
Newsletter
Lagu Perang Dagang Kembali Berkumandang
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
03 May 2018 06:01

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil ditutup menguat pada perdagangan kemarin. Rilis data inflasi menjadi penyelamat IHSG, yang sebenarnya tertekan akibat pelemahan nilai tukar rupiah.
IHSG menguat 0,29% ke 6.012,24 poin pada perdagangan kemarin. Nilai transaksi tercatat Rp 9,2 triliun dengan volume 8,59 miliar unit saham dan frekuensi perdagangan sebanyak 500.928 kali.
Data inflasi mampu muncul sebagai penyelamat bursa saham domestik dari koreksi ke zona merah. IHSG sebelumnya sempat mencapai titik terendah di 5.970,34. Namun, setelah data inflasi diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada pukul 11:00 WIB, IHSG mulai menipiskan koreksinya dan berhasil mengakhiri hari di teritori positif.
Inflasi periode April adalah 0,1% MoM (3,41% YoY), lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yang sebesar 0,14% MoM (3,49% YoY). Inflasi yang lebih rendah dari perkiraan ini nampak melegakan investor.
Secara sektoral, sektor jasa keuangan menjadi kontributor terbesar bagi penguatan IHSG. Sektor ini ditutup naik 1,06% dan berkontribusi sebesar 18,2 poin bagi total kenaikan IHSG yang sebesar 17,6 poin.
Di sisi lain, penguatan IHSG tertahan oleh kembali melemahnya rupiah. Sampai akhir perdagangan IHSG, rupiah terdepresiasi 0,25% ke Rp 13.945/US$. Bahkan, rupiah sempat mencapai titik terlemahnya di Rp 13,960/US$.
Merespons pelemahan rupiah, investor asing kembali melakukan aksi jual bersih sebesar Rp 511,66 miliar. Saham-saham yang paling banyak dilepas investor asing di antaranya UNTR (Rp 132,9 miliar), ADRO (Rp 110,3 miliar), BBRI (Rp 51,2 miliar), TLKM (Rp 33,2 miliar), dan HMSP (Rp 30,9 miliar).
IHSG cukup beruntung karena bursa saham kawasan tidak mampu melepaskan diri dari koreksi. Indeks Nikkei 225 turun 0,16%, SSEC melemah 0,03%, Hang Seng terkoreksi 0,27%, Kospi berkurang 0,39%, dan KLCI minus 0,98%.
Pasar saham regional nampaknya masih cenderung mewaspadai kenaikan suku bunga acuan di Amerika Serikat (ASS). Investor memperkirakan tahun ini akan ada tiga kali kenaikan suku bunga, tetapi jika ancaman inflasi semakin nyata maka kenaikan lebih dari itu bukan hal yang tidak mungkin.
Sebagai catatan, potensi inflasi AS memang berpotensi terakselerasi dalam bulan-bulan ke depan. Potensi ini muncul setelah kenaikan biaya pengadaan bahan baku, salah satunya akibat kebijakan Presiden AS Donald Trump yang memberlakukan bea masuk untuk baja dan aluminium. Dari Wall Street, tiga indeks utama mengalami koreksi meski relatif terbatas. Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 0,72%, S&P 500 turun 0,72%, dan Nasdaq berkurang 0,42%.
Sebenarnya Wall Street menguat pada sesi awal perdagangan, didukung oleh keputusan bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) yang menahan suku bunga acuan di 1,5-1,75%. Hal ini sejalan dengan ekspektasi pasar, sehingga mendapat respons positif.
The Fed juga optimistis terhadap prospek perekonomian ke depan dengan laju inflasi yang moderat. Inflasi di Negeri Paman Sam diperkirakan berada di kisaran 2% hingga jangka menengah.
Dalam hal ketenagakerjaan, The Fed juga cukup percaya diri. The Fed menyebutkan pertumbuhan jumlah pekerja cukup kuat secara rata-rata.
