Kebun Raya Bogor: Ketika Tumbuhan Menjadi Saksi Sejarah
Banyak ikon menarik yang menghiasi Kota Bogor. Kota yang sebagian masyarakat mengenalnya sebagai Kota Hujan, walaupun kini akibat perubahan iklim tidak selalu hujan, terkait erat dengan sejarah Nusantara.
Salah satu kerajaan besar yang luas wilayahnya sampai Jawa Tengah sekarang ini, berpusat di Kota Bogor. Pajajaran, satu kerajaan besar yang sudah kosmopolitan pada saat itu. Di kota kerajaan ini sudah hidup berbagai etnis dan suku bangsa lain dengan damai.
Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane adalah "jalan tol" Saat itu yang menghubungkan pusat kota Pajajaran dengan kerajaan-kerajaan lain, termasuk dengan bangsa-bangsa lain. Catatan Tome Pires mengenai Pajajaran sudah cukup menjadi bukti dari gambaran Pajajaran yang besar.
Bogor: Kota Ilmu Pengetahuan Hayati
Jauh sebelum Pajajaran berdiri, Kerajaan Tarumanegara sudah menjelajahi wilayah Bogor. Tujuannya, mencari tanah-tanah yang subur untuk memperluas pertanian mereka. Prasasti Kebun Kopi yang ada di Ciaruteun menjadi saksi bagaimana era Tarumanegara sudah menjejakkan kaki di Bogor.
Kebijakan pertanian yang digagas oleh Tarumanegara dilanjutkan di era Pajajaran. Hasil-hasil sumberdaya alam dari kawasan ini diperdagangkan secara luas. Tanahnya yang subur dengan air yang melimpah menjadikan kawasan ini bak syurga yang dapat menumbuhkan apapun.
Demikian juga pada era kolonial, Bogor menjadi pusat dari aklimatisasi berbagai jenis tumbuhan yang akan menjadi tanaman industri atau perkebunan. Kopi, kina, teh, berbagai sayuran dan buah-buahan ditanam di Bogor terlebih dahulu sebelum ditanam menjadi perkebunan. Tidak itu saja, era kolonial juga menjadikan Bogor sebagai pusat dari ilmu pengetahuan terkait dengan biologi. Penelitian penelitian mengenai tumbuhan, satwa, dan jasad renik berpusat di Bogor.
Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia mengetahui dengan cukup baik situasi tersebut. Universitas yang dibangun dengan tujuan mengatasi atau kemandirian pangan Indonesia, IPB (Institut Pertanian Bogor) dibangun di Bogor. Soekarno juga menjadikan Bogor sebagai pusat dari pengetahuan hayati. Gedung Herbarium, yang kini menjadi Museum Nasional Sejarah Alam (Munasain) adalah gedung yang diarsiteki oleh F. Silaban, atas perintah Soekarno.
Presiden Soekarno juga memberikan lahan luas untuk pengembangan ilmu hayati, area tersebut kini menjadi KST (Kawasan Sains dan Teknologi) Soekarno yang terletak di Cibinong, Bogor. Bahkan, jembatan yang menghubungkan antara jalan raya Jakarta-Bogor dan kawasan KST, diarsiteki oleh Soekarno sendiri.
Di KST ini, terdapat gedung Herbarium Bogoriensis, Museum Zoologi, dan juga pusat mikroba yang menyimpan ribuan koleksi tumbuhan, satwa, dan mikroba dari berbagai pelosok negeri. Tempat-tempat tersebut menjadi rujukan nasional terkait ilmu hayati.
Berbagai mahasiswa dari berbagai daerah dan juga ilmuwan dari luar negeri, kerap menyerap informasi-informasi ilmu pengetahuan yang tersimpan dengan baik. Bahkan kini, di KST juga tersimpan benda-benda arkeologi yang ditemukan dari berbagai daerah di Indonesia.
Kebun Raya: Dari Samida sampai Dyandra
Lokasi yang sekarang menjadi Kebun Raya Bogor merupakan beranda dari dua istana. Pertama istana Pajajaran dan kedua istana Bogor yang dibangun oleh Belanda.
Pada masa Pajajaran, banyak kalangan percaya bahwa di Kebun Raya sekarang ini ditanami jenis yang berguna untuk ritual. Belum ada kesepakatan jenis apa yang ditanam di Kebun Raya, ada yang berpendapat jenis ploso dan ada juga yang berpendapat lainnya.
Terlepas dari perdebatan jenis, saat itu area Kebun Raya dikenal dengan "Samida", yakni taman kerjaan yang digunakan tidak saja untuk "healing" bahasa sekarang, melainkan juga persediaan bahan-bahan alam untuk memenuhi kebutuhan saat itu. Dengan adanya samida, ketika kerajaan membutuhkan bahan untuk ritual, tanpa harus mencari ke hutan.
