Special Interview
Begini Cerita Panjang Benny Purnomo Soal Bank MNC
Gita Rossiana, CNBC Indonesia
01 June 2018 12:22

Jakarta, CNBC Indonesia - Awal pekan ini secara mengejutkan, PT Bank MNC International Tbk (BABP) menyampaikan surat ke Bursa Efek Indonesia (BEI) memberitahukan Benny Purnomo mundur dari posisi direktur utama perseroan. Berselang sehari, komisaris utama dan direksi lainnya ikut mundur dari jabatan masing-masing.
Mundur "massal" pejabat Bank MNC menimbulkan pertanyaan, apa yang sedang terjadi di bank milik pengusaha Hary Tanoesoedibyo tersebut? Apa benar Bank MNC memiliki kondisi yang tidak bagus sehingga Benny harus meninggalkan bank yang sudah ditanganinya selama empat tahun?
Reporter CNBC Indonesia, Gita Rossiana, langsung menghubungi Benny untuk mencari tahu sebenarnya yang sedang terjadi. Benny pun menyambut tawaran dari CNBC Indonesia dan bersedia untuk di wawancara.
Nah, apa isi wawancara dengan Benny Purnomo saat ditemui di lobi apartemennya di Royal Springhill Residence, simak petikannya berikut ini:
Bisa cerita perjalanan karir Anda sebagai bankir, hingga kemudian mengundurkan diri dari Bank MNC?
Melihat karir saya di bank itu kalau ibarat tentara, ada yang membebaskan lahan dan ada yang menanamnya. Kalau saya bagian pertamanya.
Dulu, waktu di BCA tahun 1992, saya sempat mengalami membangun ATM. Sekarang, semua sudah bisa pakai ATM.
Padahal waktu awal mendidik orang pakai ATM, sulitnya setengah mati. Kemudian, saya juga mengalami bagaimana bangun mobile banking dan mengalami kejadian rush tahun 1998.
Selanjutnya, ketika beres, saya pindah ke Bank NISP dari bank lokal di Bandung dibeli oleh Bank OCBC. Waktu itu, tahu 2005 saya diminta untuk membesarkan bank ini, kalau modal jangan takut, disuntik oleh Bank OCBC.
Selama tiga tahun akhirnya saya menambah 190 kantor jadi 360 kantor. Pembangunan 170 kantor itu strategi yang sangat tepat karena Bank OCBC NISP akhirnya jadi 10 bank besar saat ini.
Kemudian pada 2009, saya dikasih tantangan lagi. Padahal di Bank OCBC NISP saya sudah selevel di bawah direksi. Namun saya dibawa sama Pak Maryono untuk mengurusi Bank Century.
Pada waktu itu, ada dua trigger poin saya untuk masuk ke Bank Century, yaitu karena ini merah putih. Ibu Ani (Sri Mulyani, Menteri Keuangan) bilang ini bukan hanya persoalan bank, tapi juga persoalan negara.
Trigger lainnya, saya bersama tiga direktur lainnya langsung kompak. Saya tidak pernah bertemu Pak Maryono sebelumnya, tetapi ketika ketemu seolah-olah sudah mengenal lama. Jadi, itu trigger bagi saya, support dari teman itu penting.
Jadi, saya suka tantangan dan ketika mencoba hal baru, saya memiliki track record yang bisa diceritakan. Misalnya ketika di BCA, atau di Bank Century yang akhirnya bisa menjual dengan nilai buku yang lebih tinggi. Angka tidak bisa bohong.
Namun, ketika Jtrust sudah mulai terbangun, datanglah Bank MNC. Pada waktu itu, teman OJK bilang, ICB Bumiputera sudah diserahkan ke LPS dan sudah ditandatangani Gubernur BI. Kalau misalkan Bank MNC tidak masuk, bank ini bisa ditutup LPS seperti Bank IFI.
Sewaktu di Bank MNC apa Anda punya niat bermain politik, mengingat pemilik Grup MNC, Hary Tanoesoedibyo saat itu aktif di politik?
