Jejak Pahlawan: Dari Padang Pasir Persia Hingga Kontroversi Soeharto
Setiap kata menyimpan alam semesta makna dan perjalanan sebuah kata adalah jejak peradaban itu sendiri. Di balik sebutan "pahlawan" yang kita ucapkan dengan penuh hormat, tersembunyi riwayat panjang yang bermula dari para kesatria di padang pasir Persia, jauh sebelum ia mendarat di nusantara dan menjadi gelar bagi para pejuang kemerdekaan.
Pepatah Latin kuno berkata Et veritas liberabit vos, artinya "Dan kebenaran akan membebaskan kita". Kini, ketika gelar itu kembali memanas dalam perdebatan tentang sosok Soeharto, memahami asal-usul kata ini justru menjadi kunci untuk membedah kontroversi yang tak kunjung padam.
Jejak Lingustik Sang Kesatria
Kata "pahlawan" bukanlah produk lokal, melainkan seorang pendatang gagah yang tiba dengan membawa semangat para kesatria Persia kuno. Jejaknya bermula dari Parthava, sebutan untuk para prajurit tangguh di kekaisaran Parthia, yang kemudian mengkristal dalam bahasa Persia menjadi pahlawān.
Pahlawān adalah sebuah gelar yang melekat pada para kesatria, juara, dan orang-orang yang gagah berani. Mereka adalah para pahlavan dalam wiracarita Shahnameh, karya agung Ferdowsi, yang menggetarkan hati dengan kisah keberanian dan pengorbanan.
Melalui jalur sutera budaya dan perdagangan Islam, kata ini berlayar ke nusantara, diserap menjadi "pehlawan" dan akhirnya "pahlawan" yang kita kenal sekarang. Ia bukan sekadar kata, melainkan konsep yang dibungkus mitos keprajuritan. Fortes fortuna adiuvat, keberanianlah yang ditolong oleh takdir. Inilah esensi pertama sang pahlawan: seorang yang perkasa di medan laga.
Namun, ada teori lain yang menggoda, sebuah etimologi rakyat yang puitis tapi menyesatkan. Beredar anggapan bahwa "pahlawan" berasal dari bahasa Sanskerta phalavān, gabungan dari phala (buah, hasil) dan -vān (yang memiliki). Secara harfiah, ia adalah "orang yang berbuah", seseorang yang menghasilkan karya dan jasa besar. Logika ini terdengar sempurna; bukankah pahlawan memang diharapkan membuahkan kebaikan bagi bangsanya?
Namun, linguistik adalah ilmu yang keras kepala terhadap bukti. Para ahli dengan tegas menyatakan bahwa jalur Sanskerta ini lemah. Bahasa Persia telah memberikan kata yang siap pakai dengan makna yang persis, sementara bahasa Sanskerta sudah memiliki kata lain untuk pahlawan, seperti wira (dalam "perwira") dan sura.
Teori phalavān adalah contoh sempurna dari folk etymology, saat logika kita tergoda oleh kesesuaian makna yang indah, meski jejak historisnya kabur. Habent sua fata verba, kata-kata punya takdirnya sendiri. Dan takdir "pahlawan" lebih kuat tertambat pada para jawara Persia daripada pada metafora botanis Sanskerta.
Lalu, bagaimana kedua lapisan makna ini, "kesatria" dan "yang berbuah", berdialog dalam konteks Indonesia? Peringatan Hari Pahlawan setiap 10 November adalah panggung tempat dialog ini bergema.
Pahlawan nasional kita tidak hanya dikenang karena keberanian fisik mereka melawan penjajah, tetapi juga karena "buah" yang mereka hasilkan: kemerdekaan, dasar negara, persatuan. Mereka adalah Bung Tomo yang mengobarkan semangat Res Publica, kepentingan umum, di Surabaya, dan Soekarno-Hatta yang memetik buah kemerdekaan setelah berabad-abad perjuangan.
Di sini, makna Persia dan "semu" Sanskerta berpadu secara harmonis. Sang kesatria harus menghasilkan buah kebaikan kolektif. Salus populi suprema lex esto, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Inilah standar ganda yang tanpa sadar kita junjung.
Soeharto dan Bobot Dua Makna
Ini jugalah yang membawa kita pada pusaran debat yang tak pernah usai: pantaskah Soeharto, Presiden kedua Indonesia yang memimpin selama 32 tahun, menyandang gelar Pahlawan Nasional?