Kesimpulannya, The Fed menyatakan perekonomian AS akan tumbuh dalam besaran yang moderat. Oleh karena itu, pelaku pasar bisa menghembuskan nafas lega karena untuk sementara sepertinya kenaikan suku bunga acuan masih sesuai dengan perkiraan, yaitu tiga kali. Dengan pertumbuhan ekonomi yang masih moderat (belum kencang), maka nampaknya pengetatan moneter ekstra belum terlalu dibutuhkan.
Namun, sentimen positif dari pengumuman suku bunga acuan tergerus oleh Gedung Putih. Pemerintahan Presiden AS Donald Trump berencana untuk melarang sejumlah perusahaan China untuk menjual perangkat telekomunikasi di Negeri Paman Sam. Kebijakan ini kemungkinan besar ditujukan untuk Huawei dan ZTE.
Dasar dari pelarangan tersebut adalah soal keamanan nasional. Parlemen dan pemerintah AS sebelumnya mendesak agar perusahaan-perusahaan di sana tidak menjual produk Huawei atau ZTE karena bisa menjadi alat mata-mata.
"Kami tidak bisa berkomentar mengenai individual perusahaan. Namun melindungi infrastruktur penting, termasuk produk yang terkait dengan infrastruktur itu, adalah hal mutlak dalam rangka melindungi keamanan nasional dan keselamatan publik AS," sebut Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih, seperti dikutip Reuters.
Jika kebijakan ini jadi diterapkan, maka lagu bernama perang dagang AS vs China akan kembali berkumandang. Ketika ancaman perang dagang semakin nyata, maka akan menjadi risiko besar bagi pasar keuangan global.
Kini pasar tengah menantikan bagaimana perkembangan negosiasi perdagangan antara Washington dan Beijing. Delegasi dari AS akan mengunjungi China pada Kamis-Jumat waktu setempat untuk memulai negosiasi perdagangan. Sebelum ada kesepakatan yang substansial, sepertinya investor masih akan memasang mode defensif karena risiko perang dagang bisa muncul kapan saja. Untuk perdagangan hari ini, pelemahan Wall Street bisa menjadi alarm bagi IHSG. Biasanya koreksi Wall Street akan menular dan menjangkiti bursa saham Asia, termasuk Indonesia.
Pelaku pasar juga perlu memperhatikan penyataan The Fed. Meski sudah jelas suku bunga ditahan, tetapi biasanya kemudian pasar mencerna kata demi kata yang disampaikan oleh Jerome Powell, Gubernur The Fed, untuk kemudian menginterpretasikannya. Setiap kata bisa saja mengandung makna tertentu bagi pelaku pasar, sehingga dampak dari hasil pertemuan The Fed sepertinya masih akan berlanjut.
Selain itu, investor juga perlu mencermati perkembangan isu perang dagang yang kembali menghangat. Jika bursa saham Asia merespons negatif atas rencana AS melarang perusahaan China untuk berjualan alat telekomunikasi, maka IHSG mungkin perlu siap-siap untuk ikut terkoreksi.
Perkembangan nilai tukar rupiah juga patut diwaspadai oleh pelaku pasar. Sebab, kemungkinan dolar AS masih akan melanjutkan keperkasaannya. Dollar Index, yang mengukur dolar AS dibandingkan enam mata uang utama, menguat sampai 0,29% pagi ini.
Penguatan dolar AS dipicu oleh langkah The Fed yang meski masih menahan suku bunga acuan, tetapi menyebut bahwa inflasi sudah mendekati sasaran. Personal Consumption Expenditure (PCE), yang menjadi indikator The Fed untuk mengukur tingkat inflasi, sudah mencapai target 2%. Untuk core PCE sudah mendekati 2%, tepatnya 1,9%.
Artinya, peluang untuk kenaikan suku bunga acuan pada pertemuan Juni semakin besar, karena ada kebutuhan untuk menjangkar ekspektasi inflasi agar sesuai dengan target. Dalam pertemuan 13 Juni mendatang, kemungkinan kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 1,75-2% mencapai 95%, menurut CME Fedderal Funds Futures.
Ketika peluang kenaikan suku bunga acuan masih terbuka lebar, maka ruang apresiasi mata uang pun demikian. Greenback siap kembali menguat dan mengancam mata uang global, termasuk rupiah.
