
Perang Dagang Masih Jadi Perhatian

- IHSG ditutup 'merah' pada akhir pekan lalu.
- Bursa utama Asia mayoritas terkoreksi.
- Wall Street melemah pada akhir pekan lalu, yang bisa menjadi sentimen negatif di Asia pada hari ini.
IHSG ditutup melemah 0,69% ke 6.210,7 poin pada perdagangan akhir pekan lalu. Sementara selama sepekan,IHSG terkoreksi 1,49%. Koreksi tersebut menyebabkan kapitalisasi pasar turun 1,5% dibandingkan pekan sebelumnya menjadi Rp 6.908,34 triliun.
Rata-rata nilai transaksi saham harian sepanjang pekan lalu turun 2,92% menjadi Rp 8,64 triliun. Sedangkan rata-rata volume transaksi saham harian naik 1,13% menjadi 11,17 miliar unit saham dari 11,05 miliar unit saham pada pekan lalu, dan rata-rata frekuensi transaksi harian turun 1,74% ke posisi 364,93 ribu kali.
Investor asing kembali mencatatkan aksi jual bersih sepanjang pekan lalu dengan nilai Rp 3,75 triliun. Sepanjang tahun ini, investor asing telah membukukan jual bersih senilai Rp 21,04 triliun.
Pelaku pasar nampak masih menghindari aset-aset beresiko setelah pertemuan the Federal Reserve yang bisa dibilang mengecewakan. Pasalnya, kenaikan suku bunga acuan sebanyak empat kali pada tahun masih terbuka meski samar-samar. Belum lagi pengetatan pada 2019 dan 2020 yang diproyeksikan akan bertambah setidaknya satu kali dari yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Kini, kenaikan suku bunga acuan 2019 diproyeksikan menjadi tiga kali (dari sebelumnya dua kali), serta kenaikan suku bunga 2020 diperkirakan dua kali (dari yang sebelumnya sekali). Pelaku pasar nampak belum memperhitungkan hal ini sebelumnya, sehingga aksi jual terjadi dalam skala yang besar.
Kemudian, potensi perang dagang dalam skala global kembali mencuat setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menandatangani kebijakan pengenaan bea masuk yang menargetkan produk asal China senilai hingga US$ 60 miliar atau sekitar Rp 824 triliun. Kebijakan itu dimaksudkan untuk 'menghukum' China atas praktik perdagangan yang disebut oleh pemerintahan Trump mencuri hak kekayaan intelektual.
Sebenarnya, kabar mengenai kebijakan ini sudah lama berhembus. Namun, ada satu hal khusus yang membuat pelaku pasar begitu gusar, yaitu sikap pemerintah China yang bergerak cepat dalam menyiapkan aksi balasan.
Pemerintah China mempublikasikan daftar 128 produk AS yang berpotensi menjadi target tindakan balasan, termasuk daging babi, anggur (wine), buah-buahan, dan baja. Barang-barang tersebut bernilai sekitar US$ 3 miliar. Bea masuk 25% akan dikenakan pada daging babi sementara buah kering dan segar akan dikenakan tarif 15%.
Tingginya tensi perang dagang antara AS dan China tersebut juga membebani bursa regional. Pada akhir pekan lalu, indeks Hang Seng ditutup melemah 2,45%, SSEC terkoreksi 3,38%, Kospi turun 3,18%, Strait Times berkurang 2%, dan Nikkei 225 anjlok 4,51%.
Sentimen perang dagang juga membuat investor meninggalkan Wall Street. Pada akhir pekan lalu, tiga indeks utama di Wall Street masih terkoreksi lumayan dalam. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 1,77%, S&P 500 melemah 2,1%, dan Nasdaq berkurang 2,43%.
Alhasil, performa mingguan Wall Street sepanjang pekan lalu menjadi yang terburuk sejak Januari 2016. Dalam sepekan lalu, indeks Dow Jones terkoreksi hingga 5,67%. Sementara S&P 500 melemah 5,95%, dan Nasdaq turun 6,54%. Koreksi yang sangat dalam.
"Ada kekhawatiran soal perang dagang, aksi saling balas dan saling proteksi, sehingga investor ingin meminimalkan risiko. Jika tensi ini semakin tinggi, maka akan menjadi hantaman besar bagi pasar," tegas Peter Kenny, Senior Market Strategist di Global Markets Advisory Group yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.
