Antimonopoli: Antara Efisiensi dan Ketahanan Sistemik

Ukay Karyadi CNBC Indonesia
Rabu, 31/12/2025 15:36 WIB
Ukay Karyadi
Ukay Karyadi
Ukay Karyadi seorang ekonom, mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sebelum terpilih menjadi Komisioner KPPU 2018-2023, Ukay ... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi karyawan. (Arie Pratama/CNBC Indonesia)

Dalam artikel sebelumnya "LawMacro dan Masa Depan Hukum Persaingan" (CNBC Indonesia, 9/10/2025), kita telah mengeksplorasi bagaimana pendekatan law and macroeconomics (LawMacro) menawarkan perspektif baru dalam hukum persaingan usaha, sekaligus merefleksikan ketegangan antara efisiensi mikro dan stabilitas makro dalam konteks Indonesia.

Namun, adopsi paradigma ini tidaklah sederhana--karena menghadapi tantangan serius dari berbagai sudut pandang teoretis maupun praktis.




Jelasnya, meskipun LawMacro menjanjikan fleksibilitas dalam menghadapi krisis, pendekatan ini menghadapi kritik mendasar dari aliran pemikiran public choice dan ekonomi institusional. Jeremy Kidd (2025) mengidentifikasi dua kelemahan struktural yang perlu diakui oleh para pendukung LawMacro.

Pertama, knowledge problem yang diungkapkan oleh F.A. Hayek (1945). Dalam perekonomian modern yang kompleks, informasi tentang preferensi konsumen, kapasitas produksi, dan kondisi pasar tersebar secara fragmentaris di seluruh sistem ekonomi.

Regulator pusat--seberapa canggih pun model ekonometriknya--tidak mungkin memiliki gambaran lengkap tentang kondisi lapangan yang sesungguhnya. Data agregat seperti PDB atau tingkat pengangguran sering kali menutupi variasi regional dan sektoral yang menentukan kebijakan yang efektif.

Kedua, risiko regulatory capture dan rent-seeking yang inheren ketika hukum persaingan menjadi terlalu fleksibel. Bruce Yandle (1983) dalam teorinya tentang "Bootleggers and Baptists" menggambarkan bagaimana kelompok kepentingan sering memanfaatkan regulasi yang didesain untuk tujuan mulia (seperti stabilitas makroekonomi) untuk melindungi kepentingan bisnis mereka.

Ketika otoritas persaingan memiliki diskresi untuk melonggarkan aturan antimonopoli selama "masa darurat," definisi krisis itu sendiri bisa menjadi subjektif dan rentan dimanipulasi oleh pelaku usaha yang berpengaruh.

Besley dkk. (2025) dalam buku "The London Consensus: Economic Principles for the 21st Century" (2025) menekankan bahwa kebijakan persaingan harus didukung oleh kapasitas negara yang kuat untuk menghindari capture oleh incumbent firms, sehingga memastikan kebijakan tetap mendukung inovasi dan pertumbuhan inklusif.

Fleksibilitas dalam Respons Krisis
Namun, menolak LawMacro sepenuhnya berisiko, karena respons kebijakan selama krisis finansial 2008 dan pandemi Covid-19 menjadi bukti nyata pergeseran paradigma. Di Amerika Serikat, Federal Trade Commission (FTC) dan Department of Justice (DOJ) memberikan kelonggaran terhadap merger horizontal di sektor yang mengalami tekanan berat, dengan alasan bahwa konsolidasi dapat mencegah kebangkrutan massal dan kehilangan lapangan kerja.

Uni Eropa pun menunjukkan fleksibilitas luar biasa selama pandemi Covid-19: Komisi Eropa menyetujui koordinasi antarperusahaan farmasi dan logistik untuk menjamin pasokan alat Kesehatan--tentu dengan pengawasan ketat agar tidak disalahgunakan.

Begitu pun di Indonesia, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan relaksasi penegakan hukum antimonopoli melalui Peraturan KPPU No. 3 Tahun 2020 demi mendukung program pemulihan ekonomi nasional.

Hal ini menunjukkan bagaimana fleksibilitas dapat diterapkan secara praktis tanpa sepenuhnya mengabaikan prinsip persaingan. Sebaliknya, mengadopsi LawMacro secara naif berpotensi mengorbankan prinsip dasar persaingan yang telah dibangun selama puluhan tahun.

Di sinilah complexity economics menawarkan jalan tengah yang lebih realistis. Berbeda dengan hukum persaingan usaha yang dibangun di atas fondasi law and economics (LawEcon) klasik atau ekonomi Keynesian tradisional (yang mendasari LawMacro), complexity economics memandang perekonomian sebagai sistem adaptif yang terus berevolusi, penuh ketidakpastian, dan tidak selalu menuju keseimbangan (Arthur, 2015).

Dari perspektif kompleksitas, baik LawEcon maupun LawMacro memiliki keterbatasan karena sama-sama mengasumsikan perekonomian sebagai sistem mekanistik yang dapat diprediksi dan dikendalikan. Perekonomian yang kompleks memerlukan hukum persaingan yang juga adaptif--tidak kaku pada formula tunggal, tetapi juga tidak sembarangan mengabaikan prinsip dasar.

Bruno Meyerhof Salama (2025) memperkuat gagasan ini dengan menyarankan integrasi hati-hati antara LawEcon dan LawMacro berdasarkan konteks sistemik. Sebagai contoh, selama pandemi Covid-19, koordinasi antar-perusahaan farmasi untuk memastikan distribusi alat kesehatan bisa dibenarkan karena ada ancaman gangguan sistemik terhadap kesehatan publik. Namun, koordinasi serupa di sektor ritel non-esensial mungkin tidak memiliki pembenaran yang sama.

London Consensus melengkapi ini dengan pendekatan Schumpeterian (Aghion & Van Reenen, 2025), yang menekankan bahwa kebijakan persaingan harus mendukung creative destruction untuk mendorong inovasi, terutama di frontier firms. Ini berarti hukum persaingan adaptif harus menyeimbangkan kebijakan industri dengan kompetisi yang ketat, menghindari proteksi bagi incumbent firms yang dapat menghambat entrant baru.

Prinsip Adaptif untuk Revisi UU
Oleh karena itu, dalam proses revisi UU Antimonopoli yang sedang berlangsung (dan ditargetkan selesai di 2026), Indonesia memiliki kesempatan langka untuk merancang kerangka hukum persaingan yang adaptif tanpa mengorbankan prinsip dasar.

Pertama, pendekatan berbasis indikator sistemik. Alih-alih mengandalkan diskresi subjektif atau data agregat makroekonomi semata, otoritas persaingan dapat mengembangkan indikator sistemik spesifik yang memicu respons berbeda sesuai kondisi.

Misalnya, tingkat utilisasi kapasitas industri di bawah 60%, tingkat PHK lebih dari 15% dalam enam bulan, atau gangguan rantai pasok yang berkepanjangan, bisa menjadi pemicu untuk meninjau kembali penegakan hukum persaingan di sektor tertentu.

Kedua, mekanisme "automatic stabilizers" yang transparan. Seperti yang diusulkan Yair Listokin (2019), hukum persaingan dapat dirancang sebagai stabilisator otomatis dengan aturan yang jelas dan transparan.

Alih-alih memberikan kekuasaan diskresioner kepada regulator, undang-undang dapat menetapkan kriteria objektif--seperti tingkat pertumbuhan ekonomi negatif selama dua kuartal berturut-turut atau kenaikan pengangguran di atas ambang tertentu--sebagai pemicu untuk penyesuaian sementara dalam penegakan hukum persaingan. Kriteria ini harus ditetapkan sebelum krisis terjadi, bukan saat krisis sedang memuncak.

Ketiga, pengakuan terhadap trade-off antara efisiensi dan ketahanan. Revisi UU Antimonopoli perlu secara eksplisit mengakui bahwa dalam kondisi tertentu, ketahanan sistemik mungkin lebih penting daripada efisiensi alokatif jangka pendek. Misalnya, merger yang sedikit mengurangi persaingan tetapi secara signifikan meningkatkan ketahanan rantai pasok pangan atau energi di wilayah terpencil mungkin layak dipertimbangkan, asalkan ada mekanisme sunset clause dan pengawasan ketat.

Dalam menghadapi trade-off antara persaingan dan ketahanan ekonomi pasca-krisis, perlu ada supply-side progressivism yang mengintegrasikan kebijakan industri dengan kompetisi untuk pertumbuhan inklusif.

Keempat, desentralisasi keputusan dengan akuntabilitas. Untuk mengatasi knowledge problem, proses pengambilan keputusan perlu didesentralisasi dengan melibatkan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lokal, sementara tetap mempertahankan pengawasan nasional untuk mencegah fragmentasi kebijakan.

KPPU dapat membentuk panel independen dengan keahlian multidisiplin (ekonom, ahli hukum, ahli industri) untuk menilai permohonan pengecualian berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Desentralisasi ini harus didukung oleh kapasitas negara yang kuat, termasuk mekanisme akuntabilitas untuk mencegah regulatory capture, sehingga hukum persaingan dapat mendukung inovasi dan ketahanan tanpa bias terhadap incumbent firms.

Revisi UU Antimonopoli menghadirkan momentum penting untuk memperbaiki kerangka hukum persaingan Indonesia. Pasal 2 dan Pasal 3 UU Antimonopoli yang sudah mengakui "kepentingan umum" dan "efisiensi ekonomi nasional" dapat diperkuat dengan mekanisme konkret yang memungkinkan respons proporsional terhadap gangguan sistemik, sambil menekankan peran kompetisi dalam mendorong inovasi dan pertumbuhan inklusif.

Tantangan Indonesia saat ini sangat kompleks, dari dominasi perusahaan besar di sektor strategis, kerentanan rantai pasok pangan dan energi, serta ketimpangan regional. Dalam konteks ini, hukum persaingan tidak bisa lagi hanya fokus pada harga dan output di tingkat mikro, melainkan harus menjadi bagian dari ekosistem kebijakan yang lebih luas, berkoordinasi dengan kebijakan fiskal, moneter, dan industri untuk menciptakan ketahanan ekonomi yang berkelanjutan.

Hukum persaingan abad ke-21 tidak boleh menjadi benteng kaku yang membutakan diri terhadap realitas ekonomi yang berubah cepat, tetapi juga tidak boleh begitu lentur sehingga kehilangan prinsip intinya.

Seperti bambu yang teguh pada akarnya namun mampu melengkung menghadapi angin, hukum persaingan yang adaptif harus memiliki fondasi nilai yang kokoh--keadilan, efisiensi, dan perlindungan konsumen--namun dengan mekanisme yang memungkinkan respons proporsional terhadap gangguan sistemik.

Di tengah gejolak global yang tak menentu, hukum persaingan perlu menjadi penjaga keseimbangan: antara efisiensi dan ketahanan, antara prinsip dan fleksibilitas, antara kepastian hukum dan adaptasi terhadap realitas yang terus berubah. Hanya dengan demikian, persaingan usaha yang sehat bisa menjadi fondasi bagi ketahanan ekonomi nasional yang berkelanjutan.


(miq/miq)