Tidak ada niat politik di awal. Ini murni profesional, dalam diri saya juga tidak ada niat ikut politik dan bekerja demi bank. Bank harus diterima oleh siapapun dan ini murni profesional, tidak ikut politik apapun.
Apa yang Anda lakukan di Bank MNC sampai kemudian memutuskan mundur?
Di Bank MNC, kami menerapkan tiga fase, yakni pembangunan pondasi, fokus bisnis dan sustainability.
Fokus bisnis penting karena segmen pasarnya beda, tidak seperti ICB Bumiputera yang semua digarap. Padahal tidak mungkin, jadi harus fokus dengan tidak main di segmen mikro.
Akhirnya, Bank MNC fokus di segmen ritel dan konsumer karena pasar besar dan potensinya besar apalagi ada sinergi dengan grup.
Saya juga fokus di tiga hal, pembenahan dan pembangunan infrastruktur. Dulu, belum ada mobile banking, jadi sistemnya saya benahi.
Saya bikin banyak aplikasi di handphone, karena tidak mungkin buka 1000 cabang. Jadi, lebih mungkin bikin 10 aplikasi dengan 130 juta pangsa pasar. Identitas cabang secara fisik saya juga samakan semua.
Dari mana modal untuk membangun itu semua?
Dari Pak Hary Tanoesoedibjo. Right issue yang pertama kali, grup MNC memiliki 40% saham. Hasilnya, jumlah kartu kredit yang dulunya 3.000, sekarang sudah 40 ribu. Nilai KPR Rp 5 miliar, sekarang sudah Rp 50 miliar- Rp 60 miliar. Begitu juga dengan sumber daya manusia, saya bahkan dapat award dari Kementerian Tenaga Kerja.
Dari sisi angka juga berubah semua, nilai aset dari Rp 5 triliun ke Rp 10 triliun. Artinya dulu, setiap pagi rapat nanya, siapa lagi yang sudah mengeluarkan dananya. Naruh duit aman tidak, bagaimana mau lempar kredit. Jadi kami bentuk kepercayaan, infrastruktur dan SDM.
Untuk kredit macet, bagaimana Anda menanganinya?
Pada waktu kami masuk, kami sudah bilang ke pemegang saham. Ini ada potensi kredit macet dari ICB Bumiputera Rp 800 miliar-Rp 1 triliun. Kalau setiap bentuk bank baru dari akuisisi, semua CKPN (Cadangan Kerugian Penurunan Nilai) harusnya dibentuk. Tapi ini, pendekatannya beda. Katanya, coba dibereskan dulu.
Namun saya bilang, saya yakin, kalau ini terus dibawa, ibarat tumor makin lama makin berat, makin susah motongnya.
Untungnya, pada 2017, pembangunan pondasi yang tertinggal yakni pembentukan CKPN bisa dilakukan. Mereka setuju, ini harus dibereskan supaya tidak ada gandolan masa lalu.
Lalu, masuk 2018 itu seharusnya tinggal terbang. Apalagi, Maret sudah cetak laba. 2018, sudah masuk tahap fokus bisnis, infrastruktur juga sudah terbangun dan bank ini jos bisa terbang. Saya kemudian melihat, "this is the right time for me to leave".
Kalau ibarat menanam pohon, buahnya sudah mentil, tinggal pupuk sedikit. Memang mungkin sudah garis tangan, orang yang nikmati hasilnya, saya yang cuci piring sama nanam.
Apakah alasan komisaris dan direksi lain mundur sama?
Saya tidak tahu pasti. Tapi bahwa ada hubungan anchor-nya tidak ada, itu pasti ada. Bukan untuk membanggakan diri, kalau anchor tidak ada maka jadi tidak solid, sehingga muncul kegalauan.
Apakah dulu Bank MNC punya rencana akuisi bank lain?
Rencana akuisisi bank di RBB (Rencana Bisnis Bank) pasti ada. Waktu 2015, itu pernah mau beli Bank Pundi. Grup pada waktu itu mau ambil, tapi pihak direksi bilang sebaiknya dipikirkan lagi. Karena setelah dianalisa, butuh suntikan modal tinggi. Daripada beli Bank Pundi, mending suntik Bank MNC.