Dari pasar komoditas, harga minyak naik signifikan pada akhir pekan lalu. Harga minyak jenis light sweet untuk kontrak pengiriman Mei 2018 ditutup menguat 2,46% ke US$ 65,88/barel, sementara brent juga tumbuh 2,23% ke US$ 70,45/barel. Dalam sepekan, light sweet dan brent masing-masing berhasil menguat sebesar 5,68% dan 6,40%.
Kenaikan harga minyak masih disokong oleh komentar Arab Saudi yang ingin agar koordinasi untuk mengurangi produksi minyak berlanjut hingga 2019. Pengurangan produksi terbukti bisa mengangkat harga si emas hitam yang sempat terpuruk.
Harga emas betulan pun bergerak naik. Selama sepekan, harga emas sudah menguat 2,67%. Kejatuhan pasar modal akibat panasnya tensi dagang antara Negeri Paman Sam dan Negeri Tirai Bambu nampaknya mendorong investor untuk beralih ke instrumen safe haven seperti emas.
Untuk perdagangan hari ini, terdapat beberapa risiko yang bisa menyebabkan IHSG kembali terjerembab di zona merah. Pertama adalah koreksi di Wall Street akhir pekan lalu yang bisa menjadi sentimen negatif di Asia pada hari ini.
Kedua, kekhawatiran perang dagang yang sepertinya belum usai. China memang sudah merilis 128 produk AS yang akan dipersulit untuk masuk, tetapi diyakini itu bukan yang terakhir. Sepertinya daftar produk AS yang menjadi korban balas dendam akan bertambah.
Selama aksi saling balas ini terjadi, aura perdagangan dan perekonomian global masih akan negatif. Imbasnya tentu ke pasar keuangan, termasuk pasar modal.
Risiko ketiga adalah, dalam kondisi seperti ini pelaku pasar akan enggan bermain-main dengan aset yang berisiko seperti saham. Investor akan mencari selamat masing-masing dengan menempatkan dana di instrumen yang dianggap aman seperti komoditas, obligasi pemerintah AS, atau mata uang yen Jepang (ini yang membuat nilai tukar yen cenderung menguat).
Keempat, meski sudah terkoreksi cukup dalam tetapi ruang ambil untung (profit taking) di bursa saham Indonesia masih terbuka. IHSG saat ini memiliki Price to Earnings Ratio (P/E) 17,47 kali. Lebih tinggi ketimbang bursa negara-negara tetangga seperti Straits Times yang hanya 11,34 kali, KLCI 16,84 kali, SETi 16,98 kali, Nikkei 225 14,88 kali, Hang Seng 12,46 kali, SSEC 14,32 kali, sampai Kospi 12,1 kali. Valuasi IHSG masih terlalu mahal, sehingga membuka ruang koreksi.
Kelima, meski harga minyak naik tetapi harga komoditas lain justru terkoreksi. Komoditas yang harganya turun adalah logam industrial seperti timah, tembaga, atau nikel. Hal ini sebagai respons terhadap perang dagang yang bisa menganggu produksi industri manufaktur dan rantai pasok global (global value chain).
Sementara faktor yang bisa membuat IHSG berbalik arah ke teritori positif adalah koreksi yang terjadi sudah cukup dalam. Selama Maret, IHSG sudah berkurang 5,86% dan sejak awal tahun pelemahannya adalah 2,28%. Ini membuat harga saham di bursa domestik menjadi lebih murah dan siap diborong.
Harga minyak juga bisa diharapkan menjadi pendorong laju IHSG, jika reli yang sudah terjadi sejak pekan lalu masih berlanjut. Kenaikan harga komoditas seperti minyak diharapkan mampu mengangkat persepsi terhadap emiten migas dan pertambangan. Sebagai informasi saja, kini harga minyak jenis brent sudah menyentuh US$ 70/barel.
Perkembangan dolar AS juga bisa menjadi kontributor penguatan IHSG. Setelah sempat perkasa, greenback bergerak melemah dalam sepekan terakhir. Investor 'menghukum' dolar AS karena agak kecewa dengan hasil pertemuan The Fed yang ambigu. Ketidakjelasan arah kebijakan The Fed membuat investor memilih instrumen lain seperti obligasi atau emas ketimbang dolar AS.
Ketika dolar bergerak melemah terhadap mata uang global, maka rupiah berpeluang untuk terapresiasi. Ini bisa menjadi kabar baik bagi IHSG.