Pihak Belanda tampaknya memahami arti penting samida. Pada masa kolonial, lokasi Samida tetap digunakan untuk koleksi berbagai jenis tumbuhan dari berbagai daerah dan juga negara lain.
Tercatat ada "induk" Dari kelapa sawit (Elaeis guienensis). Di Kebun Raya, bibit kelapa sawit dari Afrika ditanam. Selain itu, pada masa itu juga ditanam berbagai jenis-jenis yang bernilai ekonomis. Aneka rempah dan pewangi ditanam untuk dikembangkan. Ada kemenyan (Styrax benzoin), kapur barus (Dryobalanops aromatica), karet (Hevea brasiliensis) dan lain sebagainya.
Jenis-jenis tersebut ditanam bukan semata-mata untuk tujuan koleksi, melainkan juga pengembangan produksi sumbernya hayati untuk meningkatkan ekonomi. Pada awal abad ke-19, koleksi-koleksi yang ada di Kebun Raya memiliki tujuan lain, yakni konservasi.
Penambahan koleksi pun dilanjutkan pada era setelahnya, yakni era Indonesia. Berbagai laboratorium alam masih tetap dipertahankan, selain juga penambahan koleksi tumbuhan obat dan berbagai koleksi lainnya. Namun, aroma konservasi masih cukup kuat.
Koleksi-koleksi tumbuhan yang ada di Kebun Raya tidak lagi bermakna sebagai potensi sumber daya alam yang dapat dikembangkan menjadi produk pertanian atau perdagangan, melainkan juga nilai-nilai konservasi makin kuat. Hal ini dipengaruhi juga dengan makin jarangnya tumbuhan alami di hutan.
Pada masa Indonesia, koleksi Kebun Raya yang mulai langka pun menjadi daya tarik tersendiri. Melihat koleksi tumbuhan hidup yang sudah mulai langka adalah obat klalengen, apalagi iklim Bogor yang sejuk. Kebun Raya pun mulai memiliki peran baru, sebagai tujuan wisata alam.
Sejak zaman Belanda, Orang-orang dari Jakarta mengunjungi Kebun Raya untuk menikmati suguhan alam dengan koleksi-koleksi uniknya. Di rimbuhan pepohonan, ada hamparan luas yang menjadi tempat ideal menghilangkan penat dengan bercengkerama bersama keluarga. Menikmati alam bebas tetapi dengan nyaman tanpa khawatir adanya ancaman binatang buas.
Tujuan menjadi tempat wisata makin menguat sekarang ini. Kebun Raya pun dikelola oleh pihak swasta, PT Mitra Natura Raya atau Dyandra, salah satu anak usaha di bawah Kompas Group dipercaya oleh negara (BRIN/Badan Riset dan Inovasi Nasional) untuk mengelola wisata alam berbasis koleksi tumbuhan.
Kebun Raya ke Depan
Dengan memperhatikan perjalanan Kebun Raya, maka kekuatan koleksi tumbuhan yang menjadi andalannya harus tetap dipertahankan, bahkan diperkuat.
Kebun Raya, dengan koleksi yang ada di dalamnya, adalah tempat ideal untuk mengembangkan berbagai program strategis nasional, terutama hilirisasi sumber daya alam. Setidaknya terdapat tiga point penting yang bisa dikembangkan di Kebun Raya, dengan tetap mempertahankan fungsi pariwisata edukasi.
Pertama, koleksi Kebun Raya, bisa dikembalikan fungsinya sebagai tempat riset untuk pengembangan new food atau penemuan-penemuan jenis-jenis yang bisa dikembangkan sebagai pangan alternatif.
Kedua, koleksi-koleksi Kebun Raya juga bisa menjadi tempat riset untuk menemukan jenis-jenis alternative untuk energi baru (new energy). Energi hijau yang berbasis pada tumbuhan merupakan tantangan tersendiri.
Ketiga, koleksi Kebun Raya bisa dikembangkan untuk menemukan obat-obatan baru (new drug). Kesehatan adalah tantangan masyarakat modern saat ini. Berbagai penyakit baru bermunculan sedangkan persediaan obat-obatan masih berdasarkan temuan tahun 1970an.
Koleksi-koleksi yang ada di Kebun Raya, potensial untuk terus diteliti sampai diketemukan obat baru yang bisa menjadi solusi kesehatan, tidak saja masyarakat Indonesia, melainkan juga masyarakat dunia.
(miq/miq)