Memantik Pertumbuhan Ekonomi dengan Penempatan Dana Pemerintah di Bank

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melakukan gebrakan pada pekan pertama setelah dilantik dengan menempatkan uang kas yang dimiliki oleh Kementerian Keuangan sebesar Rp 200 triliun keluar dari Bank Indonesia. Bank yang disasar adalah empat bank umum dan bank umum syariah dengan skema penempatan adalah deposit on call, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 276 tahun 2025.
Hal ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan ekonom terkait kebijakan yang diambil. Di kalangan ekonom yang mendukung, pendapat yang mengemuka adalah penambahan likuiditas akan menurunkan biaya pinjaman dan akan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Sementara di kalangan yang berseberangan, penempatan uang ini dikhawatirkan akan menimbulkan peningkatan kredit macet di perbankan.
Penempatan dana ini dilatarbelakangi oleh tersendatnya penyerapan anggaran karena efisiensi anggaran di awal tahun, sementara setoran pajak masih terus mengalir ke kas negara.
Menumpuknya uang di rekening kas negara menjadi masalah saat perekonomian terasa stagnan dan unjuk rasa di mana-mana yang memuncak di akhir bulan Agustus 2025. Diharapkan multiplier effect dari penempatan dana untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari 5,12 persen (yoy) pada kuartal II tahun ini.
Latar belakang
Kas yang dimiliki oleh pemerintah pusat berasal dari berbagai penerimaan dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Dari berbagai sumber penerimaan negara, uang tersebut bermuara ke Rekening Kas Umum Negara yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan.
Sebelum uang tersebut dipergunakan untuk membiayai tagihan yang masuk melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) di seluruh Indonesia, kas yang dimiliki tersebut dioptimalkan melalui penempatan jangka pendek di Bank Indonesia maupun bank umum.
Surplus uang kas yang dimiliki pemerintah dapat dikategorikan ke dalam dua kategori, yaitu Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) dan Saldo Anggaran Lebih (SAL). SiLPA merupakan surplus dalam periode bulanan dan langsung dapat dipergunakan pada bulan selanjutnya.
Sementara SAL merupakan surplus dalam periode satu tahun anggaran dan untuk dapat menggunakannya, pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan harus meminta ijin kepada DPR. Selain itu, SAL dapat juga dipinjam oleh pemerintah untuk menutup kekurangan kas pada bulan-bulan dalam tahun berjalan jika penerimaan lebih kecil dari pada pengeluaran. Peminjaman dana dari SAL dapat dilakukan sampai dua bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Kelebihan kas yang dimiliki oleh pemerintah disimpan di rekening kas umum negara tersebut mempunyai biaya yang harus ditanggung (cost of fund). Sebagai asumsi, jika seluruh penerimaan pajak yang diterima oleh pemerintah dipakai terlebih dahulu untuk membayar seluruh tagihan, yang tersisa di rekening kas umum negara adalah uang yang berasal dari penerbitan pinjaman. Oleh karena itu, pemerintah mengusahakan agar surplus kas tersebut diberikan remunerasi oleh Bank Indonesia.
Sebelum tahun 2009, surplus kas yang dimiliki oleh pemerintah tersebut tidak mendapat remunerasi dari Bank Indonesia. Setelah pemerintah berhasil menerapkan Treasury Single Account (TSA), Bank Indonesia mulai memberikan remunerasi atas surplus kas tersebut.
Awalnya, remunerasi yang diberikan sebesar 65% dari BI Rate (12 bulan) sesuai nota kesepakatan antara Kemenkeu dan BI. Seiring dengan berubahnya suku bunga acuan dari tenor 12 bulan menjadi Reverse Repo Rate tenor 7 hari (7-days RR) di tahun 2016, maka remunerasi yang diperoleh pemerintah berubah menjadi 80,476 persen dari 7-days RR (BI Rate saat ini).
Kebijakan penempatan uang negara di bank umum sebelumnya pernah dilakukan di tahun 2009 dan tahun 2020 sebagai dampak dari munculnya risiko perlambatan perekonomian nasional. Pada tahun 2009, tiga bank anggota Himbara menerima dana dari Kemenkeu masing-masing sebesar 5 triliun. Pilihan penempatan ke bank Himbara diambil setelah pengalaman BLBI yang bermasalah hingga banyak pejabat pengambil keputusan yang harus masuk penjara.