Hari ini, sejumlah emiten juga akan memaparkan kinerja seperti BSWD,WIKA, dan IBFN. Jika ada kabar baik, maka bisa menjadi sentimen positif buat IHSG.
Minimnya sentimen di dalam negeri menyebabkan pergerakan pasar menjadi terbatas karena mengandalkan sentimen eksternal. Mungkin sentimen berikutnya yang bisa menjadi katalis besar adalah kenaikan peringkat atau rating Indonesia.
Lembaga pemeringkat yang berpotensi menaikkan rating Indonesia adalah Moody's karena Fitch Ratings baru mempromosikan Indonesia pada akhir tahun lalu, dan Standard and Poor's (S&P) terkenal konservatif. Ketika rating Indonesia ditambah, maka akan menjadi dorongan positif yang signifikan dan sepertinya bisa meredam berbagai kabar tidak sedap dari luar.
Berikut agenda yang akan terjadi hari ini:
- Menko Perekonomian Darmin Nasution dan sejumlah menteri Kabinet Kerja mengadakan rapat koordinasi membahas perkoperasian (09:00 WIB). Dilanjutkan dengan rapat koordinasi tentang pangan (16:00 WIB).
- Komisi XI DPR mengadakan Rapat Dengan Pendapat Umum untuk meminta masukan dari para ahli terkait calon Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo (14:00 WIB).
- Pengumuman data pertumbuhan produksi manufaktur Singapura (12:00).
- Pidato Daniele Nouy, Ketua Dewan Pengawas Bank Sentral Uni Eropa/ECB (20:00).
- Pidato Randal Quarles, Wakil Ketua Dewan Pengawas The Fed (21:00).
Berikut perkembangan sejumlah bursa utama dunia:
Indeks | Close | % Change | % YTD |
IHSG | 6,210.70 | (0.69) | (2.28) |
LQ45 | 1,017.49 | (0.89) | (5.73) |
DJIA | 23,533.20 | (1.77) | (4.80) |
CSI300 | 3,905.46 | (2.86) | (3.11) |
Hang Seng | 30,309.29 | (2.45) | 1.30 |
Nikkei 225 | 20,617.86 | (4.51) | (9.43) |
Straits Times | 3,421.39 | (2.00) | 0.54 |
Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang:
Mata Uang | Close | % Change | % YoY |
USD/IDR | 13,780.00 | 0.31 | 3.54 |
EUR/USD | 1.24 | 0.09 | 13.96 |
GBP/USD | 1.41 | 0.14 | 13.02 |
USD/CHF | 0.95 | (0.21) | (3.90) |
USD/CAD | 1.29 | (0.36) | (3.62) |
USD/JPY | 104.72 | (0.51) | (5.24) |
AUD/USD | 0.77 | 0.15 | 1.01 |
Berikut perkembangan harga sejumlah komoditas:
Komoditas | Close | % Change | % YoY |
Minyak WTI (USD/barel) | 64.02 | 0.21 | 37.15 |
Minyak Brent (USD/barel) | 70.67 | 0.24 | 38.57 |
Emas (USD/troy ons) | 1,351.25 | 0.17 | 7.78 |
CPO (MYR/ton) | 2,420.00 | (1.02) | (14.88) |
Batu bara (USD/ton) | 90.42 | (0.93) | 11.70 |
Tembaga (USD/pound) | 2.98 | (0.91) | 13.70 |
Nikel (USD/ton) | 12,902.00 | (1.86) | 32.97 |
Timah (USD/ton) | 20,775.00 | (0.36) | 6.64 |
Karet (JPY/kg) | 167.00 | (5.92) | (36.14) |
Kakao (USD/ton) | 2,615.00 | 3.16 | 21.63 |
Berikut perkembangan yield Surat Berharga Negara:
Tenor | Yield (%) |
5Y | 6.03 |
10Y | 6.87 |
15Y | 7.02 |
20Y | 7.42 |
30Y | 7.47 |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Kurs (23 Maret 2018) | Rp 13.780/US$ |
Pertumbuhan ekonomi (2017 YoY) | 5,07% |
Inflasi (Februari 2018 YoY) | 3,18% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2,19% PDB |
Transaksi berjalan (2017) | -1,7% PDB |
Neraca pembayaran (2017) | US$ 11,6 miliar |
Cadangan devisa (Februari 2017) | US$ 128,06 miliar |
(aji/aji) Next Article Perang Dagang Tinggal Tunggu Waktu, Sanggupkah IHSG-Rupiah Bertahan?
