Mencermati Kebakaran Gedung di Jakarta: Human Factor Jadi Titik Lemah
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Insiden kebakaran gedung Terra Drone di Jakarta yang sempat viral beberapa waktu lalu kembali menunjukkan bahwa risiko kebakaran di kawasan perkotaan masih sangat nyata. Meski Jakarta dipenuhi gedung bertingkat dengan sistem proteksi modern, kejadian kebakaran tetap berulang dan sering kali disertai kepanikan serta proses evakuasi yang tidak optimal.
Berdasarkan data Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat) DKI Jakarta, sepanjang tahun-tahun terakhir tercatat rata-rata lebih dari 1.500 kejadian kebakaran per tahun di wilayah DKI Jakarta. Menariknya, laporan resmi Gulkarmat menunjukkan bahwa lebih dari 60% penyebab kebakaran berkaitan dengan kelalaian manusia, seperti penggunaan listrik yang tidak aman, kelalaian operasional, serta kurangnya pengawasan.
Angka ini menegaskan bahwa persoalan kebakaran tidak hanya soal kegagalan alat atau infrastruktur, tetapi sangat erat kaitannya dengan human factor-bagaimana manusia memahami risiko, mematuhi prosedur, dan bereaksi dalam situasi darurat.
Dalam beberapa laporan investigasi kebakaran gedung di Jakarta, ditemukan bahwa waktu respons awal dan evakuasi menjadi faktor penentu dampak kebakaran. Keterlambatan evakuasi selama beberapa menit saja dapat meningkatkan risiko cedera akibat asap secara signifikan. Data Gulkarmat menunjukkan bahwa asap menjadi penyebab utama korban pada lebih dari 70% kasus kebakaran di gedung tertutup, bukan api secara langsung.
Di banyak gedung perkantoran dan fasilitas publik, kondisi seperti alat pemadam api ringan (APAR) tersedia namun jarang digunakan, jalur evakuasi tertutup, atau alarm kebakaran yang diabaikan masih sering dijumpai. Berdasarkan evaluasi internal dan audit keselamatan di Jakarta, sebagian besar penghuni gedung belum pernah mengikuti simulasi kebakaran secara rutin, bahkan ada yang tidak mengetahui titik kumpul evakuasi di gedungnya sendiri.
Aspek kelelahan kerja juga menjadi bagian penting dari human factor. Mengacu pada kajian Kementerian Ketenagakerjaan, kelelahan kerja berkontribusi signifikan terhadap penurunan kewaspadaan dan kepatuhan terhadap prosedur keselamatan. Dalam konteks operasional gedung, petugas keamanan, teknisi, dan pekerja dengan sistem shift memiliki risiko lebih tinggi untuk melakukan kesalahan manusia, terutama dalam kondisi darurat.
Secara praktik, kebakaran hampir tidak pernah terjadi secara tiba-tiba. Biasanya ada rangkaian kejadian kecil sebelumnya: inspeksi yang tertunda, temuan yang tidak ditindaklanjuti, atau kebiasaan kerja yang permisif terhadap risiko. Semua ini merupakan cerminan lemahnya pengelolaan human factor dalam sistem keselamatan.
Saya melihat pendekatan keselamatan di Jakarta masih terlalu berfokus pada kelengkapan dokumen dan peralatan. Padahal, data menunjukkan program pelatihan rutin, simulasi kebakaran, dan inspeksi berkala mampu menurunkan risiko insiden hingga puluhan persen, terutama pada gedung dengan tingkat aktivitas tinggi.
Pemanfaatan teknologi juga mulai terbukti efektif. Implementasi sistem dan aplikasi keselamatan kerja membantu meningkatkan kepatuhan inspeksi, mempercepat pelaporan temuan, serta memastikan tindak lanjut dilakukan tepat waktu. Di beberapa proyek di Jakarta, pendekatan digital terbukti mampu meningkatkan konsistensi penerapan keselamatan secara signifikan.
Insiden kebakaran gedung di Jakarta seharusnya menjadi pengingat bahwa keselamatan tidak hanya dibangun dari beton, baja, dan alat pemadam. Manusia tetap menjadi faktor penentu utama. Ketika human factor dikelola dengan baik-melalui pelatihan, budaya kerja yang sehat, dan dukungan sistem-risiko dapat ditekan dan keselamatan benar-benar menjadi bagian dari keseharian.
(miq/miq)