Sementara di tahun 2020, Kemenkeu dalam rangka pelaksanaan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) menempatkan dana sekitar Rp66 triliun pada 30-an bank mitra, yang terdiri dari bank Himbara dan BPD. Pada masa itu, pemerintah dapat menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dalam kisaran 5 persen. Bank Himbara dan BPD pada saat itu berhasil me-leverage dana yang diperoleh dari pemerintah berkali lipat sebagai kredit ke masyarakat dan dunia usaha.
Praktek selama ini
Pemberian remunerasi oleh bank sentral dan penempatan dana surplus di perbankan merupakan hal yang lazim dilakukan oleh treasury sebuah negara (di Indonesia Ditjen Perbendaharaan). Cost of fund yang harus ditanggung oleh pemerintah tidaklah murah.
Sovereign rating pemerintah Indonesia yang berada di level BBB (S&P), masuk ke dalam kategori investment grade. Hal ini membawa konsekuensi yield obligasi pemerintah 10 tahun berada di level 6,139 persen di tanggal 10 Oktober 2025, berada di atas yield obligasi 10 tahun milik pemerintah Singapura (1,853 persen) dan Malaysia (3,502 persen).
Jika diasumsikan seluruh surplus kas berasal dari penerbitan obligasi negara tenor 10 tahun, maka cost of fund yang ditanggung oleh pemerintah sebesar 2,316 persen yang berasal dari 6,139 dikurangi 80,476 persen dikali BI Rate di awal bulan Oktober 2025. Inilah yang menjadi alasan bagi pemerintah untuk selalu mendorong penyerapan anggaran pada Kementerian agar dana yang mengendap dapat segera berputar ke dalam perekonomian.
Selain menempatkan dana di rekening penempatan dana yang ada di Bank Indonesia, Ditjen Perbendaharaan selama ini telah melakukan lelang penempatan dana di pasar uang. Transaksi ini mulai berjalan sejak tahun 2016.
Dalam kerangka manajemen kas negara, tenor maksimal lelang penempatan dana adalah 3 bulan dengan penawaran yang banyak dimenangkan adalah tenor di bawah satu bulan. Penempatan uang baru dapat dilakukan di bank anggota Himbara dan belum ke bank swasta dalam rangka manajemen risiko.
Sementara mekanisme Reverse Repo yang menggunakan SBN sebagai jaminan dijalankan kepada semua bank. Bank milik pemerintah daerah dan bank swasta yang memenuhi persyaratan dapat mengikuti lelang yang biasanya dilakukan secara mingguan. Transaksi Reverse Repo biasanya menghasilkan tingkat suku bunga yang lebih rendah karena menggunakan jaminan. Lelang instrumen ini mulai ramai di tahun 2022 dengan jadwal lelang secara reguler.
Lalu bagaimanakah cara pemerintah menentukan tenor penempatan dana? Manajemen likuiditas yang menjawab pertanyaan ini. Ditjen Perbendaharaan menampung penerimaan dari berbagai sumber dan membayarkan secara tepat jumlah dan tepat waktu. Terdapat dua pendekatan yang dipergunakan.
Pendekatan yang pertama yaitu top-down analysis. Pada pendekatan ini perencanaan kas dilakukan melalui mekanisme rapat Asset and Liability Committee (ALCO) dengan Menteri Keuangan. Pada rapat bulanan tersebut, setiap eselon I diminta untuk memberikan proyeksi penerimaan dan pengeluaran sebulan ke depan.
Sementara pendekatan yang kedua adalah bottom-up analysis melalui perencanaan kas satuan kerja kementerian/lembaga. Pada pendekatan ini, setiap satuan kerja diminta untuk menyusun rencana penarikan dana dan penerimaan melalui aplikasi Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi (SAKTI).
Dampak kebijakan
Penambahan likuiditas sebesar Rp200 triliun tentu saja akan menambah likuiditas perbankan, yang bisa dilihat dari peningkatan volume likuiditas tersedia di perbankan maupun peningkatan transaksi Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Diharapkan dengan tambahan dana tersebut, suku bunga kredit perbankan diharapkan turun dan pada akhirnya akan meningkatkan permintaan kredit.
Dengan bertambahnya permintaan kredit, diharapkan pula terjadi penambahan output dalam perekonomian yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal terakhir tahun ini.
Berdasarkan konfirmasi dengan pihak bank Himbara, dana dari pemerintah diperlakukan sebagai dana dari nasabah. Dana tersebut akan menurunkan Loan to Deposit Ratio perbankan yang sempat meningkat pada awal tahun. Bank penerima dana pemerintah tidak perlu khawatir terhadap munculnya risiko likuiditas secara berlebihan karena pemerintah juga akan memperhitungkan kemampuan likuiditas perbankan saat akan menarik dana tersebut.
