Hari Disabilitas Internasional 2025: Jangan Hanya Seremoni!
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Pada tanggal 3 Desember setiap tahunnya, dunia merayakan Hari Disabilitas Internasional (HDI). Penetapan HDI di tiap tahunnya bukan hadir dari ruang kosong. Akan tetapi, penetapan HDI merupakan bentuk perjuangan pemenuhan hak terhadap disabilitas di antaranya upaya untuk menjamin kesamaan hak dan kesempatan serta menghapuskan stigma bagi orang dengan disabilitas.
Sebelum diadopsi dan mendapatkan pengakuan resmi oleh PBB, gerakan untuk mengakui, memenuhi, menghormati, dan melindungi hak bagi disabilitas telah mengakar kuat di berbagai negara. gerakan tersebut berakar dari para veteran Perang Dunia yang mengalami cedera parah sehingga mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan isu rehabilitasi dan integrasi bagi mereka.
Awalnya, fokus utama gerakan ini model medis, yang memandang disabilitas sebagai penyakit atau kerusakan individu sehingga keadaan tersebut perlu "diperbaiki" atau "diobati." Bersamaan dengan itu,, berkembang pula model amal, yang menempatkan penyandang disabilitas sebagai objek belas kasihan dan penerima bantuan.
Namun, pada tahun 1960-an dan 1970-an, muncul gerakan self-advocacy yang menantang pandangan tersebut. Tokoh-tokoh kunci mulai menyuarakan bahwa masalah utama bukanlah disabilitas itu sendiri, melainkan hambatan sosial seperti sikap, arsitektur, dan kebijakan yang diciptakan oleh masyarakat.
Munculnya Hari Disabilitas Internasional
Pada tahun 1976, Majelis Umum PBB mendeklarasikan tahun 1981 sebagai International Year of Disabled Persons (IYDP) atau tahun bagi orang dengan disabilitas. Slogan untuk tahun tersebut adalah full participation and equality atau partisipasi penuh dan kesetaraan.
Deklarasi IYDP menjadi titik balik yang menandai pengakuan PBB bahwa penyandang disabilitas adalah kelompok yang menghadapi diskriminasi sistematis dan diperlukan tindakan internasional yang terkoordinasi. Ini adalah kali pertama PBB secara khusus memusatkan perhatian pada disabilitas dalam skala global yang menggeser wacana dari belas kasihan ke hak dan partisipasi.
Sebagai tindak lanjut dari IYDP, Majelis Umum PBB mengadopsi World Programme of Action Concerning Disabeld Person (WAPDP) atau aksi dunia untuk penyandang disabilitas pada tahun 1982. Program ini menetapkan kerangka kerja global untuk mempromosikan "kesempatan yang sama" bagi penyandang disabilitas.
WPADP memiliki tiga tujuan utama yakni pencegahan seperti mengurangi prevalansi disabilitas, rehabilitasi yang berupa membangun kembali kemampuan yang hilang, dan memberikan kesempatan yang sama bagi orang dengan disabilitas untuk berpartisipasi penuh.
Untuk memastikan implementasi WPADP, PBB mendeklarasikan periode 1983 hingga 1992 sebagai Dekade PBB Penyandang Disabilitas. Selama dekade ini, upaya terfokus untuk mendorong pemerintah dan organisasi internasional agar mengintegrasikan masalah disabilitas ke dalam program pembangunan mereka.
Puncak dari upaya Dekade PBB terjadi pada akhir periode tersebut. Tepat pada tanggal 14 Oktober 1992, Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi 47/3 yang secara resmi mendeklarasikan tanggal 3 Desember setiap tahun sebagai International Day of Persons with Disabilities atau dalam bahasa Indonesia berarti Hari Disabilitas Internasional.
Tanggal 3 Desember dipilih karena merupakan hari ketika Dekade PBB Penyandang Disabilitas (1983-1992) secara resmi berakhir yang bermakna simbol kesinambungan antara kerja Dekade dan upaya-upaya masa depan yang berkelanjutan.
Oleh karenanya, sejak 1992 peringatan HDI memiliki tema tahunan yang berfokus pada aspek tertentu dari kehidupan penyandang disabilitas, seperti aksesibilitas, teknologi, lapangan kerja, atau inklusi sosial.
Menuju Paradigma Hak Asasi Manusia
Pascadekade Aksi terhadap Orang dengan Disabilitas, PBB mengadopsi Aturan Standar pada tahun 1993 yang berfungsi sebagai panduan moral dan politik bagi negara-negara berupa Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Person with Disabilities, 1993) atau Aturan Standar kesamaan kesempatan bagi Orang dengan Disabilitas pada tahun 1993.
Meskipun tidak mengikat secara hukum seperti perjanjian, Aturan Standar ini sangat berpengaruh karena menekankan tanggung jawab negara untuk menghilangkan hambatan dan memastikan kesetaraan bagi penyandang disabilitas.
Titik kulminasi dari sejarah panjang yakni adopsi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 13 Desember 2006. CRPD mulai berlaku pada tahun 2008. CRPD adalah perjanjian hak asasi manusia internasional yang paling komprehensif di abad ke-21.
Adopsinya menandai pergeseran fundamental dan permanen dari memandang penyandang disabilitas sebagai objek amal, medis, atau penerima bantuan sosial, menjadi subjek hak asasi manusia yang mampu membuat keputusan untuk kehidupan mereka sendiri dan menjadi anggota masyarakat yang aktif.
Prinsip-prinsip utama CRPD meliputi: penghormatan terhadap martabat yang melekat, non diskriminasi, partisipasi penuh dan efektif, penghormatan dan penerimaan terhadap perbedaan, kesetaraan kesempatan, dan aksesibilitas.
CRPD yang kini telah diratifikasi oleh sebagian besar negara di dunia termasuk Indonesia menjadi kerangka kerja hukum internasional yang wajib diikuti untuk memajukan hak-hak penyandang disabilitas. Oleh karena itu, HDI menjadi hari yang ideal untuk mengevaluasi dan mempromosikan implementasi CRPD, sekaligus menjadi hari raya yang patut dirayakan sekaligus merefleksikan perjuangan selama ini untuk mencapai kesamaan hak, perlakuan, dan kesempatan.
Refleksi HDI
Saat ini, HDI sudah sepatutnya dirayakan dengan bukan soal seremonial belaka. Momentum ini harus dilakukan dengan Mengevaluasi implementasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan CRPD secara tepat sasaran.
Selain itu, HDI juga momentum yang tepat guna mempromosikan aksesibilitas dan penyediaan akomodasi yang layak bagi mereka yang tergolong sebagai masyarakat rentan, salah satunya disabilitas.
Hal yang paling penting, HDI juga patut dirayakan dengan cara bukan hanya mendorong kesamaan hak dan pemenuhan aksesibilitas serta akomodasi yang layak. HDI juga menjadi momentum yang pas untuk merefleksikan kembali paradigma kita untuk memandang disabilitas.
Bahwa orang dengan disabilitas seyogianya sama seperti orang nondisabilitas yang lain. Perlakuan diskriminasi dan ketimpangan akses dalam hal pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, serta akses lainnya secara sistematis sehingga membuat orang dengan disabilitas memiliki kesempatan yang tidak sama untuk berpartisipasi dalam masyarakat.
Di akhir, perayaan HDI justru jangan sampai mengobjektivikasi disabilitas itu sendiri. Maksudnya, hal ini jangan sampai menjadikan orang dengan disabilitas sebagai sumber inspirasi (inspiration porn) secara berlebihan.
Tindakan inspiration porn justru mengaburkan dari tanggungjawab bersama untuk menghilangkan hambatan yang dialami seperti ketimpangan akses secara sistematis. Oleh karenanya, hal ini menjadi pembelajaran bersama bagi pemerintah, media, organisasi pergerakan disabilitas, dan masyarakat itu sendiri untuk memandang isu disabilitas secara proporsional dan tepat.
(miq/miq)