Empat Tahun ke Depan: Kedaulatan Energi yang Berkeadilan

Feiral Rizky Batubara CNBC Indonesia
Senin, 20/10/2025 15:14 WIB
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara merupakan pemerhati kebijakan publik dan praktisi ketahanan energi. Feiral telah lama berkiprah dalam perumusan kebija... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi SUTET. (Dokumentasi PLN)

Pemerintah telah memasuki fase penting dalam agenda energi nasional. Dalam satu tahun kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, arah politik energi Indonesia mulai terlihat dengan jelas.


Fokus pembahasan bukan lagi sekadar soal membangun pembangkit listrik, tetapi soal bagaimana energi menjadi simbol kedaulatan ekonomi dan keadilan sosial. Saat ini, empat tahun ke depan adalah masa penentu yang tidak hanya berkisar pada pencapaian angka saja, tetapi menetapkan pijakan baru bagi cara kita mengelola, membagikan dan memaknai energi.

Kedaulatan energi tidak hanya berarti "kita menguasai sumber daya alam". Di era transisi energi, kedaulatan berarti kita mengendalikan seluruh rantai nilai mulai dari eksplorasi, teknologi, industri, pembiayaan, hingga distribusi.

Tanpa penguasaan teknologi panel surya, baterai penyimpanan, jaringan pintar, dan kapasitas manufaktur dalam negeri, posisi kita tetap rentan dan bisa berisiko menjadi penonton dalam peralihan global menuju energi bersih.

Regulasi sudah membuka jalan untuk mengimplementasi kebijakan di antaranya melalui Undang‑Undang Nomor 30 Tahun2007 tentang Energi yang menetapkan bahwa penyediaan energi baru dan terbarukan dilaksanakan sesuai kewenangan pemerintah pusat dan daerah.

Lebih jauh lagi, Undang‑Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 yang mengatur kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral dan batubara sebelum ekspor sebagai bagian dari upaya nilai tambah nasional.

Perspektif kebijakan Indonesia kini tercermin dalam dokumen seperti Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025‑2034 yang menunjukkan bahwa sekitar 76 persen dari tambahan kapasitas listrik hingga 2034 akan bersumber dari energi baru terbarukan.

Porsi terbesar menjadi energi surya dengan 17,1 GW dari total penambahan sekitar 69,5 GW. Sumber energi terbarukan potensial lainnya berdasarkan potensi setelah surya adalah tenaga air, angin, dan panas bumi.

Bahkan, energi nuklir mulai diperhitungkan sebesar 0,5 GW, sebuah langkah yang dulu sulit dibayangkan. Angka-angka ini bukan hanya statistik teknis, melainkan simbol pergeseran kekuasaan energi dari fosil menuju sumber yang bersih dan terbarukan. Ini bukan sekadar angka teknis, melainkan pertanda bahwa kekuasaan energi sedang bergeser dari fosil ke terbarukan.

Namun, tantangan utama bukan hanya soal membangun pembangkit baru, melainkan soal siapa yang mengelola dan mengambil manfaat dari sistem tersebut. Jika panel surya dan baterai masih diimpor, maka independensi kita tetap rapuh.

Bila rantai pasok dibangun di luar negeri, maka kita hanya menikmati lampu yang menyala, bukan nilai industri. Maka dalam empat tahun ke depan, fokus kebijakan harus bergeser dari yang semula berorientasi pemenuhan kuantitas ke penguasaan industri dalam negeri, dari listrik yang menyala ke listrik yang memberdayakan.

Indonesia memiliki modal besar sebagai produsen nikel terbesar dunia, negara kita menjadi titik strategis dalam rantai pasok global baterai dan sistem penyimpanan energi. Laporan oleh International Energy Agency (IEA) mencatat lonjakan permintaan terhadap litium, nikel, kobalt dan grafit yang merupakan bahan baku utama baterai. Namun, posisi tawar juga menghadirkan risiko geopolitik jika industri nasional gagal dikelola dengan strategi jangka panjang.

Di sisi sosial, transisi energi harus menjawab pertanyaan keadilan. Akses listrik murah dan energi bersih harus dinikmati seluruh warga, di Sabang hingga Merauke, bukan hanya wilayah pusat industri. Model-model energi berbasis komunitas seperti solar komunitas di Nusa Tenggara dan PLTMH di pedalaman Kalimantan menunjukkan bagaimana masyarakat lokal dapat menjadi bagian aktif dari solusi, bukan objek.

Sementara itu, ribuan pekerja di sektor batu bara, migas atau PLTU menghadapi disrupsi signifikan, tanpa skema transisi yang jelas mereka berisiko tertinggal. Transisi yang adil artinya tidak ada yang tertinggal ketika energi kita berubah.

Distribusi manfaat juga harus merata secara spasial. Infrastruktur transmisi sepanjang 47.758 km dan gardu induk 107,950 MVA dalam RUPTL adalah langkah penting, namun pemerataan tarif, kepemilikan lokal, dan akses investasi di daerah penghasil harus menjadi bagian kebijakan utama. Bila tidak, maka pembangunan hanya menjadi pusat-penghasil, tanpa transformasi ekonomi di wilayah terdampak lama.

Dalam ranah industri dan kebijakan, regulasi baru menghimpun landasan kebijakan strategis. Misalnya, peraturan yang memprioritaskan koperasi, usaha kecil dan menengah, bahkan organisasi kemasyarakatan keagamaan dalam pemberian izin usaha pertambangan sebagaimana diatur dalam Undang‑Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 4 Tahun 2009. Ini menunjukkan arah pemerintah untuk mengubah paradigma: bukan sekadar ekspor komoditas, melainkan manfaat untuk rakyat dan daerah.

Selain itu, kebijakan subsidi energi harus direorientasi. Alih-alih terus membayar subsidi konsumtif yang lebih banyak dinikmati kelompok menengah ke atas, dana publik harus difokuskan pada investasi sosial energi yang dapat membuka akses energi bersih di daerah terpencil, mendanai koperasi energi desa, serta memperkuat riset dan inovasi teknologi lokal. Kebijakan seperti ini bukan hanya soal efisiensi anggaran tetapi soal keadilan generasi.

Mengingat momentum tersebut, pemerintah perlu menyusun Grand Strategy Energi Nasional yang menyatukan RUPTL, kebijakan mineral kritis, hilirisasi industri, dan pengembangan EBT dalam satu kerangka besar. Koordinasi lintas kementerian mulai dari Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pendidikan menjadi mutlak agar kebijakan energi selaras dengan pembangunan manusia dan kemandirian industri.

Empat tahun ke depan adalah masa krusial. Setiap keputusan yang diambil hari ini akan menentukan posisi Indonesia dalam peta dunia energi. Apakah kita hanya akan menjadi penonton di pinggir panggung atau aktor utama yang menggerakkan perubahan? Kedaulatan memberi kita kekuatan untuk berdiri di atas kaki sendiri, keadilan memastikan bahwa seluruh rakyat ikut berdiri bersama.


(miq/miq)