Menemukan Ilmu Pengetahuan dalam "Pop Kalcer"

Suparjono CNBC Indonesia
Selasa, 25/11/2025 18:05 WIB
Suparjono
Suparjono
Suparjono merupakan Praktisi Human Capital yang memiliki pengalaman selama 13 tahun. Ia sempat berkecimpung di Corporate Secretary & Legal s... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi media sosial (Aristya Rahadian Krisabella/CNBC Indonesia)

Ruang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai rongga yang berbatas atau terlingkung oleh bidang. Dalam bangunan, maka ruang akan dibatasi oleh sekat-sekat sesuai dengan peruntukkannya.


Berbeda dengan ruang publik, batas atau sekat menjadi bias karena ruang dipenuhi dengan persepsi yang dibatasi oleh pengetahuan setiap individu. Individu dengan pengetahuan yang mempunyai kelekatan ilmu pengetahuan mapan akan melihat ruang publik dengan penuh kesadaran. Individu dengan pengetahuan minim ilmu pengetahuan mapan akan melihat ruang publik dengan kecenderungan mengedepankan persepsi dan emosi.

Kedua kondisi tersebut dapat dilihat pada respons individu di ruang publik saat tersiar berita, fenomena maupun peristiwa sosial. Sebagian menggunakan data dan analisa tentang obyek yang dilihat dengan kesimpulan dari keindahan, kebaikan dan kebenaran.

Sebagian lainnya hanya menggunakan keindahan saja atau kebaikan saja atau kebenaran saja. Pada akhirnya banyak perbedaan yang signifikan dalam melihat sebuah berita, fenomena maupun peristiwa sosial antara keduanya. Seringkali berita, fenomena maupun peristiwa sosial tersebut berujung kepada oposisi biner.

Respons Ruang Publik
Dialektika dalam ruang publik memang cair dan uncontrollable, oleh sebab itu perlu ada komitmen bersama atau kontrak sosial yang perlu dibangun agar hubungan interaksi antar individu menjadi harmonis.

Sehingga ruang-ruang publik mampu menghadirkan percakapan yang mengarah kepada interaksi sosial yang saling melengkapi. Hal senada juga disampaikan oleh Jurgen Habermas tentang ruang publik sebagai ranah di mana individu-individu berkumpul secara bebas untuk berdiskusi secara rasional, membentuk opini publik, dan mengawasi negara demi terwujudnya demokrasi yang sehat.

Tak hanya itu, kebebasan menyampaikan ide, gagasan dan pendapat memang menjadi fitrah manusia dalam menegaskan bahwa aspek kemanusiaannya diakui. Meskipun konsep ideal ini sering terancam oleh komersialisasi dan manipulasi, ia tetap menjadi pilar penting untuk masyarakat yang demokratis.

Ruang publik yang cair dan uncontrollable sering kali juga dimanfaatkan oleh kuasa entitas yang mampu melakukan penetrasi pada entitas lain, baik yang bersifat kecil, lemah maupun menengah atas dan kuat. Kondisi cair dan uncontrollable ruang publik juga seringkali memunculkan dinamika baru dalam interaksi sosial.

Dinamika yang mengarah pada polemik berkepanjangan tentu akan menimbulkan dekonstruksi tatanan sosial yang sudah cenderung tenang. Tetapi jika dinamika dalam ruang publik mampu menghadirkan percakapan yang konstruktif tentu akan memberikan kontribusi baik bagi kebudayaan.

Namun demikian, berita, fenomena maupun peristiwa sosial seringkali menjadi objek kebenaran yang disepakati. Hal tersebut yang menjadi berbahaya. Artinya berita, fenomena maupun peristiwa sosial sudah menipis kadar kebenaran esensial untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali.

Seolah berita, fenomena maupun peristiwa sosial sudah membentuk entitas pembenaran karena dibangun dari subjektivitas yang disepakati tanpa melihat kebenaran esensial. Tak hanya itu saja budaya populer yang semakin tak terbendung juga menimbulkan polemik baru tentang persoalan estetika dan etika tanpa dilengkapi dengan logika.

Budaya populer seringkali menghadirkan berita, fenomena maupun peristiwa sosial baru yang timbul dan tenggelam. Begitu banyak contoh yang tidak bisa disebutkan karena terlalu banyak berita, fenomena maupun peristiwa sosial yang berujung kepada permintaan maaf antara satu pihak dengan pihak lainnya.

Pop Kalcer
Budaya Populer atau sering juga disebut dengan Budaya Pop atau belakangan disebut dengan pop kalcer (berasal dari kata popular dan culture) adalah berita, fenomena maupun peristiwa sosial yang dibangun oleh orang perorang maupun kelompok yang juga bisa dinikmati oleh khalayak ramai.

Ketika berita, fenomena maupun peristiwa sosial sudah dinikmati kemudian dilakukan imitasi maka pop kalcer sudah hadir dalam ruang-ruang pribadi. Tak berbeda jauh dengan Yasraf Amir Piliang, menurutnya budaya populer akan membuat masyarakat berpikir populer.

Karena berpikir populer, maka mereka akan mengikuti standar massa yang kemudian mengantarkan masyarakat pada proses imitasi terkait tren yang terjadi. Dan karena secara tidak langsung dipaksa menjadi seorang peniru, hal tersebut juga akan berpengaruh terhadap konsep diri mereka sendiri. Biasanya pop kalcer tumbuh dan besar karena pengaruh media yang cukup masif.

Pop kalcer biasa digunakan oleh para kuasa kapital untuk memberikan efek adiktif pada produk-produk yang dihasilkan kepada para pelanggannya. Membuat ekosistem yang mampu memberikan amplifikasi pada produk yang dihasilkan oleh kuasa modal.

Produk pop kalcer biasanya dalam bentuk tangible seperti pakaian, barang-barang yang bersifat sekunder dan tersier maupun intangible seperti bahasa, gaya hidup, perilaku sosial dan lain sebagainya.

Contohnya K-Pop (budaya korea) yang mampu mengubah gaya hidup dan perilaku sosial, anime (budaya jepang) yang mampu memberikan perubahan pada perilaku pendukungnya, merupakan contoh dari pemanfaatan pop kalcer dalam upayanya melakukan amplifikasi terhadap modal yang dikeluarkan agar mendapat return yang sepadan.

Otoritas Ilmu Pengetahuan
Maraknya penggunaan media sosial sebagai konsekuensi logis gerakan revolusi industri 4.0, hadirnya Internet of Thing dan kemunculan artificial intelligent memang menambah constraints baru dalam menjaga harmonisasi interaksi ruang publik.

Pop kalcer yang muncul sebagai berita, fenomena maupun peristiwa sosial juga menjadi wajah baru dalam membangun pengaruh pada persepsi setiap individu. Bermunculannya para influencer dengan story telling-nya di ruang-ruang podcast dan media sosial memberikan kegamangan baru bagi memudarkan kebenaran esensial.

Seolah-olah ada otoritas baru dalam membangun narasi tentang estetika, etika dan logika. Kegamangan yang hadir pada ruang publik menimbulkan pendangkalan secara massif sehingga kebenaran esensial seolah memudar cenderung hilang.

Dahulu kearifan lokal mungkin dibangun dari narasi dongeng-dongeng dan cerita rakyat sebagai upaya untuk mengkomunikasi gagasan untuk melakukan harmonisasi ruang-ruang publik. Penghormatan kepada manusia, pohon, hewan, gunung, laut, sungai, hewan dibungkus apik lewat dongeng dan cerita rakyat yang cukup efektif dalam membangun keteraturan sosial pada ruang publik.

Pertanyaannya adalah apakah konteks hari ini dongeng dan cerita rakyat itu masih relevan, tentu perlu dielaborasi lebih jauh. Dongeng dan cerita rakyat perlu kita sesuaikan dengan konteks kekinian yang kondisinya berbeda jauh dari masyarakat dahulu.

Perlu ada perubahan yang signifikan dalam menghadirkan percakapan ruang publik yang konstruktif dan produktif. Ilmu pengetahuan sebagai basis yang fundamental dalam percakapan konteks kekinian mesti mengisi percakapan ruang publik diberbagai kanal.

Ilmu pengetahuan yang hadir pada ruang-ruang kelas dan bangunan megahnya harus keluar dari sekat-sekat yang sesak. Para intelektual sudah seharusnya mempunyai kesadaran bahwa ada tanggungjawab sosial yang melekat dalam setiap ilmu yang diperoleh.

Ilmu pengetahuan sebaiknya tidak ikut terjebak pada kapitalisasi yang menghitung setiap jumlah jam waktu pengajaran dengan sejumlah uang. Ilmu pengetahuan tidak menjadi hijab bagi ruang-ruang publik agar ruang-ruang simulasi kebenaran menemukan kebenaran yang esensial.

Agar ruang-ruang media sosial juga mampu menghadirkan percakapan yang produktif bagi kemanfaatan khalayak ramai. Intelektual berkesadaran sudah saatnya menghiasi ruang-ruang public dengan Bahasa yang sederhana dan lugas.

Pertemuan Dongeng dan Cerita rakyat (Pop Kalcer) dengan Ilmu Pengetahuan
Dongeng dan cerita rakyat yang dulu mampu membangun peradaban seyogyanya dengan ilmu pengetahuan yang sudah multi akses sudah bisa menggantikan dengan cara yang ilmiah. Jawa yang menjadi pusat penelitian vulkanologi seringkali dijelaskan dengan gamblang diberbagai kanal oleh Bagus Mulyadi seorang ilmuwan diaspora yang mengabdi pada salah satu universitas di Inggris.

Aksi-aksi nyata yang demikian sepertinya perlu diamplikasi dengan massif oleh para intektual yang mempunyai otoritas di bidangnya. Bukan hanya bermodalkan ijazah tetapi karya, tulisan dan narasi yang dibangun secara konsisten oleh para intelektual.

Sehingga ilmu pengetahuan bisa berdiri secara apa adanya memberikan fakta kebenaran yang esensial. Ilmu pengetahuan mampu menemukan jalannya sendiri tanpa intervensi kuasa modal maupun kuasa regulasi. Ilmu pengetahuan mampu meneropong setiap kehadiran pop kalcer baik dalam bentuk dongeng, cerita rakyat, maupun fenomena sosial lainnya.

Pada akhirnya, dongeng dan cerita rakyat yang sudah menjadi pop kalcer mampu dilengkapi dengan ilmu pengetahuan. Pertemuan keduanya alangkah apiknya mampu disalurkan ke kanal-kanal pop kalcer untuk menghadirkan percakapan yang konstruktif dan punya kebermanfaatan bagi peradadaban. Semoga!


(miq/miq)