Tetapi, kalau ngomong strategi di Bank MNC memang selalu organik dan anorganik. Bisa beli satu perusahaan jelek, dibesarkan. Setelah besar, beli lagi supaya besar. Seperti misalnya yang dilakukan oleh RCTI dengan membeli TPI, JTV dan iNews. Hal yang sama juga diterapkan di finance center.
Namun setiap akan membeli bank, pemilik menilai harganya terlalu mahal. Karena kami bersaing dengan Korea atau Jepang yang secara kurs mereka sudah menang. Bagi mereka, membeli 500 miliar itu kecil, tapi bagi Bank MNC besar sekali. Sehingga sampai sekarang belum ada realisasi.
Apa harapan Anda kepada direksi baru Bank MNC?
Bank MNC sudah siap terbang. Saya sudah terapkan 250 SOP, saya sudah menyiapkan infrastruktur, aplikasi, cabang dan sumber daya manusia. Saya meninggalkan pohon yang siap berbuah dan tolong jaga itu. Jangan sampai melakukan tindakan yang harus membuat Bank MNC harus memulai dari awal.
Apa pesan kepada kepada investor, karena Anda mundur sebelum rights issue dilaksanakan?
Selama ini, Bank MNC memiliki kredit yang tidak ada CKPN-nya, sekarang sudah ada. Untuk kredit baru, kami terapkan full colateral 60-70%.Kalau macet, tinggal jual colateral. Saya bisa katakan, kondisi Bank MNC sekarang paling sehat.
Dari sisi DPK, nasabah sudah percaya setelah melewati dua kali badai rush. Dari sisi sumber daya manusia, 300 orang sukacita pindah ke Bank MNC. Infrastruktur juga sudah siap.
Kemudian, kalau ditanya soal harga saham, sekarang sudah paling bottom Rp 50/lembar. Padahal komitmen right issue Rp 100/lembar, tetapi pemilik tetap mau beli.
Setelah mundur dari Bank MNC, apa rencana Anda selanjutnya?
Kalau diperkenankan, saya masih mau kerja di bank. Karena kompetensi saya di sana. Tapi sekarang, saya mau cooling down dulu.
(hps)
Mundur "massal" pejabat Bank MNC menimbulkan pertanyaan, apa yang sedang terjadi di bank milik pengusaha Hary Tanoesoedibyo tersebut? Apa benar Bank MNC memiliki kondisi yang tidak bagus sehingga Benny harus meninggalkan bank yang sudah ditanganinya selama empat tahun?
Reporter CNBC Indonesia, Gita Rossiana, langsung menghubungi Benny untuk mencari tahu sebenarnya yang sedang terjadi. Benny pun menyambut tawaran dari CNBC Indonesia dan bersedia untuk di wawancara.
Bisa cerita perjalanan karir Anda sebagai bankir, hingga kemudian mengundurkan diri dari Bank MNC?
Melihat karir saya di bank itu kalau ibarat tentara, ada yang membebaskan lahan dan ada yang menanamnya. Kalau saya bagian pertamanya.
Dulu, waktu di BCA tahun 1992, saya sempat mengalami membangun ATM. Sekarang, semua sudah bisa pakai ATM.
Padahal waktu awal mendidik orang pakai ATM, sulitnya setengah mati. Kemudian, saya juga mengalami bagaimana bangun mobile banking dan mengalami kejadian rush tahun 1998.
Selanjutnya, ketika beres, saya pindah ke Bank NISP dari bank lokal di Bandung dibeli oleh Bank OCBC. Waktu itu, tahu 2005 saya diminta untuk membesarkan bank ini, kalau modal jangan takut, disuntik oleh Bank OCBC.
Selama tiga tahun akhirnya saya menambah 190 kantor jadi 360 kantor. Pembangunan 170 kantor itu strategi yang sangat tepat karena Bank OCBC NISP akhirnya jadi 10 bank besar saat ini.
