
Polling CNBC Indonesia
Konsensus Pasar: BI Masih akan Tahan Suku Bunga Acuan di 4,25
Hidayat Setiaji & Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
21 March 2018 13:52

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) diperkirakan masih menahan suku bunga acuan pada pertemuan bulan ini. Hal ini dilakukan demi menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan kestabilan nilai tukar rupiah.
BI dijadwalkan akan mengumumkan suku bunga acuan 7 days reverse repo rate pada 22 Maret. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menyebutkan bahwa BI belum akan mengubah suku bunga acuan pada pertemuan bulan ini.
"Kami memperkirakan BI tetap mempertahankan suku bunga acuan sepanjang 2018 untuk mendorong permintaan domestik. Dengan laju inflasi yang masih terkendali, ini bisa memberi ruang bagi BI untuk mempertahankan sikap netral," papar Eugenia Fabon Victorino, Ekonom ANZ.
Pada Februari 2018, inflasi tercatat sebesar 0,17 secara bulanan dan 3,18% tahunan. Sejauh ini, inflasi masih dalam target BI yaitu di kisaran 3,5% plus minus 1.
Gundy Cahyadi, Ekonom DBS, menyebutkan bahwa BI akan tetap menjadikan inflasi sebagai acuan utama untuk menentukan kebijakan suku bunga. Inflasi domestik kemungkinan masih terjaga karena pemerintah berkomitmen untuk tidak menaikkan tarif listrik maupun harga bahan bakar minyak (BBM).
Dengan inflasi yang terkendali, lanjut Gundy, maka belum ada alasan bagi BI untuk mengubah suku bunga acuan. Apalagi ada potensi tekanan terhadap nilai tukar rupiah setelah The Federal Reserve/The Fed benar-benar menaikkan suku bunga pada pertemuan pekan ini.
"BI akan berada di pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Jadi, kenaikan suku bunga acuan akan tertunda," sebut Gundy.
Katrina Ell, Ekonom Moody's, juga menyatakan bahwa inflasi menjadi petimbangan utama BI dalam penentuan suku bunga acuan. Apalagi risiko eksternal tengah menghantui Indonesia.
"Rupiah sedang dalam tekanan. Oleh karena itu, pengetatan moneter sepertinya baru akan dimulai pada semester II-2018," sebut Ell.
Intervensi Pasar
Febrio N. Kacaribu, Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), menyebutkan kewaspadaan terhadap potensi arus modal keluar yang menekan nilai tukar rupiah memang harus ditingkatkan. Ini karena The Fed hampir pasti akan menaikkan suku bunga acuan, setidaknya tiga kali dalam tahun ini.
"Mengingat sebagian besar risiko yang dihadapi rupiah saat ini terkait nilai tukar, BI perlu mempertahankan suku bunga acuan dan fokus menjaga nilai tukar rupiah melalui intervensi langsung di pasar valas," tutur Febrio.
Menurut Febrio, rupiah sejauh ini relatif stabil di kisaran Rp 13.700/US$ dan terjadi aliran modal masuk ke pasar Surat Berharga Negara (SBN). Hal ini mengindikasikan bahwa pasar sudah sepenuhnya memperhitungkan kenaikan suku bunga AS sehingga tidak perlu ada kekhawatiran berlebihan.
Pelaku pasar, tambah Febrio, melihat bahwa BI berada dalam kondisi yang lebih baik untuk mencegah depresiasi rupiah yang berlebihan, mengingat cukup besarnya cadangan devisa yaitu US$ 128,1 miliar. Dengan demikian, BI perlu mempertahankan suku bunga acuan dan perlu menghindari kenaikan suku bunga untuk merespons pelemahan rupiah.
Menaikkan suku bunga acuan, demikian Febrio, kurang efektif dibandingkan dengan intervensi secara langsung di pasar valas dalam menahan depresiasi kurs. Selain itu, kenaikan suku bunga acuan akan memiliki dampak keseluruhan yang negatif terhadap perekonomian.
"Apabila tidak ada berita negatif eksternal yang lebih genting, seperti meningkatnya kemungkinan perang dagang sebagai dampak dari berbagai kebijakan proteksionis AS, BI seharusnya mampu mengendalikan tekanan eksternal terhadap rupiah dengan kebijakan saat ini," sebutnya. (aji/aji)
BI dijadwalkan akan mengumumkan suku bunga acuan 7 days reverse repo rate pada 22 Maret. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menyebutkan bahwa BI belum akan mengubah suku bunga acuan pada pertemuan bulan ini.
