APBN 2026 Ala 'Sumitronomics' dan Perlindungan Sosial Kelas Menengah

Nicholas Martua Siagian, CNBC Indonesia
10 October 2025 17:37
Nicholas Martua Siagian
Nicholas Martua Siagian
Nicholas Martua Siagian mendalami keilmuan di bidang Hukum Administrasi Negara, Keuangan Negara, Pencegahan Korupsi, Inovasi, dan Perbaikan Sistem. Nicholas merupakan salah seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menerima penghar.. Selengkapnya
Pekerja memakai masker saat beraktivitas di Pedestrian Kawasan Bundaran HI, Jalan Sudirman-Thamrin, Jakarta, Kamis (7/12/2023). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Potret pekerja di kawasan Bundaran HI, Jalan Sudirman-Thamrin, Jakarta, beberapa waktu lalu. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Tahun 2025 menjadi catatan penting dalam perjalanan sosial-ekonomi Indonesia. Hampir seluruh lapisan masyarakat merasakan tantangan yang tidak ringan, mulai dari pengambil kebijakan hingga pekerja lapangan, dari ruang istana hingga sudut-sudut jalanan.

Dinamika sosial-ekonomi seakan hadir dalam setiap berita harian, membentuk narasi kolektif tentang rapuhnya keseimbangan hidup warga negara. Namun, jika ada kelompok yang kerap menanggung beban dalam diam, yang banyak menahan resah tetapi jarang mendapat ruang untuk didengar, maka itu adalah generasi muda hingga kelas menengah kita.

Ketika data menjadi jendela awal untuk memahami kompleksitas, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2025 mencatat angka pengangguran sebesar 7,28 juta orang, atau sekitar 4,76% dari total angkatan kerja. Secara persentase, capaian ini menunjukkan tren perbaikan dibanding tahun sebelumnya.

Namun demikian, jumlah secara nominal masih menunjukkan peningkatan. Hal ini memberi pesan penting: perbaikan indikator makro perlu terus diiringi dengan penguatan kesejahteraan mikro. Lebih jauh, tantangan ke depan adalah memastikan lapangan kerja yang tercipta bukan hanya sekadar tersedia, tetapi juga stabil, layak, dan produktif-sehingga benar-benar mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Ambil contoh kasus yang baru-baru ini mencuat: Job Fair Bekasi Pasti Kerja Expo yang dipadati oleh 25.000 pencari kerja. Dalam kerumunan itu, kita menyaksikan lebih dari sekadar antrean panjang dan ribuan CV. Kita menyaksikan harapan yang ditumpuk, kecemasan yang disembunyikan, dan keringat yang menjadi simbol ketidakpastian.

Jakarta, sebagaimana disebut Harian Kompas edisi 22 Juni 2025, memang menjadi 'gula-gula' yang menggoda, namun manisnya hanya untuk segelintir. Sementara ribuan lainnya harus rela menggigit pahitnya realitas: biaya hidup tinggi, lapangan kerja sempit, dan tekanan sosial yang tiada henti.

Kelas Menengah
Statistik BPS menunjukkan bahwa mayoritas kelas menengah Indonesia adalah orang muda: Generasi Milenial (24,60%), Gen Z (24,12%), dan Gen Alpha (12,77%). Namun pertanyaan pentingnya: apakah menjadi bagian dari kelas menengah berarti aman dari guncangan ekonomi? Jawabannya, jelas tidak.

Sebaliknya, kelompok ini justru paling rentan. Mereka tidak miskin secara 'administratif,' tetapi secara struktural sangat rapuh. Mereka sering disebut sebagai sandwich generation, harus menghidupi diri sendiri, membiayai orang tua, dan mulai menyiapkan masa depan anak-anak.

Orang muda kini hidup dalam logika 'survival mode.' Jangankan menabung atau investasi, bertahan hidup saja sudah menjadi perjuangan. Gaji dipakai untuk biaya kos, transportasi, makan, tagihan, dan jika sempat-biaya eksistensi sosial agar tak tersisih dari lingkaran komunitas.

Jika ada sisa, itu pun mungkin hanya cukup untuk membeli diskon. Maka, seperti yang pernah ditulis Chatib Basri dalam opininya di Harian Kompas, 24/7/2024 bahwa: "Instrumen perlindungan sosial dan lapangan kerja kelas menengah memang perlu dipikirkan.

Mereka tak tergolong miskin, namun guncangan ekonomi dapat mengantar mereka pada kemiskinan. Hidup kelas menengah memang tak mudah. Ia butuh keterampilan untuk menganggap 'diskon' sebagai bentuk kekayaan dan 'belanja hemat' sebagai prestasi."

Jeritan orang muda bukan hanya akibat dari dinamika ekonomi global. Ada persoalan mendalam dalam desain struktural kebijakan kita. Pendidikan tinggi belum selaras dengan kebutuhan industri. Lulusan sarjana membanjiri pasar kerja tanpa keterampilan yang sesuai dengan permintaan. Sementara itu, sektor informal menjadi penampung terbesar, tapi tanpa perlindungan dan kejelasan masa depan.

