Crazy Rich RI Buka-bukaan: Cash is The King Relevan Sekali!

Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
20 July 2020 11:22
Sudhamek/Dok.Dharma Agung Wijaya

Jakarta, CNBC Indonesia - Pelemahan daya beli masyarakat jadi perhatian utama saat ini kendati pemerintah sudah melonggarkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Tatanan normal baru pun jadi harapan ekonomi bisa bangkit lagi.

Hal ini disampaikan Chairman PT Garudafood Putra Putri Jaya Tbk (GOOD), Sudhamek. Sebagai negara yang kontribusi pertumbuhan ekonominya disumbang dari konsumsi rumah tangga, maka dari itu, kata Sudhamek, pemerintah harus lebih menggenjot belanja pemerintah sebagai trigger membangkitkan kembali perekonomian.

"Karena memang kita ini ekonomi domestik, ekonomi konsumsi yang memang harus di-trigger, supaya pasarnya bangkit kembali," katanya, kepada CNBC Indonesia.

Tak bisa dipungkiri, hampir semua sektor usaha terdampak dari pandemi, termasuk industri consumer goods. Sudhamek bahkan memperkirakan, perekonomian akan kembali pulih seluruhnya atau full recovery pada semester kedua 2021 mendatang. Artinya, perlu waktu sekitar setahun lagi ekonomi bisa normal seperti sebelum pandemi.

Dalam situasi yang berat ini, hampir semua pengusaha kelimpungan mengelola arus kas. Krisis Covid-19 ini, dinilainya lebih berat daripada krisis moneter di tahun 1998. Karena itu, stimulus pemerintah berupa pemberian modal kerja juga harus digenjot agar roda ekonomi bergerak lagi.

Sudhamek adalah salah satu orang terkaya di Indonesia. Pada tahun lalu, Forbes menempatkannya sebagai crazy richnomor 42, dengan kekayaan bersih US$ 745 juta atau setara dengan Rp 10,43 triliun (kurs Rp 14.000/US$).

Simak petikan wawancara Sudhamek dengan CNBC Indonesia:

Risiko resesi semakin besar, Singapura bahkan sudah resesi. Seberapa kuat Indonesia bisa bertahan?

Saya melihat, kita tidak bisa membandingkan Indonesia dengan Singapura, karena Singapura negara yang kecil, bergantung kepada industri jasa dan perdagangan. Sedangkan, kita adalah market yang besar dan utamanya lagi, Indonesia ini domestic based economy.

Sehingga, Indonesia memiliki kekuatan sendiri untuk bangkit dan ini yang diyakini oleh pemerintah seperti yang terjadi di China, saya melihat bangkit juga karena utamanya di-drive dari ekonomi dalam negeri. Tetap masih ada harapan, kalau dikatakan Agustus mulai fully reopening dalam artian kegiatannya ya, tapi ekonominya tidak serta merta kembali normal.

Mungkin atau tidak Indonesia reopening economy-nya Agustus dengan kondisi Covid-19 masih cukup tinggi?

Menurut saya me-manage pandemi dan ekonomi harus dilakukan secara paralel dan dinamis. Nah, kalau memang dilakukan secara ketat eksekusinya, menurut saya ekonomi memang sebaiknya dibuka kembali, tentu dengan tetap mempertahankan protokol kesehatan, memperhatikan daerah-daerah tertentu yang masih red zone, itu harus diberikan perlakuan yang khusus.

Apa tidak sebaiknya di awal 2021 kita bisa akan fully reopening economy?

Kalau dari dunia usaha, pandangannya sudah pasti lebih cepat lebih baik. Bisnis itu seperti orang naik sepeda, kalau disuruh berhenti walaupun dikendalikan tetap akan jatuh, jadi nggak mungkin kalau suruh nahan sampai 2021.

Daya beli masyarakat masih cukup rendah, pandangan anda?