Pelemahan rupiah akan membuat berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini menjadi kurang mengutungkan, karena nilainya turun. Oleh karena itu, tekanan jual akan membayangi saat rupiah terdepresiasi.
Investor juga perlu menyimak perkembangan harga minyak, yang saat ini masih variatif cenderung bergerak tipis. Namun ada hal-hal yang bisa mengubah arah harga si emas hitam.
Pertama adalah potensi diberlakukannya kembali sanksi bagi Iran, yang sempat dicabut pada 2015 setelah kesepakatan soal program nuklir dengan AS dan negara-negara barat. Trump nampaknya masih berkeras untuk keluar dari kesepakatan yang dibuat pada masa pemerintahan Presiden Barack Obama itu. Pemerintahan Trump beberapa kali mempertanyakan keseriusan Teheran untuk mengentikan program pengayaan uranium.
Bila sanksi terhadap Iran kembali dikenakan, maka dalam jangka panjang harga minyak akan naik karena berkurangnya pasokan. Bagaimanapun Iran termasuk negara produsen dan eksportir minyak utama dunia dengan cadangan mencapai 157,2 miliar barel. Produksi minyak di Negeri Persia adalah 3,65 juta barel/hari dan ekspornya mencapai 1,92 juta barel/hari. Potensi itu bisa hilang kala Iran kembali dijatuhi sanksi pengucilan ekonomi.
Namun dalam jangka pendek selagi sanksi belum diterapkan, Iran bisa saja melepas minyaknya besar-besaran karena hal itu akan sulit dilakukan jika sudah ada embargo ekonomi. Ketika minyak Iran membludak di pasar, maka bisa menyeret harga turun karena pasokan yang melimpah.
Namun, harga minyak juga berpotensi turun karena peningkatan cadangan di AS. US Energy Information Administration (EIA) mencatat, cadangan minyak AS sepekan kemarin naik 6,22 juta barel menjadi 435,95 juta barel.
Dari dalam negeri, belum ada data kunci yang diumumkan hari ini. Namun investor bisa memantau kegiatan emiten baik itu penyampaian laporan keuangan maupun RUPS Tahunan. Bila kinerja emiten masih solid dan ada kabar gembira seperti dividen, maka bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG. Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Berikut perkembangan sejumlah bursa saham:
Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang:
Berikut perkembangan harga sejumlah komoditas:
Berikut perkembangan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kalau Trump Saja Bisa Kena Covid, Apa Kabar Kita-kita?
IHSG menguat 0,29% ke 6.012,24 poin pada perdagangan kemarin. Nilai transaksi tercatat Rp 9,2 triliun dengan volume 8,59 miliar unit saham dan frekuensi perdagangan sebanyak 500.928 kali.
Data inflasi mampu muncul sebagai penyelamat bursa saham domestik dari koreksi ke zona merah. IHSG sebelumnya sempat mencapai titik terendah di 5.970,34. Namun, setelah data inflasi diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada pukul 11:00 WIB, IHSG mulai menipiskan koreksinya dan berhasil mengakhiri hari di teritori positif.
Inflasi periode April adalah 0,1% MoM (3,41% YoY), lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yang sebesar 0,14% MoM (3,49% YoY). Inflasi yang lebih rendah dari perkiraan ini nampak melegakan investor.
Secara sektoral, sektor jasa keuangan menjadi kontributor terbesar bagi penguatan IHSG. Sektor ini ditutup naik 1,06% dan berkontribusi sebesar 18,2 poin bagi total kenaikan IHSG yang sebesar 17,6 poin.
Di sisi lain, penguatan IHSG tertahan oleh kembali melemahnya rupiah. Sampai akhir perdagangan IHSG, rupiah terdepresiasi 0,25% ke Rp 13.945/US$. Bahkan, rupiah sempat mencapai titik terlemahnya di Rp 13,960/US$.
Merespons pelemahan rupiah, investor asing kembali melakukan aksi jual bersih sebesar Rp 511,66 miliar. Saham-saham yang paling banyak dilepas investor asing di antaranya UNTR (Rp 132,9 miliar), ADRO (Rp 110,3 miliar), BBRI (Rp 51,2 miliar), TLKM (Rp 33,2 miliar), dan HMSP (Rp 30,9 miliar).
