Energi Berdaya Saing, Kunci Penguatan Industri Nasional

Dr. Anggawira,  CNBC Indonesia
27 November 2025 13:43
Dr. Anggawira
Dr. Anggawira
Dr. Anggawira merupakan pemimpin di dunia bisnis dan berbagai organisasi. Ia dipercaya sebagai Sekretaris Jenderal HIPMI 2022-2025 dan Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi Mineral & Batubara (ASPEBINDO). Saat ini, Anggawira menjabat sebagai Komisaris PT. Bum.. Selengkapnya
Ilustrasi (Photo by Fusun Tut on Unsplash)
Foto: Ilustrasi (Photo by Fusun Tut on Unsplash)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Target pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 8 persen pada akhir dekade ini tidak akan tercapai apabila fondasi industrinya tetap rapuh. Dua faktor penentu yang masih kerap luput dari pendekatan teknokratik adalah kebijakan energi yang berdaya saing secara industrial dan hilirisasi yang terintegrasi lintas kebijakan.

Pengalaman internasional menunjukkan bahwa lonjakan pertumbuhan selalu didorong oleh industri pengolahan yang kuat. Namun industri tidak tumbuh di ruang hampa. Ia membutuhkan energi yang terjangkau secara ekonomi, pasti secara regulasi, dan berkelanjutan secara pasokan.

Energi: Kepastian dan Daya Saing, Bukan Sekadar Harga

Perdebatan energi selama ini terlalu sering berhenti pada isu harga. Padahal bagi industri, isu utama bukanlah energi murah, melainkan energi yang berdaya saing yakni harga yang wajar, skema yang transparan, dan kepastian jangka panjang.

Gas bumi sebagai energi transisi utama industri masih menghadapi persoalan alokasi, disparitas harga sektoral, dan ketidakjelasan kontrak jangka menengah-panjang. Kondisi ini membuat banyak proyek industri kesulitan mencapai kelayakan finansial (bankable).

Di sisi fiskal, besarnya anggaran subsidi energi memang menjaga stabilitas harga, tetapi juga membatasi kapasitas negara untuk berinvestasi pada infrastruktur energi, jaringan gas, dan integrasi energi bersih ke sektor industri. Kebijakan energi ke depan perlu difokuskan pada daya saing industri nasional, bukan sekadar stabilisasi jangka pendek.

Hilirisasi: Tidak Cukup Bangun Pabrik, Harus Bangun Ekosistem

Hilirisasi sumber daya alam merupakan strategi yang tepat, namun implementasinya masih menghadapi fragmentasi kebijakan. Pembangunan fasilitas pengolahan tidak selalu diikuti kesiapan pasokan bahan baku, kepastian energi, efisiensi logistik, dan insentif fiskal yang konsisten.

Akibatnya, sebagian industri hilir belum beroperasi optimal. Ini menunjukkan bahwa hilirisasi tidak boleh dipersempit sebagai proyek fisik, melainkan harus dipandang sebagai proses integrasi kebijakan industri dari hulu ke hilir.

Tekanan fiskal seperti PPN dan berbagai pungutan sektoral juga perlu dievaluasi agar tidak menurunkan daya saing produk hilir Indonesia dibanding negara kawasan. Dalam konteks kompetisi regional, struktur biaya industri menjadi faktor pembeda utama dalam menarik investasi.

Pembiayaan Industri Masih Terbatas

Tantangan berikutnya adalah pembiayaan. Industri energi dan pengolahan bersifat padat modal dan berisiko tinggi, namun justru di sinilah aliran kredit jangka panjang masih terbatas. Perbankan lebih memilih instrumen aman, sementara sektor produktif kekurangan dukungan pembiayaan berkelanjutan.

Bagi pengusaha muda dan industri baru, kondisi ini memperlambat modernisasi teknologi dan ekspansi nilai tambah. Tanpa terobosan kebijakan pembiayaan, agenda reindustrialisasi akan sulit dipercepat.

Rekomendasi Kebijakan Teknis

Untuk memastikan energi dan hilirisasi benar-benar menjadi mesin pertumbuhan, diperlukan langkah kebijakan konkret yaitu:

1. Menetapkan skema harga energi industri yang berdaya saing dan stabil, khususnya gas dan listrik, melalui kontrak jangka menengah-panjang berbasis volume dan kepastian pasokan.

2. Menyelaraskan kebijakan energi, fiskal, dan industri dalam satu kerangka industrialisasi nasional, agar hilirisasi tidak terhambat disharmoni regulasi.

3. Mengalihkan sebagian subsidi energi menuju insentif produktif, seperti infrastruktur gas industri, elektrifikasi kawasan industri, dan integrasi energi terbarukan.

4. Memperkuat skema pembiayaan industri strategis, melalui penjaminan pemerintah, blended finance, dan peran lembaga pembiayaan khusus sektor energi dan manufaktur.

5. Menata ulang insentif fiskal hilirisasi agar mendorong nilai tambah, bukan sekadar pembangunan fasilitas fisik.

Pertumbuhan ekonomi tinggi hanya dapat dicapai dengan kebijakan energi yang berdaya saing secara industrial dan hilirisasi yang dijalankan secara terintegrasi. Dunia usaha tidak menuntut privilese, melainkan kepastian dan efisiensi kebijakan.

Tanpa perbaikan fundamental di kedua sektor ini, target pertumbuhan 8 persen sulit diwujudkan. Namun jika kebijakan diarahkan secara konsisten dan teknokratik, industri nasional dapat kembali menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.


(dpu/dpu)