntungkan. IHSG pun akan menerima berkahnya.
Investor perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Berikut perkembangan sejumlah bursa saham utama:
Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang:
Berikut perkembangan harga sejumlah komoditas:
Berikut perkembangan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIMM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kalau Trump Saja Bisa Kena Covid, Apa Kabar Kita-kita?
Kemarin. IHSG ditutup anjlok 1,05%. Nilai transaksi tercatat Rp 8,65 triliun dengan volume 6,83 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 429.816 kali. Saham-saham yang berkontribusi signifikan bagi pelemahan IHSG di antaranya HMSP (-2,83%), ASII (-3,96%), TLKM (-2,7%), BBCA (-1,63%), dan BBRI (-1,69%).
Sempat dibuka menguat tipis 0,1%, IHSG tak kuasa menahan gempuran jual investor asing. Sampai dengan akhir perdagangan, investor asing melakukan jual bersih senilai Rp 833,8 miliar.
Penyebab keluarnya investor asing adalah depresiasi rupiah. Pada penutupan perdagangan kemarin, rupiah berada di Rp 14.098/US$ atau melemah 1,24%. Depresiasi rupiah menjadi yang terdalam di kawasan.
Kala rupiah melemah, memegang aset dalam mata uang menjadi kurang menguntungkan karena nilainya turun. Ini yang mendasari aksi jual kemarin.
Dari sisi eksternal, risiko perang dagang masih kental terasa. Media milik pemerintah China The Global Times melaporkan bahwa jika Presiden AS Donald Trump tetap memperparah tensi dengan China di bidang perdagangan, maka Negeri Tirai Bambu dapat membalasnya dengan menargetkan perusahaan-perusahaan anggota indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA), seperti dikutip dari CNBC International.
"Jika Trump terus meninggikan tensi (di bidang) perdagangan dengan China, kami tidak dapat mengesampingkan kemungkinan bahwa China akan menyerang balik dengan mengadopsi pendekatan garis keras menargetkan persusahaan-perusahaan anggota indeks Dow Jones," tulis The Global Times.
Sebagai catatan, indeks DJIA merupakan salah satu indeks saham utama di AS yang beranggotakan 30 saham perusahaan-perusahaan terbuka besar yang bermarkas di AS. Biasanya, perusahaan-perusahaan yang masuk dalam indeks bergengsi ini merupakan pemimpin di industri yang digelutinya.
Setiap pergerakan indeks DJIA akan memberikan pengaruh bagi bursa saham lainnya di seluruh penjuru dunia, tak terkecuali Indonesia. Beberapa anggota dari indeks DJIA adalah Boeing, Apple, dan Nike.
Dari Wall Street, tiga indeks utama berakhir merah. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,80%, S&P 500 melemah 0,63%, dan Nasdaq berkurang 0,87%.
Selain perang dagang, kejatuhan Wall Street juga disebabkan aturan pajak penjualan online. Mahkamah Agung AS memerintahkan para pelaku usaha e-commerce wajib memungut pajak penjualan.
Menanggapi putusan ini, saham-saham perusahaan e-commerce berguguran. Amazon, misalnya, turun 1,13%. Bahkan saham eBay anjlok 3,2%.
Presiden Trump mendukung putusan ini. Eks taipan properti tersebut memang sudah lama menunjukkan ketidaksukaannya terhadap para pelaku usaha perdagangan online yang membuat banyak pengusaha konvensional terpaksa gulung tikar.
"Kemenangan besar di Mahkamah Agung mengenai pajak penjualan di internet. Sudah saatnya! Ini kemenangan besar bagi keadilan dan negara kita. Hari yang bersejarah bagi konsumen dan pengusaha ritel," cuit Trump di Twitter.
Dengan kebijakan ini, maka konsumen akan membayar lebih saat berbelanja online karena dipungut pajak. Selama ini, penjual online di AS tidak wajib memungut pajak kepada konsumen, karena tidak ada kehadiran fisik dalam transaksi. Faktor ini yang menjadi keunggulan besar toko online terhadap toko brick and mortar (fisik) karena harga di dunia maya lebih murah.