IHSG cukup beruntung karena bursa saham kawasan tidak mampu melepaskan diri dari koreksi. Indeks Nikkei 225 turun 0,16%, SSEC melemah 0,03%, Hang Seng terkoreksi 0,27%, Kospi berkurang 0,39%, dan KLCI minus 0,98%.
Pasar saham regional nampaknya masih cenderung mewaspadai kenaikan suku bunga acuan di Amerika Serikat (ASS). Investor memperkirakan tahun ini akan ada tiga kali kenaikan suku bunga, tetapi jika ancaman inflasi semakin nyata maka kenaikan lebih dari itu bukan hal yang tidak mungkin.
Sebagai catatan, potensi inflasi AS memang berpotensi terakselerasi dalam bulan-bulan ke depan. Potensi ini muncul setelah kenaikan biaya pengadaan bahan baku, salah satunya akibat kebijakan Presiden AS Donald Trump yang memberlakukan bea masuk untuk baja dan aluminium. Dari Wall Street, tiga indeks utama mengalami koreksi meski relatif terbatas. Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 0,72%, S&P 500 turun 0,72%, dan Nasdaq berkurang 0,42%.
Sebenarnya Wall Street menguat pada sesi awal perdagangan, didukung oleh keputusan bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) yang menahan suku bunga acuan di 1,5-1,75%. Hal ini sejalan dengan ekspektasi pasar, sehingga mendapat respons positif.
The Fed juga optimistis terhadap prospek perekonomian ke depan dengan laju inflasi yang moderat. Inflasi di Negeri Paman Sam diperkirakan berada di kisaran 2% hingga jangka menengah.
Dalam hal ketenagakerjaan, The Fed juga cukup percaya diri. The Fed menyebutkan pertumbuhan jumlah pekerja cukup kuat secara rata-rata.
Kesimpulannya, The Fed menyatakan perekonomian AS akan tumbuh dalam besaran yang moderat. Oleh karena itu, pelaku pasar bisa menghembuskan nafas lega karena untuk sementara sepertinya kenaikan suku bunga acuan masih sesuai dengan perkiraan, yaitu tiga kali. Dengan pertumbuhan ekonomi yang masih moderat (belum kencang), maka nampaknya pengetatan moneter ekstra belum terlalu dibutuhkan.
Namun, sentimen positif dari pengumuman suku bunga acuan tergerus oleh Gedung Putih. Pemerintahan Presiden AS Donald Trump berencana untuk melarang sejumlah perusahaan China untuk menjual perangkat telekomunikasi di Negeri Paman Sam. Kebijakan ini kemungkinan besar ditujukan untuk Huawei dan ZTE.
Dasar dari pelarangan tersebut adalah soal keamanan nasional. Parlemen dan pemerintah AS sebelumnya mendesak agar perusahaan-perusahaan di sana tidak menjual produk Huawei atau ZTE karena bisa menjadi alat mata-mata.
"Kami tidak bisa berkomentar mengenai individual perusahaan. Namun melindungi infrastruktur penting, termasuk produk yang terkait dengan infrastruktur itu, adalah hal mutlak dalam rangka melindungi keamanan nasional dan keselamatan publik AS," sebut Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih, seperti dikutip Reuters.
Jika kebijakan ini jadi diterapkan, maka lagu bernama perang dagang AS vs China akan kembali berkumandang. Ketika ancaman perang dagang semakin nyata, maka akan menjadi risiko besar bagi pasar keuangan global.
Kini pasar tengah menantikan bagaimana perkembangan negosiasi perdagangan antara Washington dan Beijing. Delegasi dari AS akan mengunjungi China pada Kamis-Jumat waktu setempat untuk memulai negosiasi perdagangan. Sebelum ada kesepakatan yang substansial, sepertinya investor masih akan memasang mode defensif karena risiko perang dagang bisa muncul kapan saja. Untuk perdagangan hari ini, pelemahan Wall Street bisa menjadi alarm bagi IHSG. Biasanya koreksi Wall Street akan menular dan menjangkiti bursa saham Asia, termasuk Indonesia.