Di sisi lain, instabilitas ketenagakerjaan juga diperparah oleh gelombang PHK di sektor teknologi, manufaktur, dan ritel. Banyak orang muda yang sebelumnya merasa sudah 'mapan' justru harus kembali ke titik nol. Ini bukan sekadar kehilangan pekerjaan, tetapi juga kehilangan arah hidup. Sense of security yang selama ini dipinjam dari gaji bulanan tiba-tiba lenyap, meninggalkan kegelisahan eksistensial.

Memperhatikan
Dalam tulisan saya sebelumnya di Harian Kompas edisi 12 Maret 2025 berjudul "Tingginya Animo Menjadi ASN dan Beban Berat Birokrasi", saya menggarisbawahi bagaimana meningkatnya ketergantungan pada formasi ASN menjadi cerminan ketidakmampuan sektor swasta menciptakan pekerjaan yang aman dan menjanjikan.

Pemerintah seakan menjadi satu-satunya harapan. Namun membuka formasi ASN besar-besaran jelas bukan solusi. Anggaran negara akan tergerus untuk membayar gaji birokrat, bukan untuk belanja pembangunan atau subsidi produktif.

Jika lapangan kerja publik menjadi pelarian, maka kita sedang menyaksikan distorsi ekonomi yang kronis. Idealnya, peran negara adalah sebagai enabler-penyedia infrastruktur, penguat pasar tenaga kerja, bukan sebagai satu-satunya penyerap tenaga kerja. Kita butuh kebijakan yang mampu menumbuhkan sektor produktif, memberdayakan UMKM, dan menstimulus industri kreatif, serta ekonomi yang memberi ruang bagi kreativitas orang muda.

Pemerintah harus segera meninggalkan pendekatan kebijakan yang sekadar bersifat populistik, dan mulai membangun kebijakan struktural yang adil dan futuristik. Beberapa langkah penting yang perlu diprioritaskan: reformasi sistem pendidikan dan ketenagakerjaan, perlindungan sosial untuk kelas menengah, pengembangan ekosistem ekonomi baru, desentralisasi akses dan informasi pekerjaan.

Jika orang muda hari ini hanya dibekali dengan semangat tanpa sistem pendukung yang memadai, maka mereka akan tetap terjebak dalam siklus survival mode yang panjang. Mereka bukan hanya akan kehilangan harapan, tetapi juga kehilangan kemampuan untuk berkontribusi bagi negara. Dan jika kita gagal menyelamatkan orang muda hari ini, maka kita sesungguhnya sedang gagal menyelamatkan masa depan republik ini.

Sudah saatnya kebijakan negara berpihak, bukan hanya hadir. Bukan lagi saatnya membahas angka kemiskinan dengan indikator administratif, tetapi dengan realitas kehidupan yang semakin brutal dan menuntut respons yang cerdas. Jangan sampai orang muda kita mengalami fenomena "mati segan, hidup tak mau," akibat persoalan sistemik yang semakin lama semakin parah dan tidak pernah benar-benar dibenahi.

APBN 2026
Secara teknokratik, struktur APBN 2026 memperlihatkan upaya pemerintah dalam menjaga keseimbangan antara ekspansi fiskal dan disiplin anggaran. Belanja negara ditetapkan sebesar Rp3.842,7 triliun dengan proyeksi pendapatan Rp3.153,6 triliun, sehingga menghasilkan defisit 2,68% PDB.

Angka defisit ini relatif moderat dan masih dalam batas aman sesuai ketentuan Undang-Undang Keuangan Negara yang membatasi defisit maksimal 3%. Hal ini menunjukkan kehati-hatian fiskal pemerintah di tengah kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin besar, sekaligus menegaskan komitmen terhadap keberlanjutan fiskal jangka menengah.

Dari sisi makro ekonomi, target pertumbuhan ekonomi 5,4% pada 2026 diproyeksikan didukung oleh pengendalian inflasi di level 2,5%, stabilisasi suku bunga SBN sekitar 6,9%, dan nilai tukar yang dijaga di kisaran Rp16.500 per dolar AS.

Strategi ini mencerminkan kebijakan makroprudensial yang berimbang: mendorong pertumbuhan melalui instrumen fiskal, tetapi tetap menjaga stabilitas moneter dan sektor keuangan. Kondisi makro yang stabil ini diharapkan mampu menciptakan iklim investasi yang kondusif dan memperkuat daya saing perekonomian nasional.

Secara sektoral, alokasi anggaran diarahkan untuk mendukung delapan agenda prioritas pembangunan. Besaran alokasi anggaran, seperti Rp164,7 triliun untuk ketahanan pangan, Rp402,4 triliun untuk energi, Rp335 triliun untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG), Rp769,1 triliun untuk pendidikan, Rp244 triliun untuk kesehatan, serta Rp508,2 triliun untuk perlindungan sosial, memperlihatkan fokus pemerintah dalam menjawab kebutuhan mendasar masyarakat sekaligus mengantisipasi tantangan global.

