Servant Leader yang Kian Terkikis
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Ketika banjir menerjang Sumatra sejak akhir November 2025, satu pertanyaan sederhana tapi mendasar dan kerap terlupakan, sebenarnya untuk kepentingan siapa seorang pemimpin itu bekerja? Saat ribuan rumah tenggelam, ekonomi rakyat terhambat, dan nyawa melayang, yang kita saksikan justru parade pejabat yang datang seperti rombongan wisata, lengkap dengan tim dokumentasi yang sibuk mencari sudut terbaik untuk di unggah di media sosial.
Prabowo Subianto bahkan menyindir para pejabat publik agar tidak sekadar foto-foto di tengah bencana yang melanda Sumatra, dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin lalu (15/12/2025). Ini membuat kita teringat pada apa yang diungkapkan Robert Greenleaf sekitar empat puluh tahun silam dalam karyanya yang monumental, Servant Leadership.
Ia mengingatkan kita, bahwa pemimpin sejati adalah seorang pelayan bagi rakyatnya. Namun ironisnya, apa yang terjadi di lapangan malah menggambarkan paradoks yang menyedihkan. Kedudukan semakin tinggi, tapi pemahaman arti memimpin yang sesungguhnya justru kian terkikis. Inilah krisis pemimpin yang melayani!
Greenleaf bahkan menekankan bahwa inti servant leadership ada pada kemampuan mendengar, namun bukan sekadar mendengar, tapi mendengar dengan penuh empati. Realitas di lapangan, para pejabat datang dengan jawaban standar, ekspresi prihatin yang terasa dibuat-buat dan dipaksakan. Mereka mendengar tapi tak sepenuhnya mendengar, melihat tapi tak sepenuhnya melihat.
Kunci Servant Leadership
Studi Lesminadi dkk (2022), menunjukkan servant leadership berkorelasi positif dengan penyesuaian sosial. Temuan ini semestinya menjadi alarm, karena bila gagal menghasilkan penyesuaian sosial, sistem kita akan melahirkan pejabat dengan disfungsi relasional. Mereka ada di tengah bencana tapi tak sanggup menempatkan diri sebagai bagian dari komunitas yang terluka. Jarak sosial berubah menjadi jarak emosional, dan akhirnya membekukan empati.
Dierendonck dalam risetnya tahun 2011 menekankan setidaknya ada lima dimensi esensialservant leadership, yakni empowerment, accountability, standing back, humility, dan authenticity. Kelimanya bak lenyap dalam respons bencana di Sumatra. Pejabat datang bukan untuk memberdayakan aparat daerah yang sudah kehabisan tenaga, melainkan merebut sorotan.
Accountability merosot jadi sekadar laporan formal, bukan tanggung jawab moral atas penderitaan masyarakat. Mereka tak mampu standing back karena posisi kamera harus menempatkan mereka di garis depan. Yang paling paradoks, kerendahan hati justru tergantikan dengan kesombongan halus berbalut kunjungan dadakan. Semua kepura-puraan semata!
Sejatinya servant leadership memuat awareness and learning from experience. Tapi melihat perilaku pejabat kita, datang tanpa paham konteks lokal, dan tidak juga belajar dari kekeliruan manajemen bencana di masa lalu. Kesadaran terbatas pada manajemen media, bukan pada dinamika sosial sesungguhnya di lapangan. Akibatnya, masyarakat kita kian sinis, kepercayaan pada institusi juga kian terkikis.
Ada satu hal yang tak bisa ditawar dalam bencana, seluruh kepentingan berbau politik dan pencitraan, wajib standing back demi alasan kemanusiaan. Inilah esensi standinging back yang sesungguhnya oleh Dierendonck, menyingkirkan semua ego untuk kepentingan kolektif.
Lebih Berani Mengoreksi
Greenleaf juga berujar, "The great leader is seen as servant first."Mungkin kita perlu mundur sejenak. Servant leadership bukan teori akademik yang cuma cocok dibahas di kelas manajemen. Ini bicara praktik hidup yang mewajibkan kita menempatkan kemanusiaan di atas semua kepentingan. Servant leadership hanya akan efektif jika ada keautentikan dan komitmen dalam mengembangkan dan memberdayakan orang lain. Ini sesuatu yang tak bisa dipalsukan, bahkan oleh staging yang rapi sekalipun. Orang yang menderita sangat bisa membaca ketidakautentikan dalam sekejap. Jadi, berhentilah menjadi leader yang hipokrat!
Bencana Sumatra mestinya jadi titik balik. Kita perlu bertanya kepada setiap pemimpin, apakah mereka datang untuk melayani atau untuk dilayani. Hadir karena empati atau karena rating! Karena pada hakekatnya, kepemimpinan itu juga soal fungsi, bukan soal posisi. Bukan siapa yang paling kelihatan, tapi siapa yang paling nyata berdampak. Servant leader fokus untuk melayani, bukan dilayani!
Tulisan ini dibuat bukan karena putus harapan. Tulisan ini dibuat karena percaya adanya setitik harapan dan perubahan. Dan itu hanya terjadi jika kita sebagai masyarakat juga berhenti memberi standing ovation pada pencitraan para pejabat. Saatnya untuk lebih berani menuntut akuntabilitas para pejabat.
Kita butuh pemimpin yang berani standing back, yang tidak takut tak terlihat di kamera asal rakyatnya terlayani. Kita butuh pemimpin yang paham dukungan sosial, bukan sekadar konsep jurnal, tapi nyawa masyarakat tetap terpinggirkan dalam krisis atau bencana.
Banjir Sumatra satu waktu akan surut. Air akan kembali ke alurnya. Tapi akan tetap ada yang tersisa. Kita harusnya semakin belajar bahwa kepemimpinan sejati ternyata diukur dari jumlah orang yang bisa terangkat, bukan dari jumlah dan indahnya foto yang diunggah. Kita harusnya semakin belajar untuk tidak mengulangi skenario yang sama di bencana berikutnya, dengan pemain yang sama atau berbeda, namun dengan script yang sama dan kebekuan empati yang sama.
Semua ini bergantung pada kita. Seberapa jauh kita memahami bahwa servant leader bukan sekadar pilihan gaya. Ini menyangkut imperatif moral, terutama saat rakyat tenggelam dalam kedukaan dan bencana.
Jika para pejabat kita masih tak paham juga, mungkin saatnya mencari pemimpin yang mau belajar melayani dulu, baru memimpin kemudian. Menjadi sevant leader, bukan hanya akan dicintai, tapi juga disegani bahkan dirindukan. Jadilah pemimpin yang melayani, bukan dilayani!