Pelaku pasar juga perlu memperhatikan penyataan The Fed. Meski sudah jelas suku bunga ditahan, tetapi biasanya kemudian pasar mencerna kata demi kata yang disampaikan oleh Jerome Powell, Gubernur The Fed, untuk kemudian menginterpretasikannya. Setiap kata bisa saja mengandung makna tertentu bagi pelaku pasar, sehingga dampak dari hasil pertemuan The Fed sepertinya masih akan berlanjut.
Selain itu, investor juga perlu mencermati perkembangan isu perang dagang yang kembali menghangat. Jika bursa saham Asia merespons negatif atas rencana AS melarang perusahaan China untuk berjualan alat telekomunikasi, maka IHSG mungkin perlu siap-siap untuk ikut terkoreksi.
Perkembangan nilai tukar rupiah juga patut diwaspadai oleh pelaku pasar. Sebab, kemungkinan dolar AS masih akan melanjutkan keperkasaannya. Dollar Index, yang mengukur dolar AS dibandingkan enam mata uang utama, menguat sampai 0,29% pagi ini.
Penguatan dolar AS dipicu oleh langkah The Fed yang meski masih menahan suku bunga acuan, tetapi menyebut bahwa inflasi sudah mendekati sasaran. Personal Consumption Expenditure (PCE), yang menjadi indikator The Fed untuk mengukur tingkat inflasi, sudah mencapai target 2%. Untuk core PCE sudah mendekati 2%, tepatnya 1,9%.
Artinya, peluang untuk kenaikan suku bunga acuan pada pertemuan Juni semakin besar, karena ada kebutuhan untuk menjangkar ekspektasi inflasi agar sesuai dengan target. Dalam pertemuan 13 Juni mendatang, kemungkinan kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 1,75-2% mencapai 95%, menurut CME Fedderal Funds Futures.
Ketika peluang kenaikan suku bunga acuan masih terbuka lebar, maka ruang apresiasi mata uang pun demikian. Greenback siap kembali menguat dan mengancam mata uang global, termasuk rupiah.
Pelemahan rupiah akan membuat berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini menjadi kurang mengutungkan, karena nilainya turun. Oleh karena itu, tekanan jual akan membayangi saat rupiah terdepresiasi.
Investor juga perlu menyimak perkembangan harga minyak, yang saat ini masih variatif cenderung bergerak tipis. Namun ada hal-hal yang bisa mengubah arah harga si emas hitam.
Pertama adalah potensi diberlakukannya kembali sanksi bagi Iran, yang sempat dicabut pada 2015 setelah kesepakatan soal program nuklir dengan AS dan negara-negara barat. Trump nampaknya masih berkeras untuk keluar dari kesepakatan yang dibuat pada masa pemerintahan Presiden Barack Obama itu. Pemerintahan Trump beberapa kali mempertanyakan keseriusan Teheran untuk mengentikan program pengayaan uranium.
Bila sanksi terhadap Iran kembali dikenakan, maka dalam jangka panjang harga minyak akan naik karena berkurangnya pasokan. Bagaimanapun Iran termasuk negara produsen dan eksportir minyak utama dunia dengan cadangan mencapai 157,2 miliar barel. Produksi minyak di Negeri Persia adalah 3,65 juta barel/hari dan ekspornya mencapai 1,92 juta barel/hari. Potensi itu bisa hilang kala Iran kembali dijatuhi sanksi pengucilan ekonomi.
Namun dalam jangka pendek selagi sanksi belum diterapkan, Iran bisa saja melepas minyaknya besar-besaran karena hal itu akan sulit dilakukan jika sudah ada embargo ekonomi. Ketika minyak Iran membludak di pasar, maka bisa menyeret harga turun karena pasokan yang melimpah.
Namun, harga minyak juga berpotensi turun karena peningkatan cadangan di AS. US Energy Information Administration (EIA) mencatat, cadangan minyak AS sepekan kemarin naik 6,22 juta barel menjadi 435,95 juta barel.