Kemudian pada 2009, saya dikasih tantangan lagi. Padahal di Bank OCBC NISP saya sudah selevel di bawah direksi. Namun saya dibawa sama Pak Maryono untuk mengurusi Bank Century.
Pada waktu itu, ada dua trigger poin saya untuk masuk ke Bank Century, yaitu karena ini merah putih. Ibu Ani (Sri Mulyani, Menteri Keuangan) bilang ini bukan hanya persoalan bank, tapi juga persoalan negara.
Trigger lainnya, saya bersama tiga direktur lainnya langsung kompak. Saya tidak pernah bertemu Pak Maryono sebelumnya, tetapi ketika ketemu seolah-olah sudah mengenal lama. Jadi, itu trigger bagi saya, support dari teman itu penting.
Jadi, saya suka tantangan dan ketika mencoba hal baru, saya memiliki track record yang bisa diceritakan. Misalnya ketika di BCA, atau di Bank Century yang akhirnya bisa menjual dengan nilai buku yang lebih tinggi. Angka tidak bisa bohong.
Namun, ketika Jtrust sudah mulai terbangun, datanglah Bank MNC. Pada waktu itu, teman OJK bilang, ICB Bumiputera sudah diserahkan ke LPS dan sudah ditandatangani Gubernur BI. Kalau misalkan Bank MNC tidak masuk, bank ini bisa ditutup LPS seperti Bank IFI.
![]() |
Sewaktu di Bank MNC apa Anda punya niat bermain politik, mengingat pemilik Grup MNC, Hary Tanoesoedibyo saat itu aktif di politik?
Tidak ada niat politik di awal. Ini murni profesional, dalam diri saya juga tidak ada niat ikut politik dan bekerja demi bank. Bank harus diterima oleh siapapun dan ini murni profesional, tidak ikut politik apapun.
Apa yang Anda lakukan di Bank MNC sampai kemudian memutuskan mundur?
Di Bank MNC, kami menerapkan tiga fase, yakni pembangunan pondasi, fokus bisnis dan sustainability.
Fokus bisnis penting karena segmen pasarnya beda, tidak seperti ICB Bumiputera yang semua digarap. Padahal tidak mungkin, jadi harus fokus dengan tidak main di segmen mikro.
Akhirnya, Bank MNC fokus di segmen ritel dan konsumer karena pasar besar dan potensinya besar apalagi ada sinergi dengan grup.
Saya juga fokus di tiga hal, pembenahan dan pembangunan infrastruktur. Dulu, belum ada mobile banking, jadi sistemnya saya benahi.
Saya bikin banyak aplikasi di handphone, karena tidak mungkin buka 1000 cabang. Jadi, lebih mungkin bikin 10 aplikasi dengan 130 juta pangsa pasar. Identitas cabang secara fisik saya juga samakan semua.
Dari mana modal untuk membangun itu semua?
Dari Pak Hary Tanoesoedibjo. Right issue yang pertama kali, grup MNC memiliki 40% saham. Hasilnya, jumlah kartu kredit yang dulunya 3.000, sekarang sudah 40 ribu. Nilai KPR Rp 5 miliar, sekarang sudah Rp 50 miliar- Rp 60 miliar. Begitu juga dengan sumber daya manusia, saya bahkan dapat award dari Kementerian Tenaga Kerja.
Dari sisi angka juga berubah semua, nilai aset dari Rp 5 triliun ke Rp 10 triliun. Artinya dulu, setiap pagi rapat nanya, siapa lagi yang sudah mengeluarkan dananya. Naruh duit aman tidak, bagaimana mau lempar kredit. Jadi kami bentuk kepercayaan, infrastruktur dan SDM.
Untuk kredit macet, bagaimana Anda menanganinya?
Pada waktu kami masuk, kami sudah bilang ke pemegang saham. Ini ada potensi kredit macet dari ICB Bumiputera Rp 800 miliar-Rp 1 triliun. Kalau setiap bentuk bank baru dari akuisisi, semua CKPN (Cadangan Kerugian Penurunan Nilai) harusnya dibentuk. Tapi ini, pendekatannya beda. Katanya, coba dibereskan dulu.
