Magang Berbayar dan Transformasi Kurikulum Perguruan Tinggi

Ony Jamhari CNBC Indonesia
Rabu, 08/10/2025 13:03 WIB
Ony Jamhari
Ony Jamhari
Ony Jamhari adalah seorang pendidik dan juga EduGreenpreneur. Saat ini Ony bekerja sebagai Country Director Woosong University, Daejeon, Kor... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi anak magang. (Istimewa)

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia semakin gencar mendorong implementasi program magang berbayar sebagai bagian dari strategi nasional untuk menurunkan angka pengangguran dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) muda.


Melalui berbagai inisiatif seperti Magang Merdeka, program magang di perusahaan BUMN, hingga kerja sama dengan pihak swasta, pemerintah berupaya memperluas kesempatan bagi mahasiswa dan lulusan baru agar memperoleh pengalaman kerja nyata yang juga dibarengi dengan kompensasi layak.

Bulan ini, pemerintah kembali meluncurkan program magang berskala besar yang ditujukan kepada 20 ribu lulusan baru, di mana mereka akan menerima bayaran selama menjalani masa magang. Lebih dari 600 perusahaan telah menyatakan kesediaannya untuk menjadi mitra dalam program ini. Ini menunjukkan adanya respons positif dari dunia industri terhadap upaya meningkatkan kesiapan kerja generasi muda.

Saya pribadi, dalam kurun waktu satu tahun terakhir, telah menjadi tuan rumah bagi lima peserta magang, baik dari kalangan mahasiswa aktif maupun fresh graduate, yang berasal dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia-baik negeri maupun swasta.

Mereka bekerja penuh waktu di kantor kami dari hari Senin sampai Jumat, pukul 08.00 hingga 17.00, dalam jangka waktu dua bulan sampai tiga bulan. Setiap peserta diberikan tanggung jawab yang jelas dan menerima kompensasi setara dengan upah minimum regional (UMR) yang berlaku.

Sebagai pihak penyedia tempat magang, saya berharap peserta tidak sekadar hadir, tetapi benar-benar terlibat dalam kegiatan operasional perusahaan. Mereka kami libatkan langsung dalam proses bisnis yang sesungguhnya. Untuk memantau dan mengevaluasi kinerja mereka, kami menerapkan sistem pelaporan mingguan, di mana setiap peserta diminta menyampaikan hasil kerja dan hambatan yang mereka alami selama satu minggu berjalan.

Proses seleksi peserta magang sendiri cukup ketat. Kami mencari individu yang sesuai dengan kebutuhan spesifik perusahaan kami, yang bergerak di bidang teknologi pendidikan. Dengan demikian, kami memprioritaskan mereka yang memiliki keterampilan digital, penguasaan bahasa asing-mengingat banyak mitra kami berasal dari luar negeri-dan kemampuan berpikir kritis serta analitis. Ini adalah soft skills yang kini semakin relevan di dunia kerja modern.

Selain aspek teknis (hard skills), kami juga mempertimbangkan rekam jejak nonakademik seperti pengalaman organisasi, kemampuan kolaboratif, serta inisiatif yang ditunjukkan selama masa studi. Elemen-elemen tersebut menjadi cerminan dari kesiapan seseorang untuk beradaptasi dan berkembang di dunia profesional.

Program magang berbayar pada dasarnya hadir untuk mengurangi kesenjangan antara dunia akademik dan kebutuhan dunia kerja. Secara ideal, ia menjawab persoalan klasik: lulusan perguruan tinggi belum siap kerja karena minim pengalaman, sementara industri mendambakan tenaga kerja yang siap pakai. Namun, sebagus apa pun program pemerintah, manfaatnya tidak akan maksimal tanpa dukungan reformasi sistem pendidikan tinggi yang lebih mendalam.

Kurikulum Masih Terjebak dalam Pola Lama
Salah satu hambatan utama dalam integrasi antara pendidikan dan dunia kerja adalah struktur kurikulum perguruan tinggi yang masih terlalu menekankan teori dan kurang memberi ruang bagi praktik nyata.