Dari dalam negeri, belum ada data kunci yang diumumkan hari ini. Namun investor bisa memantau kegiatan emiten baik itu penyampaian laporan keuangan maupun RUPS Tahunan. Bila kinerja emiten masih solid dan ada kabar gembira seperti dividen, maka bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG. Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data indeks sektor jasa PMI Inggris periode April (15:30).
- Rilis data klaim pengangguran AS dalam sepekan hingga tanggal 27 April (19:30).
- Rilis data indeks non-manufaktur PMI AS versi ISM periode April (21:00).
Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu |
PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) | Rilis Laporan Keuangan Kuartal 1 | - |
PT Nusa Raya Cipta Tbk (NRCA) | RUPS Tahunan | 09:30 |
PT Hartadinata Abadi Tbk (HRTA) | RUPS Tahunan | 09:30 |
PT AKR Corporindo Tbk (AKRA) | RUPS Tahunan | 10:00 |
PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk (APOL) | RUPS Tahunan | 10:00 |
PT WEHA Transportasi Indonesia Tbk (WEHA) | RUPS Tahunan | 10:00 |
PT Indopoly Swakarsa Industry Tbk (IPOL) | RUPS Tahunan | 10:00 |
PT Bank Dinar Indonesia Tbk (DNAR) | RUPS Tahunan | 11:00 |
PT Golden Energy Mines Tbk (GEMS) | RUPS Tahunan | 14:00 |
Berikut perkembangan sejumlah bursa saham:
Indeks | Close | % Change | % YTD |
IHSG | 6,012.24 | 0.29 | (5.40) |
LQ45 | 964.28 | 0.61 | (10.66) |
DJIA | 24,924.98 | (0.72) | (3.21) |
CSI300 | 3,764.11 | 0.19 | (6.62) |
Hang Seng | 30,723.88 | (0.27) | 2.69 |
Nikkei 225 | 22,472.78 | (0.16) | (1.28) |
Straits Times | 3,615.28 | 0.04 | 6.24 |
Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang:
Mata Uang | Close | % Change | % YoY |
USD/IDR | 13,945.00 | 0.25 | 4.79 |
EUR/USD | 1.19 | (0.28) | 9.90 |
GBP/USD | 1.36 | (0.26) | 5.54 |
USD/CHF | 0.99 | 0.26 | 0.43 |
USD/CAD | 1.29 | 0.20 | (6.23) |
USD/JPY | 109.84 | (0.01) | (2.55) |
AUD/USD | 0.75 | 0.07 | 0.99 |
Berikut perkembangan harga sejumlah komoditas:
Komoditas | Close | % Change | % YoY |
Minyak WTI (USD/barel) | 67.73 | 0.68 | 41.62 |
Minyak Brent (USD/barel) | 73.09 | (0.05) | 43.90 |
Emas (USD/troy ons) | 1,306.22 | 0.20 | 5.53 |
CPO (MYR/ton) | 2,341.00 | 0.73 | (13.46) |
Batu bara (USD/ton) | 96.80 | (1.12) | 24.10 |
Tembaga (USD/pound) | 3.04 | 0.88 | 20.09 |
Nikel (USD/ton) | 13,596.75 | 0.03 | 48.16 |
Timah (USD/ton) | 21,170.00 | (0.17) | 6.41 |
Karet (JPY/kg) | 180.90 | 0.82 | (17.70) |
Kakao (USD/ton) | 2,610.00 | (10.43) | 59.27 |
Berikut perkembangan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara:
Tenor | Yield (%) |
5Y | 6.52 |
10Y | 6.96 |
15Y | 7.25 |
20Y | 7.49 |
30Y | 7.58 |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (2017 YoY) | 5.07% |
Inflasi (April 2018 YoY) | 3.41% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2.19% PDB |
Transaksi berjalan (2017) | -1.7% PDB |
Neraca pembayaran (2017) | US$ 11.6 miliar |
Cadangan devisa (Maret 2018) | US$ 126 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kalau Trump Saja Bisa Kena Covid, Apa Kabar Kita-kita?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular