Tiap Hari Dihubungi Nomor Asing, Kita Bisa Apa?
Banyak dari kita kini semakin terbiasa menerima panggilan telepon dari nomor tak dikenal, atau istilahnya spam call. Panggilan tak dikenal ini bisa datang dari nomor dalam negeri atau luar negeri. Tujuannya pun beragam, mulai dari tawaran fasilitas perbankan hingga produk. Bahkan yang lebih menyeramkan, penipuan yang menggunakan suara manusia asli atau suara yang dibuat oleh teknologi kecerdasan buatan (AI). Ya, tren penipuan "Mama Minta Pulsa" kini sudah berkembang jauh lebih mencemaskan. Kondisi ini tidak hanya mengganggu kenyamanan kita, tapi juga keamanan kita.
Menurut Hiya Global Call Threat Report, Indonesia menempati posisi negara dengan tingkat spam call tertinggi di Asia Pasifik pada kuartal pertama tahun 2025, mencapai 89 persen, serta berada di peringkat ketujuh dunia di angka 28 persen. Rata-rata, setiap orang di Indonesia menerima sekitar 16 spam call per bulan.
Pertanyaan besarnya adalah: Dari mana mereka mendapat nomor kita, lengkap dengan nama lengkap kita yang mereka sebut dari ujung telepon? Mengapa informasi pribadi kita bisa jatuh ke pihak-pihak yang tidak kita kenal? Nyatanya, banyak dari risiko tersebut muncul karena kita sering dihadapkan pada sistem verifikasi berbasis data pribadi-seperti nama lengkap dan nomor telepon-untuk membuktikan bahwa kita benar-benar manusia, bukan bot.
Sebagai contoh, ketika kita mendaftarkan diri di layanan atau aplikasi tertentu, tak jarang kita harus melewati rangkaian proses verifikasi. Salah satunya, kita diminta untuk memasukkan alamat email atau nomor telepon untuk mendapatkan one-time password (OTP), mengisi OTP tersebut di aplikasi, hingga akhirnya sistem memastikan bahwa kita benar-benar pengguna asli.
Ironisnya, sistem yang seharusnya melindungi kita justru berisiko membuka celah bahaya baru, yakni tereksposnya data pribadi kita ke pihak-pihak lain yang sebenarnya tidak kita beri izin untuk menerima data kita. Sistem verifikasi berbasis identitas yang tujuan awalnya menjaga keamanan akun pengguna justru bisa disalahgunakan oleh pihak tak bertanggung jawab untuk menipu atau menyamar sebagai pengguna.
Ketika database yang menyimpan seluruh data pribadi tersebut bocor-kasus yang kerap terjadi di Indonesia-dampaknya akan jauh lebih besar daripada sekadar kata sandi yang dicuri. Lebih jauh dari spam call, identitas yang tersebar dapat menjadi pintu masuk bagi upaya penipuan, akses ilegal ke rekening bank, hingga pembuatan akun palsu yang menyerupai diri kita.
Otoritas Jasa Keuangan mencatat bahwa Indonesia masuk ke dalam 10 negara dengan kebocoran data terbesar, dengan hampir 100 juta data penduduk diduga bocor. Indonesia Anti-Scam Centre (IASC) juga mencatat 30.124 kasus penipuan online dari November 2024 sampai 22 Januari 2025, melibatkan 49.095 akun penipu, dengan total kerugian dilaporkan mencapai Rp476,6 miliar.
Semua kondisi ini menunjukkan bahwa kita membutuhkan metode yang lebih aman dan transparan untuk melindungi data pribadi di dunia digital. Kita perlu cara untuk membuktikan bahwa kita benar-benar manusia tanpa harus menyerahkan identitas pribadi. Informasi seperti alamat email, nomor telepon, atau akun media sosial idealnya bersifat opsional, bukan syarat wajib untuk mendaftar. Pengguna juga harus punya kendali penuh atas data mereka, termasuk hak untuk menghapusnya secara permanen kapan pun mereka mau. Dengan kontrol penuh atas data pribadi, masyarakat dapat lebih percaya diri dalam menggunakan platform digital tanpa takut dieksploitasi.
Solusi ini dapat dicapai melalui teknologi proof-of-human. Verifikasi dilakukan secara aman dan informasi pribadi seperti nama, alamat email, alamat tinggal, atau nomor telepon tidak diperlukan lagi untuk memastikan bahwa pengguna adalah manusia asli. Dengan cara ini, risiko penyalahgunaan data pribadi dapat berkurang secara signifikan. Teknologi ini tidak hanya melindungi identitas pengguna, tetapi juga meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap penggunaan layanan digital, karena mereka tahu bahwa data pribadi mereka tidak akan tersebar tanpa izin.
Tentu teknologi saja tidak cukup. Sistem verifikasi secanggih apa pun tidak akan bekerja maksimal jika masyarakat belum memahami cara melindungi diri atau bahkan apa saja hak digital yang mereka miliki. Maka dari itu, edukasi publik juga menjadi sangat penting, terutama karena banyak orang masih menganggap spam call dan kebocoran data sebagai hal yang wajar dalam beraktivitas di dunia digital.
Begitu masyarakat sadar akan risikonya, mereka dapat mengambil keputusan yang lebih bijak, mengenali tanda-tanda mencurigakan, dan menuntut perlindungan yang lebih baik dari setiap platform yang mereka gunakan.
Selain edukasi, pengembangan teknologi juga harus terus disempurnakan. Sistem verifikasi perlu diuji ketat dan diperbarui secara berkala untuk menghadapi ancaman yang terus berkembang. Proses ini melibatkan riset, audit independen, dan kolaborasi antara pengembang teknologi dan pembuat kebijakan. Tujuannya adalah memastikan solusi baru tidak hanya aman secara teknis, tetapi juga dipercaya dan dapat diakses secara merata oleh masyarakat luas.
Pada akhirnya, internet yang sehat adalah internet yang dibangun di atas kepercayaan yang hanya akan tumbuh ketika masyarakat diberi perlindungan dan rasa aman untuk menjalani kegiatan digitalnya. Dengan kombinasi teknologi yang aman, edukasi yang tepat, serta kerja sama antara pengembang teknologi dan pembuat kebijakan, kita dapat menciptakan lingkungan digital yang lebih terpercaya, bebas dari gangguan spam call, dan aman dari risiko penipuan.
(rah/rah)