Penguatan sektor-sektor strategis ini diharapkan mampu meningkatkan produktivitas nasional, memperkuat kualitas SDM, serta memperluas jangkauan jaring pengaman sosial.

Tepat Sasaran
Sebagai contoh, program Magang Hub Kemnaker yang dibuka untuk lulusan baru D3, D4, S1, serta penerima beasiswa LPDP dan berbagai skema pendidikan lainnya memang menunjukkan upaya konkret dalam menjembatani dunia pendidikan dan dunia kerja.

Namun pertanyaan kuncinya adalah: apakah program ini dirancang berbasis peta kebutuhan industri dan proyeksi sektor unggulan nasional? Apakah memiliki indikator keberhasilan yang jelas, termasuk konversi magang menjadi penempatan kerja, pengembangan skill strategis, serta kontribusinya terhadap penguatan kelas menengah produktif?

Tanpa kerangka kerja yang kuat dan indikator kinerja utama (KPI) yang terukur, program semacam ini berisiko menjadi sekadar formalitas birokratis yang menghabiskan anggaran tanpa memberikan multiplier effect yang nyata.

Sebagaimana pengalaman saya pribadi ketika mengkaji berbagai kebijakan Proyek Strategis Nasional (PSN) era sebelumnya, bahwa tantangan struktural dalam pelaksanaan APBN bukan hanya tentang distribusi anggaran, tetapi juga tentang kualitas kelembagaan, integritas birokrasi, dan kapasitas tata kelola.

Banyak program populis yang digagas dengan niat baik, namun tanpa mekanisme umpan balik yang kuat, desain berbasis data, dan pengawasan partisipatif, maka efektivitasnya sering kali tidak sejalan dengan ekspektasi. Termasuk dalam hal ini adalah perlindungan sosial yang kerap dipandang semata sebagai program subsidi, alih-alih sebagai instrumen pemberdayaan untuk menciptakan kelas menengah yang tangguh dan mandiri. (Nicholas Martua Siagian, Kompas.com, 29/4/2025)

Tantangan terbesar bukan sekadar pada alokasi anggaran, melainkan pada implementasi yang efektif. Setiap kebijakan tidak boleh berhenti pada tahap desain yang populis atau sekadar diumumkan (sent), tetapi harus benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat (delivered).

Perlindungan sosial tidak hanya ditujukan pada kelompok miskin dan rentan, tetapi juga perlu menyasar kelas menengah yang menjadi motor konsumsi dan penopang stabilitas ekonomi domestik. Dengan demikian, konsistensi antara perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan menjadi faktor kunci keberhasilan APBN 2026 sebagai instrumen pembangunan nasional.

Lebih jauh, arah pembangunan ekonomi dalam APBN 2026 dikaitkan dengan konsep Sumitronomics yang menekankan tiga pilar utama: pertumbuhan ekonomi tinggi, pemerataan manfaat pembangunan, serta stabilitas nasional yang dinamis.

Pilar pertumbuhan tinggi diwujudkan melalui akselerasi investasi dan perdagangan global, sementara pemerataan diwujudkan lewat program perlindungan sosial, penguatan UMKM, dan pembangunan desa-koperasi.

Adapun stabilitas nasional yang dinamis ditopang oleh pembangunan sektor pertahanan semesta dan ketahanan energi. Dengan demikian, APBN 2026 bukan hanya instrumen fiskal, tetapi juga kerangka besar untuk mengawal transformasi struktural perekonomian Indonesia.

Kelas Menengah yang Kokoh
Sebagaimana pernah dipaparkan oleh Bambang Brodjonegoro, mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, salah satu prasyarat utama agar Indonesia dapat bertransformasi menjadi negara maju adalah dengan memastikan dominasi struktur demografisnya diisi oleh kelompok kelas menengah yang kuat-bukan hanya secara kuantitas, tetapi juga secara kualitas.

Kelas menengah diharapkan menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional melalui daya beli yang stabil, pola konsumsi yang produktif, serta partisipasi aktif dalam pembangunan. Namun, cita-cita itu agaknya semakin menjauh jika kita jujur menatap realita hari ini.

Alih-alih menjadi penggerak kemajuan, kelas menengah justru semakin banyak yang terjebak dalam kemiskinan struktural yaitu suatu kondisi di mana individu tidak secara formal tercatat sebagai miskin, tetapi tidak memiliki cukup sumber daya, akses, dan peluang untuk meningkatkan kualitas hidupnya secara berkelanjutan.

Mereka hidup dalam ilusi kesejahteraan, namun di baliknya tersembunyi beban pengeluaran tinggi, ketidakpastian pekerjaan, hingga tekanan sosial yang menggerus daya tahan mental.

Refleksi ini membawa kita pada kesimpulan bahwa transformasi menuju negara maju tidak akan pernah terwujud jika kelas menengahnya dibiarkan rapuh, tanpa perlindungan, dan tanpa ruang untuk tumbuh. Maka, satu-satunya jalan yang realistis dan bermartabat adalah melalui kehadiran negara yang adil, aktif, dan inklusif dalam menyelamatkan serta memperkuat kelompok ini.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation