Keberhasilan Roket Nuri dan Sebuah Pelajaran Antariksa dari Korsel
Kesuksesan Nuri milik Korea Selatan pada akhir November 2025 lalu bukanlah sebuah insiden yang kebetulan. Nuri adalah sebuah tonggak keberhasilan strategis yang terbang jauh melampaui orbit satelit-satelit yang diantarkannya.
Pada peta dinamika antariksa global yang sedang diubah oleh pengaruh visioner seperti Elon Musk dengan SpaceX dan Starlink-nya, pencapaian Korea Selatan ini
justru menawarkan sebuah narasi tandingan yang sama kuatnya.
Lantas, bagaimana Musk, melalui perusahaan-perusahaannya, tidak hanya memicu kompetisi melainkan juga membuka akses yang sebelumnya terbatas bagi negara-negara Asia seperti Korea Selatan dan Indonesia.
Namun, peluncuran Nuri ini menunjukkan bahwa akses yang dimudahkan oleh aktor global itu justru menjadi katalis bagi sebuah ambisi yang lebih jauh lagi bagi sebuah negara dengan kemauan keras, yakni melalui kemandirian.
Ada sebuah diskursus yang menarik di sini. Di satu sisi, layanan komersial seperti peluncuran satelit SpaceX dan layanan koneksi mega-konstelasi Starlink menawarkan jalan pintas yang sangat berharga.
Korsel dan Indonesia, sejatinya dapat memanfaatkan teknologi mutakhir ini untuk mempercepat pencapaian tujuan digital dan observasional mereka tanpa harus menunggu kemampuan domestik matang terlebih dahulu.
Namun, ketergantungan penuh pada jalan pintas antariksa swasta ini mengandung risikonya sendiri, mulai dari isu kedaulatan data, ketergantungan teknologi, hingga kerentanan dalam rantai pasok global. Nuri hadir sebagai jawaban Korea Selatan atas kegelisahan strategis ini.
Lewat menyerahkan proses pembangunan dan perakitan roketnya kepada Hanwha Aerospace, Korea Selatan tidak sekadar melakukan alih teknologi dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Korea (KARI), melainkan secara aktif memindahkan pusat gravitasi industri antariksanya dari ruang rapat pemerintah ke bengkel produksi swasta.
Inilah yang membedakannya. Mereka tidak menolak pengaruh Musk, melainkan mereka justru belajar darinya tentang efisiensi, inovasi, dan kekuatan model komersial, lalu menerapkannya dalam konteks nasional mereka sendiri.
Bagi Indonesia, yang sedang aktif mengembangkan satelit SATRIA-1 dan berencana membangun pusat peluncuran roket, kisah Nuri ini seharusnya menjadi sebuah cermin yang jernih.
Kerja sama dengan pihak eksternal, entah itu SpaceX atau lainnya, adalah sebuah langkah pragmatis yang diperlukan untuk membangun momentum. Namun, momentum itu harus dengan sengaja diarahkan untuk menumbuhkan tulang punggung teknologi dalam negeri.
Peluncuran Nuri membuktikan bahwa "kemampuan dalam negeri" bukanlah sekadar jargon nasionalisme semata, melainkan sebuah prasyarat untuk menentukan masa depan sendiri. CAS500-3 dan armada CubeSats-nya adalah bukti nyata, yaitu dengan memiliki kendali atas kendaraan peluncuran, sebuah negara juga
memiliki kendali penuh atas muatan sains, kebijakan, dan aplikasi komersialnya.
Korsel bebas mengeksplorasi fenomena aurora, meneliti bioprinting di ruang angkasa, atau menguji teknologi komunikasi baru, tanpa harus mengantre atau menyesuaikan diri dengan jadwal dan kebijakan vendor asing.
Oleh karena itu, masa depan yang paling realistis dan berdaulat bagi Asia tidak terletak pada pilihan biner, yaitu mengadopsi lewat layanan swasta atau mengembangkan diri dengan membangun segala sesuatu sendiri.
Masa depan itu terletak pada model hybrid yang berkemampuan. Seperti yang ditunjukkan Korea Selatan, sebuah negara yang dapat secara simultan menjadi konsumen yang cerdas dari layanan antariksa swasta, sekaligus menjadi negara yang membina kepentingan nasional yang ambisius bagi kemampuan domestiknya.
Kita dapat menggunakan Starlink untuk menjembatani kesenjangan digital di daerah terpencil sambil menginvestasikan sumber daya nasional untuk meluncurkan satelit komunikasi kita sendiri. Kita dapat memanfaatkan peluncuran komersial untuk membawa muatan eksperimen awal, sambil secara paralel membangun landasan peluncuran dan roket nasional.
Pada akhirnya, peluncuran Roket Nuri adalah sebuah tonggak baru. Nuri adalah lambang transisi Korea Selatan dari seorang "pelanggan" dalam dunia antariksa menjadi sebuah "pemain" yang mumpuni.
Seperti dalam dunia pembangunan internasional, Korea Selatan bertransformasi dari penerima dana bantuan, menjadi pemberi bantuan. Hal ini seperti mengonfirmasi bahwa Korea Selatan telah mendorong Asia untuk melihat jauh ke masa depan, tetapi sekaligus menunjukkan bahwa cara terbaik untuk merespons hal ini bahwa bukan dengan sekadar menjadi pasar, melainkan dengan menjadi sebuah inovator dan mitra yang setara.
Bagi Indonesia, pelajaran terbesarnya adalah bahwa kerja sama internasional dan pembangunan kapasitas domestik bukanlah dua jalur yang saling bertolak belakang, melainkan sistem yang harus terus berputar bersamaan untuk menerbangkan roket kedaulatan teknologi menuju masa depan.
(miq/miq)