Konsumsi dalam situasi sekarang tidak bisa terlalu diandalkan sebagai panglimanya, menurut saya yang masih bisa berbuat cukup proaktif adalah dari pemerintah, government spending harus dikeluarkan. Seperti contoh, anggaran pemerintah Rp 19 triliun tapi baru keluar 1,5% sampai Juni 2020, menunjukkan ada keterlambatan yang luar biasa. Kalau dikeluarkan akan jadi sebuah stimulus.

Karena memang kita ini ekonomi domestik, ekonomi konsumsi yang memang harus di-trigger, supaya pasarnya bangkit kembali.

Kerja sama pemerintah di bidang keuangan menurut pengusaha, apakah sudah cukup bergerak cepat, atau masih perlu ada stimulus lain?

Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan saya kira sudah cukup bagus, seperti misalnya relaksasi kredit itu sudah mulai jalan, walaupun tetap, catatannya government spending harus di-boost. Bank Indonesia mengawal nilai tukar dengan baik sekali, sangat konservatif, sangat berhati-hati menjaga ini, sehingga Rupiah tidak sampai mengalami keterpurukan, stabil di angka Rp 14.000-an lebih.

Bagi pengusaha, ini sangat membantu karena terlalu rendah juga itu memukul bagi yang orientasinya ekspor, terlalu tinggi juga memukul bagi yang orientasinya impor, yang paling diperlukan pengusaha adalah stabilitas.

Dampak yang signfikan terhadap Garudafood, seperti apa?

Secara keseluruhan, consumer goods utamanya dalam hal ini food and beverages dalam hal ini adalah industri yang terdampak tapi yang paling ringan. Kalau ada bisnis yang tidak terdampak, saya kira nyaris tidak ada, kalaupun ada tidak sampai 10%.

Secara keseluruhan terdampak, otomotif jeblok luar biasa, consumer itu juga dilihat dulu jenisnya seperti apa. Kalau untuk makanan dan minuman yang non-durable goods, terdampak, tapi paling sedikit.

Ada strategi khusus di tengah daya beli yang melemah?

Pertama, dalam kondisi sekarang ini mau industri apapun, termasuk makanan dan minuman, golden rule yang mengatakan cash is the king itu relevan sekali, sehingga harus mengelola cashflow dengan sebaik-baiknya.

Kedua, dalam kondisi yang tidak normal seperti ini, kita tidak bisa di Garudafood bekerja dengan cara bisnis as usual, dalam situasi seperti ini, setiap pemain, di-drive untuk mengerahkan kemampuan kreativitasnya dan tentu saja inovasinya agar bisa menyikapi situasi tidak normal ini dengan cara-cara baru.

Apa yang membedakan krisis Covid-19 ini dengan kisis sebelumnya?

1998 dan 2020 ini terjadi perbedaan-perbedaan yang cukup fundamental. Pertama, di tahun 1998, demand memang turun, tapi supply juga drop luar biasa pada saat itu, sehingga bagi siapa yang masih aktif dalam bisnis, relatif masih ada permintaan. Pasar masih ada.

Yang kedua, pada 1998, backbone ekonomi Indonesia, yang menurut statistik, 60,4% dari PDB itu dikontribusi dari UMKM, pada saat itu UMKM jadi juru selamat.

2020 ini UMKM pun terdampak luar biasa, walaupun, saya harus katakan dengan buru-buru. UMKM ini seperti rumput ya, ditebang besok tumbuh lagi, walaupun situasinya berat sekali, tapi UMKM punya daya adaptasi yang luar biasa. Di UMKM nyaris tidak ada exit barrier maupun entry barrier. Sehingga ketika terdampak, bisa ganti bisnis yang lain dan bisa saling membantu antarmereka. Semangat gotong royonglah yang menyelamatkan UMKM, walaupun situasinya lebih berat dari 1998.