Perkembangan ini membuat investor mencemaskan nasib perusahaan-perusahaan seperi Amazon atau eBay. Pasalnya, mereka bisa dikejar-kejar otoritas pajak jika sampai lalai memungut pajak. Sebagai gambaran, hanya otoritas pajak AS yang bisa membuat Al Capone mendekam di penjara.
Untuk perdagangan hari ini, berbagai sentimen negatif masih menyelimuti IHSG. Dari eksternal, kejatuhan Wall Street menjadi faktor pertama yang dicermati investor. Biasanya dinamika di Wall Street akan memberi warna terhadap bursa saham Asia, termasuk Indonesia.
Hawa perang dagang yang masih terasa juga perlu diwaspadai. Korban perang dagang sudah mulai angkat bicara, seperti perusahaan otomotif asal Jerman, Daimler, yang memangkas proyeksi laba. Bea masuk yang diterapkan China terhadap produk-produk AS akan menekan penjualan Mercedes-Benz sehingga menurunkan pos laba sebelum bunga dan pajak (EBIT).
Tidak hanya Daimler, sesama perusahaan otomotif asal Jerman yaitu BMW juga sudah mengeluh. BMW banyak mengekspor kendaraan jenis Sport Utility Vehicle (SUV) dari AS ke China.
"Disebabkan perkembangan mengenai perdagangan dan bea masuk akhir-akhir ini, perusahaan tengah mengevaluasi berbagai skenario dan opsi strategis yang dimungkinkan," sebut BMW dalam pernyataannya, dikutip dari Reuters.
Perang dagang tidak hanya mengancam arus perdagangan, tetapi juga pertumbuhan ekonomi dunia. Investor tentu tidak nyaman dengan situasi ini, dan bisa dipaksa untuk bermain aman. Kala investor enggan mengambil risiko, IHSG lagi-lagi akan tertekan.
Sentimen negatif lainnya adalah harga minyak yang masih turun. Dalam rapat konsultasi sebelum pertemuan inti dari Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC), keputusan untuk mengurangi kadar pemotongan produksi hampir mencapai kesepakatan. Meski Iran masih belum satu suara, tetapi sepertinya tidak menghalangi niat Rusia dan Arab Saudi untuk melakukan hal tersebut.
Menurut pihak Rusia dan Arab Saudi, kenaikan produksi 1 juta barel/hari atau sekitar 1% dari pasokan minyak dunia hampir disepakati. Hanya Iran yang absen. "Saya rasa kami tidak akan mencapai kesepakatan," tegas Menteri Perminyakan Iran Bijan Zanganeh, dikutip dari Reuters.
Sejak awal 2017, OPEC dan negara produsen minyak non-OPEC sepakat untuk menurunkan produksi demi mengangkat harga minyak yang sempat terpuruk hingga di level US$ 30/barel. Langkah itu terbukti sukses mengatrol harga minyak. Oleh karena itu, beberapa negara mengajukan proposal untuk mengurangi pemotongan produksi secara bertahap karena pasar dinilai sudah relatif stabil.
Kenaikan pasokan minyak membuat harga terkoreksi. Penurunan harga minyak bukan berita baik buat IHSG, karena emiten migas dan pertambangan menjadi kurang mendapat apresiasi.
Sepertinya ombak belum reda. IHSG masih harus waspada terhadap potensi koreksi lanjutan.
Namun, ada satu sentimen positif yang mungkin bisa membantu IHSG. Setelah terus menguat sejak pertengahan pekan lalu, dolar AS kini mulai kehabisan bensin. Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) turun 0,2% pada pukul 04.40 WIB.
Reli dolar AS yang cukup panjang menggoda investor untuk melakukan ambil untung. Dalam sepekan terakhir, Dolar Index sudah menguat 0,1% dan dalam sebulan penguatannya mencapai 1,34%.
Pemicu ambil untung ini adalah data yang kurang menggembirakan. The Fed Philadelphia merilis indeks aktivitas bisnis wilayah Mid-Atlantik, yang pada Juni tercatat 19,9. Turun drastis dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 34,4. Penurunan ini terjadi saat perang dagang AS-China memanas.
Selain itu, investor juga mengapresiasi perkembangan di Inggris. Bank Sentral Inggris, Bank of England (BoE), memang masih menahan suku bunga acuan di 0,5% dalam rapat yang berakhir dini hari tadi waktu Indonesia. Namun peluang untuk kenaikan pada Agustus dirasa semakin besar.