Terlebih lagi dana Saldo Anggaran Lebih (SAL) tahun 2024 yang tercatat Rp457 triliun hanya akan dipergunakan sebesar Rp86,5 triliun (detik.com). Besarnya SAL pada tahun 2024 disebabkan motif berjaga-jaga dari Kementerian Keuangan terkait program kerja Presiden terpilih.
Selain itu, PMK Nomor 63 tahun 2025 mengatur penempatan dana SAL sebesar Rp 16 triliun ke perbankan untuk mendukung program Koperasi Desa Merah Putih. Berdasarkan berita yang beredar, penempatan dana untuk keperluan Koperasi Desa Merah Putih ini diberikan remunerasi yang lebih rendah.
Terhadap sistem moneter, penempatan dana ini akan menimbulkan risiko yang harus dimitigasi yaitu bertambahnya jumlah uang yang beredar berimplikasi kenaikan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK). Turunnya suku bunga perbankan diperkirakan akan meningkatkan kredit yang diajukan oleh dunia usaha.
Transmisi selanjutnya permintaan barang produksi dan konsumsi akan meningkat, yang pada akhirnya akan menyebabkan kenaikan harga. Berdasarkan data dari BPS, inflasi September 2025 tercatat sebesar 2,65 persen (yoy), lebih tinggi dari bulan Agustus 2025 yang hanya 2,31 persen (yoy).
Dampak yang kedua adalah kenaikan jumlah uang yang beredar yang akan meningkatkan biaya operasi moneter BI. Selama ini BI selalu menjaga likuiditas dengan berbagai instrumennya. Setiap rupiah yang tidak terserap oleh kredit, maka bank akan menempatkan di PUAB. Jika tidak terserap oleh PUAB, selanjutnya bank akan menempatkan di depo facility yang ada di BI.
Mengantisipasi hal tersebut, BI mengambil kebijakan untuk menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis point menjadi 4,75 persen pada Rapat Deputi Gubernur bulan September 2025. Sedangkan suku bunga depo facility sebesar 50 basis point menjadi 3,75 persen. Rendahnya suku bunga depo dan lending facility berarti BI mengharapkan bank memenuhi kebutuhannya sendiri dan tidak perlu menyimpan kelebihan dana di BI.
Usulan kebijakan
Penempatan dana menganggur pemerintah membuat tingkat suku bunga menurun sebagaimana tercermin pada suku bunga IndONIA sebulan terakhir, terutama setelah BI menurunkan BI Rate. Meskipun berdampak positif, namun penempatan dana sebesar Rp200 triliun tidak dapat berjalan dalam jangka waktu lama.
Pengalaman Kementerian Keuangan dalam menempatkan dana dalam skala besar, paling lama dilakukan selama tiga tahun. SAL yang tersisa pada tahun 2024 seharusnya dapat dipergunakan untuk membiayai APBN dengan ijin DPR, terutama untuk program pemerintah yang baru diputuskan pada tahun ini. Secara ideal, saldo kas pemerintah seharusnya tidak berlebih seperti saat ini.
Pengawasan terkait penggunaan dana tersebut seharusnya melibatkan OJK sebagai pengawas perbankan yang mempunyai akses yang luas. Dari data BI, kepemilikan perbankan di instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) pada bulan September 2025 mengalami peningkatan di saat jumlah total SRBI mengalami penurunan.
Semoga bank yang melakukan penambahan kepemilikan bukan dari bank penerima penempatan uang pemerintah. Potensi fraud dapat dilakukan dengan cara secara tidak langsung. Uang dari pemerintah disalurkan ke kredit masyarakat, sementara uang nasabah dipergunakan untuk membeli SRBI.
Pengawasan terhadap penempatan dana pemerintah di lima bank harusnya diperketat dengan menerapkan target penyaluran kepada sektor-sektor yang produktif dalam mendukung perekonomian nasional. Pertumbuhan ekonomi kuartal II tahun 2025 harus dipacu tumbuh lebih tinggi lagi untuk menciptakan peluang kerja untuk angkatan kerja kita.
Sektor ekonomi utama yang menyokong perekonomian seperti Industri pengolahan, Pertanian, Perdagangan, Konstruksi, dan Pertambangan harus diutamakan dalam penyaluran. Sektor pertanian yang berkontribusi 13,83 persen ternyata masih perlu dukungan dari perbankan karena tumbuh sebesar 1,65 persen selama kuartal kedua tahun ini.
Diharapkan dengan pengalokasian kredit ke sektor-sektor utama, pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen yang dicita-citakan oleh Presiden Prabowo bukanlah sebuah hal yang mustahil.
(miq/miq)