Saya berharap pemerintah melakukan dua langkah utama, pertama menggenjot belanja pemerintah dan kedua fokus betul menopang, membantu, mendorong, mengembangkan UMKM dalam waktu secepat mungkin, supaya secepatnya mereka bisa pulih dan itu akan menjadi lokomotif bagi ekonomi Indonesia untuk tumbuh lagi di masa mendatang.

Restrukturisasi UMKM sudah cukup?

Masih banyak yang bisa dilakukan, karena setiap sektor kebutuhannya berbeda-beda. UMKM hampir di semua sektor, dari tourism sampai makanan pun ada. Ada yang membutuhkan modal kerja, dalam situasi seperti sekarang ini, ini yang pemerintah harus memberikan dukungan secara khusus untuk itu, bukan hanya UMKM, tapi juga perusahaan besar.

Karena cashflow itu jadi problem semua orang, maka kebutuhan modal kerja jadi penting. Kemenperin dan Kementerian Perdagagangan harus bisa define dengan jelas kebutuhan sektoral apa.

Komunikasi pengusaha dengan pemerintah sejauh ini bagaimana?

Yang usaha-usaha besar, komunikasi cukup intensif. Karena pengusaha besar biasnaya proaktif dengan Kemendag, Kemenperin. Saya kira, sudah terjadi aligment di sana-sini. Kalau eksekusinya perlu dipercepat.

Khusus UMKM, yang diharapkan bertindak di garis depan adalah KemenkopUKM. Bahkan sudah dibuka bisnis klinik dengan usaha-usaha besar. Inisiatif ini perlu diberikan apresiasi dan dorong lebih jauh lagi, utamanya itu perlu ada pendampingan dengan dibantu pemerintah dan usaha besar.

BI menurunkan suku bunga, dampaknya untuk dunia usaha?

Penurunan suku bunga sangat membantu tentunya, karena dalam situasi seperti ini, kebijakan stimulus yang dikeluarkan pemerintah memberi dampak positif. Tapi, pemerintah juga harus mendorong kepada bank-bank BUMN maupun swasta agar jangan hanya bentuk relaksasi berupa rescheduling dari kredit yang sudah diberikan, tapi juga ada kegiatan ekspansi, tapi dalam bukan term loan, tapi dalam bentuk modal kerja.

Skemanya seperti apa?

Bank pasti mengetahui kondisi masing-masing nasabah, di sini yang diperlukan adalah bank itu dengan paradigma dengan memberikan uluran tangan berupa kredit modal kerja, agar nasabah bisa bangkit lagi. Skemanya modal kerja pada umumnya, kalau perlu suku bunga tidak diturunkan.

Kredit modal kerja agak sulit, yang dialami pengusaha seperti apa?

Bunga jangan dinaikkan. Walaupun turun itu pilihan yang kedua, yang paling utama pemberian fasilitas tambahan, restrukturisasi saja tidak cukup. Masalahnya mood dari dunia perbankan saat ini adalah non expansion, sehingga penambahan kredit baru ada kecenderungan direm. Ini yang saya usulkan, setuju direm untuk capex, loan jangka panjang. Tapi untuk modal kerja harusnya bisa diproritaskan.

Perlu jangka waktu berapa lama bisa pulih?

Menurut saya, 2020 ini dalam ya. Jauh lebih dalam dari 1998. Ini persoalannya musuhnya tidak kelihatan, terjadi di seluruh dunia, hampir semua terkena. Recovery ini akan makan waktu cukup panjang. Saya optimis, Indonesia termasuk negara yang recovery period-nya akan relatif lebih pendek. Dengan catatan, pemerintah benar-benar memperhatikan, men-drive ekonomi domestik kita. Namun demikian, saya memperkirakan, untuk pulih kembali dalam keadaan semula, saya perkirakan semester kedua 2021 itu baru full recovery.

Sektor mana yang akan merespons pulih secara gradual?

Kebutuhan yang berkaitan kebutuhan dasar, kesehatan, pendidikan, makanan itu akan lebih cepat recovery. Kebutuhan sekunder tidak mendesak, akan masuk ke urutan kedua.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular