Meruntuhkan Tembok "Ego Sektoral" Lewat Komunikasi Strategis
Dalam setiap diskusi mengenai reformasi birokrasi, sorotan utama kita kerap tertuju pada digitalisasi layanan atau penyederhanaan eselon. Seolah-olah, dengan memangkas struktur dan mendatangkan aplikasi canggih, mesin pemerintahan akan otomatis berjalan mulus. Namun, kita sering melupakan satu elemen yang jauh lebih fundamental namun tak kasat mata, yakni "infrastruktur lunak" bernama budaya komunikasi.
Birokrasi, di mana pun tempatnya, sering kali mengidap penyakit kronis yang sama: mentalitas silo (silo mentality). Ini adalah kondisi ketika unit-unit kerja-dinas, badan, atau kementerian-bekerja dalam isolasi, membentengi diri dengan tembok kewenangan, dan enggan berbagi informasi.
Akibatnya, alih-alih menjadi orkestra yang padu, birokrasi justru tampil sebagai kumpulan pemain solo yang saling berebut panggung. Di sinilah letak urgensi menempatkan komunikasi bukan sekadar sebagai pelengkap administratif, melainkan sebagai kompetensi strategis bagi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Jebakan Eksklusivitas Sektoral
Paradigma lama menempatkan komunikasi pemerintahan sebatas fungsi humas: menyebarkan rilis, menggelar konferensi pers, atau menangkis isu negatif. Padahal, dalam tata kelola modern (new public governance), komunikasi adalah "sistem saraf" organisasi. Ia berfungsi mengalirkan sinyal koordinasi dari kepala hingga kaki, memastikan kebijakan di level strategis terimplementasi dengan presisi di lapangan.
Namun, realitasnya sering kali paradoksal. Kita kerap melihat program pemerintah yang tujuannya mulia menjadi tumpul di lapangan karena macetnya koordinasi. Sebuah masalah publik yang kompleks-misalnya kemiskinan ekstrem atau penanganan bencana-tidak mungkin diselesaikan oleh satu sektor saja.
Namun, tanpa protokol komunikasi yang inklusif, setiap instansi cenderung terjebak pada eksklusivitas sektoral. Mereka sibuk memenuhi indikator kinerja masing-masing, tetapi lupa bahwa outcome sesungguhnya hanya bisa dicapai lewat kolaborasi.
Oleh karena itu, kompetensi ASN masa depan tidak boleh hanya berkutat pada teknis regulasi. Mereka harus dicetak menjadi "diplomat internal" yang mampu meruntuhkan tembok-tembok penyekat antar-instansi. Kemampuan membangun jejaring (networking) dan negosiasi lintas sektor harus menjadi menu wajib dalam setiap pelatihan dasar abdi negara.
Ilusi Teknologi dan Faktor Manusia
Di era Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), kita sering terbuai oleh ilusi bahwa teknologi akan menyelesaikan masalah komunikasi. Padahal, aplikasi super (super-app) sekalipun hanyalah alat (enabler). Efektivitasnya sangat bergantung pada kualitas manusianya (humanware).
Sebuah sistem pengaduan digital, misalnya, akan berakhir menjadi "kotak surat mati" jika ASN di belakang layar tidak memiliki budaya responsif. Ketika data antar-lembaga tidak terintegrasi karena ego kepemilikan data, maka keputusan strategis menjadi tidak akurat.
Di sinilah komunikasi berperan sebagai jembatan. Transformasi digital tanpa dibarengi transformasi cara berkomunikasi hanya akan memindahkan kerumitan birokrasi dari loket fisik ke layar ponsel.
Sinergi Lintas Generasi
Tantangan komunikasi birokrasi kian pelik dengan hadirnya bonus demografi di tubuh pemerintahan. Birokrasi kita kini adalah melting pot tempat bertemunya Baby Boomers dan Gen X yang memegang tampuk pimpinan, dengan Gen Z yang mulai membanjiri formasi CPNS.
Terdapat jurang budaya yang nyata. Generasi baru yang digital native cenderung egaliter, cepat, dan menyukai umpan balik instan. Sementara itu, birokrasi tradisional dibangun di atas hierarki yang kaku dan prosedur formal yang berjenjang. Jika tidak dikelola, perbedaan ini memicu kebisingan (noise) yang menghambat kinerja.
Pimpinan birokrasi harus memiliki kecerdasan komunikasi untuk merangkul potensi generasi baru ini, bukan mematikannya dengan dalih "senioritas". Sebaliknya, ASN muda perlu dibekali kecerdasan budaya (cultural agility) untuk menavigasi struktur birokrasi tanpa kehilangan daya kritisnya. Sinergi lintas generasi ini adalah kunci agar birokrasi tetap relevan di tengah perubahan zaman yang serba cepat.
Dari "State-Centric" ke "Society-Centric"
Pada akhirnya, reformasi komunikasi pemerintahan bertujuan mengubah paradigma dari state-centric (pemerintah memberi tahu) menjadi society-centric (pemerintah mendengar dan merespons). Peran komunikasi pemerintah (government public relations) harus bergeser dari sekadar "pemadam kebakaran" saat krisis, menjadi telinga yang peka terhadap denyut nadi aspirasi publik.
Setiap ASN, terlepas dari jabatannya, sejatinya adalah humas bagi negara. Cara mereka melayani, merespons keluhan, dan berkoordinasi, semuanya membentuk persepsi publik terhadap wibawa negara. Membangun birokrasi yang "bisa diajak bicara", responsif, dan humanis adalah pekerjaan rumah terbesar kita. Dan itu semua dimulai dari satu langkah sederhana namun fundamental: memperbaiki cara kita berkomunikasi.
(miq/miq)