Namun saya bilang, saya yakin, kalau ini terus dibawa, ibarat tumor makin lama makin berat, makin susah motongnya.
Untungnya, pada 2017, pembangunan pondasi yang tertinggal yakni pembentukan CKPN bisa dilakukan. Mereka setuju, ini harus dibereskan supaya tidak ada gandolan masa lalu.
Lalu, masuk 2018 itu seharusnya tinggal terbang. Apalagi, Maret sudah cetak laba. 2018, sudah masuk tahap fokus bisnis, infrastruktur juga sudah terbangun dan bank ini jos bisa terbang. Saya kemudian melihat, "this is the right time for me to leave".
Kalau ibarat menanam pohon, buahnya sudah mentil, tinggal pupuk sedikit. Memang mungkin sudah garis tangan, orang yang nikmati hasilnya, saya yang cuci piring sama nanam.
Apakah alasan komisaris dan direksi lain mundur sama?
Saya tidak tahu pasti. Tapi bahwa ada hubungan anchor-nya tidak ada, itu pasti ada. Bukan untuk membanggakan diri, kalau anchor tidak ada maka jadi tidak solid, sehingga muncul kegalauan.
Apakah dulu Bank MNC punya rencana akuisi bank lain?
Rencana akuisisi bank di RBB (Rencana Bisnis Bank) pasti ada. Waktu 2015, itu pernah mau beli Bank Pundi. Grup pada waktu itu mau ambil, tapi pihak direksi bilang sebaiknya dipikirkan lagi. Karena setelah dianalisa, butuh suntikan modal tinggi. Daripada beli Bank Pundi, mending suntik Bank MNC.
Tetapi, kalau ngomong strategi di Bank MNC memang selalu organik dan anorganik. Bisa beli satu perusahaan jelek, dibesarkan. Setelah besar, beli lagi supaya besar. Seperti misalnya yang dilakukan oleh RCTI dengan membeli TPI, JTV dan iNews. Hal yang sama juga diterapkan di finance center.
Namun setiap akan membeli bank, pemilik menilai harganya terlalu mahal. Karena kami bersaing dengan Korea atau Jepang yang secara kurs mereka sudah menang. Bagi mereka, membeli 500 miliar itu kecil, tapi bagi Bank MNC besar sekali. Sehingga sampai sekarang belum ada realisasi.
![]() |
Apa harapan Anda kepada direksi baru Bank MNC?
Bank MNC sudah siap terbang. Saya sudah terapkan 250 SOP, saya sudah menyiapkan infrastruktur, aplikasi, cabang dan sumber daya manusia. Saya meninggalkan pohon yang siap berbuah dan tolong jaga itu. Jangan sampai melakukan tindakan yang harus membuat Bank MNC harus memulai dari awal.
Apa pesan kepada kepada investor, karena Anda mundur sebelum rights issue dilaksanakan?
Selama ini, Bank MNC memiliki kredit yang tidak ada CKPN-nya, sekarang sudah ada. Untuk kredit baru, kami terapkan full colateral 60-70%.Kalau macet, tinggal jual colateral. Saya bisa katakan, kondisi Bank MNC sekarang paling sehat.
Dari sisi DPK, nasabah sudah percaya setelah melewati dua kali badai rush. Dari sisi sumber daya manusia, 300 orang sukacita pindah ke Bank MNC. Infrastruktur juga sudah siap.
Kemudian, kalau ditanya soal harga saham, sekarang sudah paling bottom Rp 50/lembar. Padahal komitmen right issue Rp 100/lembar, tetapi pemilik tetap mau beli.
Setelah mundur dari Bank MNC, apa rencana Anda selanjutnya?
Kalau diperkenankan, saya masih mau kerja di bank. Karena kompetensi saya di sana. Tapi sekarang, saya mau cooling down dulu.
(hps)
Tags
Recommendation

Most Popular