Institusi | BI 7 Days Reverse Repo Rate (%) |
Nomura | 4.25 |
Bank Danamon | 4.25 |
Moody's | 4.25 |
ING | 4.25 |
DBS | 4.25 |
Bank Mandiri | 4.25 |
Danareksa | 4.25 |
ANZ | 4.25 |
Bank Permata | 4.25 |
UOB | 4.25 |
Samuel Aset Manajemen | 4.25 |
BCA | 4.25 |
Maybank | 4.25 |
"Kami memperkirakan BI tetap mempertahankan suku bunga acuan sepanjang 2018 untuk mendorong permintaan domestik. Dengan laju inflasi yang masih terkendali, ini bisa memberi ruang bagi BI untuk mempertahankan sikap netral," papar Eugenia Fabon Victorino, Ekonom ANZ.
Pada Februari 2018, inflasi tercatat sebesar 0,17 secara bulanan dan 3,18% tahunan. Sejauh ini, inflasi masih dalam target BI yaitu di kisaran 3,5% plus minus 1.
Gundy Cahyadi, Ekonom DBS, menyebutkan bahwa BI akan tetap menjadikan inflasi sebagai acuan utama untuk menentukan kebijakan suku bunga. Inflasi domestik kemungkinan masih terjaga karena pemerintah berkomitmen untuk tidak menaikkan tarif listrik maupun harga bahan bakar minyak (BBM).
Dengan inflasi yang terkendali, lanjut Gundy, maka belum ada alasan bagi BI untuk mengubah suku bunga acuan. Apalagi ada potensi tekanan terhadap nilai tukar rupiah setelah The Federal Reserve/The Fed benar-benar menaikkan suku bunga pada pertemuan pekan ini.
"BI akan berada di pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Jadi, kenaikan suku bunga acuan akan tertunda," sebut Gundy.
Katrina Ell, Ekonom Moody's, juga menyatakan bahwa inflasi menjadi petimbangan utama BI dalam penentuan suku bunga acuan. Apalagi risiko eksternal tengah menghantui Indonesia.
"Rupiah sedang dalam tekanan. Oleh karena itu, pengetatan moneter sepertinya baru akan dimulai pada semester II-2018," sebut Ell.
Intervensi Pasar
Febrio N. Kacaribu, Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), menyebutkan kewaspadaan terhadap potensi arus modal keluar yang menekan nilai tukar rupiah memang harus ditingkatkan. Ini karena The Fed hampir pasti akan menaikkan suku bunga acuan, setidaknya tiga kali dalam tahun ini.
"Mengingat sebagian besar risiko yang dihadapi rupiah saat ini terkait nilai tukar, BI perlu mempertahankan suku bunga acuan dan fokus menjaga nilai tukar rupiah melalui intervensi langsung di pasar valas," tutur Febrio.
Menurut Febrio, rupiah sejauh ini relatif stabil di kisaran Rp 13.700/US$ dan terjadi aliran modal masuk ke pasar Surat Berharga Negara (SBN). Hal ini mengindikasikan bahwa pasar sudah sepenuhnya memperhitungkan kenaikan suku bunga AS sehingga tidak perlu ada kekhawatiran berlebihan.
Pelaku pasar, tambah Febrio, melihat bahwa BI berada dalam kondisi yang lebih baik untuk mencegah depresiasi rupiah yang berlebihan, mengingat cukup besarnya cadangan devisa yaitu US$ 128,1 miliar. Dengan demikian, BI perlu mempertahankan suku bunga acuan dan perlu menghindari kenaikan suku bunga untuk merespons pelemahan rupiah.
Menaikkan suku bunga acuan, demikian Febrio, kurang efektif dibandingkan dengan intervensi secara langsung di pasar valas dalam menahan depresiasi kurs. Selain itu, kenaikan suku bunga acuan akan memiliki dampak keseluruhan yang negatif terhadap perekonomian.
"Apabila tidak ada berita negatif eksternal yang lebih genting, seperti meningkatnya kemungkinan perang dagang sebagai dampak dari berbagai kebijakan proteksionis AS, BI seharusnya mampu mengendalikan tekanan eksternal terhadap rupiah dengan kebijakan saat ini," sebutnya. (aji/aji)
Tags
Related Articles
Most Popular
Recommendation