Banyak program studi masih didesain untuk menghafal konsep, bukan untuk menerapkannya dalam konteks kehidupan profesional. Akibatnya, banyak lulusan merasa canggung atau tidak siap saat memasuki dunia kerja yang menuntut keterampilan praktis, kemampuan komunikasi yang baik, serta literasi digital yang tinggi.

Kondisi ini menciptakan jurang lebar antara output pendidikan tinggi dan kebutuhan dunia industri. Tak jarang, mahasiswa memandang magang hanya sebagai formalitas administratif yang harus diselesaikan demi memenuhi syarat kelulusan, alih-alih sebagai proses pembelajaran yang penting dan strategis.

Saat Magang Hanya Jadi Kegiatan Seremonial
Ironisnya, program magang berbayar pun belum tentu efektif apabila tidak dikelola dengan sungguh-sungguh. Di sejumlah institusi, peserta magang hanya diberi pekerjaan remeh-temeh seperti mengurus dokumen atau tugas administratif yang tidak mengembangkan kapasitas mereka. Lebih parah lagi, dalam beberapa kasus, mereka diperlakukan sebagai tenaga kerja murah yang menggantikan peran staf tetap.

Masalah lainnya adalah belum terintegrasinya program magang dengan sistem akademik secara sistematis. Di banyak perguruan tinggi, magang belum menjadi bagian dari kurikulum utama yang dinilai secara akademik. Akibatnya, kegiatan ini kerap kehilangan bobot pendidikan dan hanya menjadi rutinitas yang tidak memberikan manfaat maksimal bagi peserta maupun penyelenggara.

Reformasi Kurikulum dan Sinergi dengan Dunia Usaha
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan reformasi kurikulum pendidikan tinggi yang menyeluruh dan berkelanjutan. Langkah pertama adalah merancang ulang kurikulum agar lebih berorientasi pada pengembangan kompetensi yang relevan dengan kebutuhan industri. Pendekatan pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), kerja praktik, dan magang yang terstruktur perlu menjadi bagian dari sistem pembelajaran yang sah dan diakui dalam sistem kredit akademik (SKS).

Langkah kedua adalah membangun kemitraan yang erat antara perguruan tinggi dan sektor industri. Kolaborasi ini tidak hanya sebatas mengirimkan mahasiswa ke perusahaan, melainkan juga melibatkan dunia usaha dalam proses penyusunan kurikulum, pemberian pelatihan, dan pengajaran. Dunia kampus tidak bisa berjalan sendiri tanpa menjalin komunikasi aktif dengan pihak luar yang memahami dinamika lapangan kerja.

Langkah ketiga, diperlukan sistem penilaian dan akreditasi yang ketat dan transparan untuk program magang, baik dari pemerintah maupun lembaga independen. Standardisasi ini penting untuk memastikan bahwa kegiatan magang benar-benar menjadi bagian dari proses pendidikan, bukan bentuk eksploitasi terselubung terhadap mahasiswa atau lulusan baru.

Kesimpulan: Magang Bukan Tambahan, Tapi Kebutuhan
Program magang berbayar merupakan langkah positif yang perlu diapresiasi. Ia berpotensi besar menjadi penghubung antara dunia akademik dan dunia profesional, sekaligus menjadi ajang pembelajaran praktis bagi generasi muda. Namun, keberhasilan program ini sangat ditentukan oleh kesiapan institusi pendidikan dalam menyesuaikan kurikulum serta keterbukaan terhadap kolaborasi yang bermakna dengan dunia usaha.

Tanpa adanya pembaruan kurikulum yang adaptif serta kemitraan yang saling menguatkan, magang hanya akan menjadi pelengkap yang tidak membawa perubahan signifikan. Kita membutuhkan sistem pendidikan tinggi yang tidak hanya melahirkan lulusan cerdas secara akademis, tetapi juga individu yang siap kerja, mampu beradaptasi, serta memberi kontribusi nyata dalam lingkungan kerja yang semakin kompleks dan kompetitif.


(miq/miq)

Related Articles