Dari kacamata "pahlawan" sebagai sang kesatria (pahlawān), pendukungnya akan menunjuk jasanya yang tak terbantah. Sebagai perwira militer, Soeharto terlibat dalam perjuangan fisik merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Dia adalah sang "jenderal pelaku" di balik operasi serangan umum 1 Maret 1949, sebuah manuver militer yang menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia masih berdaulat. Dalam narasi ini, dia adalah seorang pahlavan yang lihai di medan perang.
Di sisi lain, dari sudut "pahlawan" sebagai yang berbuah (phalavān), para pendukungnya akan menyoroti pembangunan ekonomi yang pesat di era Orde Baru: swasembada pangan, infrastruktur yang terbentang, dan stabilitas yang dijanjikan. Mereka melihatnya sebagai pemimpin yang menghasilkan "buah" stabilitas dan pertumbuhan.
Namun, corruptio optimi pessimal, hal terbaik yang rusak akan menjadi yang terburuk. Di seberang setiap jasa, terhampar bayangan kelam kontroversi. Tuduhan pelanggaran HAM berat, seperti peristiwa 1965-1966, Tragedi Tanjung Priok, dan penembakan misterius (petrus) adalah noda yang tak terhapuskan pada jubah kesatriaannya.
Demikian pula, "buah" pembangunan ekonominya ternyata pahit: korupsi yang masif, nepotisme yang merajalela (KKN), dan kesenjangan sosial yang lebar. Kekuasaannya yang sentralistik dan represif memangkas hak-hak sipil dan kebebasan berpendapat.
Ia digulingkan tahun 1998 bukan karena kalah perang, melainkan karena kehilangan kepercayaan rakyatnya sendiri. Apakah seorang yang dianggap bertanggung jawab atas penderitaan rakyatnya pantas disebut "penyelamat rakyat"?
Pertanyaannya kemudian bukanlah "apakah Soeharto memiliki jasa?", melainkan "apakah keseluruhan warisan dan tindakannya sejalan dengan esensi tertinggi dari kata 'pahlawan'?" Gelar pahlawan nasional bukan sekadar penghitungan matematis jasa versus dosa.
Ia adalah simbol moral, sebuah piagam yang menegaskan bahwa seorang individu mewujudkan nilai-nilai luhur terbaik bangsa: keberanian, keadilan, integritas, dan pengabdian tanpa cacat bagi pro bono publico, untuk kebaikan bersama.
Dalam kasus Soeharto, kontroversi yang masih membara dan luka sejarah yang belum sembuh membuat konsensus nasional untuk menganugerahinya gelar tersebut mustahil tercapai. Memberikannya gelar pahlawan justru berisiko mengaburkan makna suci kata "pahlawan" itu sendiri dan mengingkari pengalaman korban.
Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto sejatinya bukan hanya soal penghargaan, tapi juga soal pengampunan sejarah. Sebagian orang mungkin ingin menutup luka dengan cara memberi gelar; sebagian lain justru ingin meneguhkan ingatan agar luka tak terulang.
Pahlawan di Zaman Kini
Pada akhirnya, perdebatan tentang Soeharto adalah cermin dari pergulatan kita sendiri sebagai bangsa dalam mendefinisikan "kepahlawanan" di era modern. Apakah kita memilih definisi yang sempit sebagai kesatria penakluk, atau yang lebih holistik sebagai seorang yang tidak hanya berani dan berjasa, tetapi juga berintegritas, adil, dan menghormati martabat kemanusiaan?
Hari ini, ketika kita memperingati Hari Pahlawan, wajah-wajah baru muncul di layar digital: dokter yang berjuang di masa pandemi Covid-19, guru di pelosok desa, aktivis lingkungan yang membela hutan, dan relawan yang menolong korban bencana.
Mereka tidak mengangkat senjata, tapi menanam buah dalam bentuk pengabdian. Mereka mungkin tidak dikenal sejarah, tetapi mereka memenuhi makna sejati phalavān, menghasilkan sesuatu yang baik bagi kehidupan.
Dalam dunia yang semakin bising oleh klaim dan gelar, mungkin kita perlu kembali pada akar kata itu: pahlawan bukanlah soal siapa yang diberi penghargaan, tapi siapa yang menghasilkan kebaikan. Atau dalam kata Latin yang sederhana: acta, non verba, "tindakan, bukan kata-kata."
Kata "pahlawan" telah menempuh perjalanan ribuan tahun, menyempurnakan maknanya. Kini, di pundak kitalah tugas untuk tidak memperjualbelikannya dengan murah. Sebab, sic transit gloria mundi, demikianlah berlalunya kejayaan dunia. Namun, kejayaan sejati seorang pahlawan bukan pada gelarnya, melainkan pada kebenaran yang ia perjuangkan dan keadilan yang ia tinggalkan untuk generasi mendatang.
(miq/miq)