Penyebabnya adalah Andy Haldane, Kepala Ekonom BoE, yang duduk sebagai salah satu anggota komite voting. Haldane dikenal sebagai sosok yang hawkish sehingga kemungkinan suku bunga acuan naik menjadi 0,75% pada Agustus menjadi kian terbuka.
Pada pertemuan kemarin, tiga dari sembilan anggota komite voting memilih menaikkan suku bunga. Anggota yang memilih kenaikan suku bunga bertambah satu orang dari rapat bulan lalu. Artinya kenaikan suku bunga acuan di Negeri Ratu Elizabeth sudah semakin dekat.
Dua sentimen itu menjadi pelatuk yang membuat investor memilih untuk merealisasikan keuntungan. Akibatnya, dolar AS pun mulai limbung.
Tekanan terhadap greenback bisa dimanfaatkan oleh rupiah untuk berbalik menguat. Apabila rupiah mampu menguat, maka berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini menjadi menguntungkan. IHSG pun akan menerima berkahnya.
Investor perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu |
PT Ateliers Mecaniques D'Indonesie Tbk (AMIN) | RUPS Tahunan | - |
PT Alakasa Industrindo Tbk (ALKA) | RUPS Tahunan | 09:00 |
PT Pelangi Indah Canindo Tbk (PICO) | RUPS Tahunan | 10:00 |
PT Atlas Resources Tbk (ARII) | RUPS Tahunan | 10:00 |
PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG) | RUPS Tahunan | 10:00 |
PT Roda Vivatex Tbk (RDTX) | RUPS Tahunan | 14:30 |
Berikut perkembangan sejumlah bursa saham utama:
Indeks | Close | % Change | % YTD |
IHSG | 5,822.33 | (1.05) | (8.39) |
DJIA | 24,461.70 | (0.80) | (1.04) |
CSI300 | 3,593.04 | (1.17) | (10.86) |
Hang Seng | 29,296.05 | (1.35) | (2.08) |
Nikkei 225 | 22,693.04 | (0.61) | (0.32) |
Straits Times | 3,300.00 | (0.48) | (3.02) |
Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang:
Mata Uang | Close | % Change | % YoY |
USD/IDR | 14,098 | 1.24 | 5.80 |
EUR/USD | 1.16 | 0.32 | 4.10 |
GBP/USD | 1.32 | 0.55 | 4.44 |
USD/CHF | 0.99 | (0.47) | 2.00 |
USD/CAD | 1.33 | 0,05 | 0.64 |
USD/JPY | 109.88 | (0.42) | (1.29) |
AUD/USD | 0.74 | 0.13 | (2.18) |
Berikut perkembangan harga sejumlah komoditas:
Komoditas | Close | % Change | % YoY |
Minyak Light Sweet (US$/barel) | 65.93 | (0.39) | 54.34 |
Minyak Brent (US$/barel) | 73.33 | (1.89) | 62.19 |
Emas (US$/troy ons) | 1,264.35 | (0.09) | 1.13 |
CPO (MYR/ton) | 2,254.00 | (0.31) | (13.21) |
Batu bara (US$/ton) | 105.75 | (1.90) | 33.81 |
Tembaga (US$/pound) | 3.03 | (0.48) | 16.74 |
Nikel (US$/ton) | 14,893.00 | 2.25 | 66.06 |
Timah (US$/ton) | 20,650.00 | 1.35 | 7.27 |
Karet (JPY/kg) | 161.10 | 0.19 | (17.97) |
Kakao (US$/ton) | 2,507.00 | (2.38) | 39.93 |
Berikut perkembangan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara:
Tenor | Yield (%) |
5Y | 7.11 |
10Y | 7.48 |
15Y | 7.83 |
20Y | 7.83 |
30Y | 7.90 |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2018 YoY) | 5.06% |
Inflasi (Mei 2018 YoY) | 3.23 |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2.19% PDB |
Transaksi berjalan (Q I-2018) | -2.15% PDB |
Neraca pembayaran (Q I-2018) | -US$ 3.85 miliar |
Cadangan devisa (Mei 2018) | US$ 122.9 |
TIMM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kalau Trump Saja Bisa Kena Covid, Apa Kabar Kita-kita?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular