Elegi Hamas, Gaza Plan, dan "Kematian" Solusi Dua Negara

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Pagi 7 Oktober 2023 menjadi salah satu hari paling kelam dalam sejarah modern Timur Tengah. Matahari baru saja menembus langit selatan, namun tiba-tiba sirene meraung di kota-kota Israel dekat perbatasan Gaza.
Ribuan roket ditembakkan, mengubah langit menjadi menjadi seperti arena kembang api. Dalam hitungan menit, pagar perbatasan yang selama ini dianggap sebagai salah satu tembok tertangguh di dunia jebol di banyak titik. Ratusan pejuang Hamas menembusnya dengan kendaraan bak terbuka, sepeda motor, dan parasut layang, bersenjata senapan serbu, peluncur granat, dan drone sederhana.
Menjelang siang, dunia tersentak oleh gambar-gambar mengerikan yang beredar di media sosial. Warga sipil dibantai di rumah-rumah mereka, peserta festival musik ditembak di ruang terbuka, dan anak-anak serta orang tua diseret sebagai sandera.
Lebih dari 1.200 warga Israel tewas hanya dalam satu hari, angka korban tertinggi sejak perang Yom Kippur tahun 1973. Ratusan lainnya dibawa ke Gaza. Serangan yang tak terbayangkan tersebut melumpuhkan sistem pertahanan Israel yang selama ini disebut paling canggih di dunia.
Bagi Hamas, operasi "Al-Aqsa Flood" adalah ledakan dari keputusasaan panjang, sebuah pesan bahwa pendudukan dan blokade yang menyesakkan tak akan pernah melahirkan ketenangan. Namun bagi Israel, serangan tersebut adalah tindakan teror brutal yang menghancurkan rasa aman "Jewish States" tersebut. Dua narasi ini berjalan beriringan, satu tentang perlawanan, satu tentang teror. Keduanya berakar pada sejarah yang sama panjang dan berdarahnya.
Ironisnya, sejarah Israel sendiri merekam jejak serupa. Sebelum negara itu berdiri, tiga kelompok bawah tanah Yahudi, Irgun, Lehi (kelompok Stern), dan Haganah, melancarkan serangan terhadap pasukan Inggris dan warga Arab di Palestina.
Salah satu yang paling terkenal adalah pemboman Hotel King David di Yerusalem pada 1946, menewaskan 91 orang, termasuk pejabat Inggris, warga Arab, dan Yahudi. Aksi tersebut dimaksudkan untuk memaksa Inggris hengkang dan membuka jalan bagi berdirinya Israel. Saat itu dunia mengutuknya sebagai aksi teror. Namun beberapa tahun kemudian, sejarah menamainya perjuangan kemerdekaan.
Sejarah menunjukkan betapa tipis batas antara perjuangan dan terorisme, tergantung siapa yang menulis kisahnya. Kini, ketika Hamas melancarkan serangan dari Gaza, sejarah seakan berputar dengan wajah berbeda. Kekerasan yang dulu digunakan untuk melawan penjajahan kini digunakan untuk melawan pendudukan yang lain. Gaza adalah cermin dari luka yang tak pernah sembuh, luka yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Israel, yang percaya bahwa Hamas telah jinak dan sibuk mengelola Gaza, ternyata tertipu oleh ketenangan semu. Sistem pertahanan berlapis dan teknologi pengawasan mutakhir tak mampu membaca bahasa keputusasaan. Kegagalan intelijen Israel pada 7 Oktober bukan hanya soal informasi yang terlewat, tapi tentang keyakinan bahwa kekuatan bisa menggantikan keadilan. Dan seperti semua kekuasaan yang mengabaikan kemanusiaan, ketidaktahuan itu berbuah bencana.
Namun tragedi tersebut segera dibalas dengan kekuatan berlipat-lipat. Dalam beberapa hari, Jalur Gaza dibombardir dari udara, darat, dan laut. Rumah-rumah runtuh, rumah sakit hancur, kamp pengungsi menjadi kuburan massal. PBB memperkirakan lebih dari 35.000 warga Palestina tewas, mayoritas perempuan dan anak-anak. Dunia menyaksikan, sebagian bersuara, sebagian lainnya diam. Kekerasan yang dimulai dengan kejutan kini berubah menjadi pembalasan tanpa akhir.
Gelombang protes mengguncang kota-kota besar dunia. Dari London hingga Jakarta, jutaan orang menuntut gencatan senjata dan keadilan bagi rakyat Palestina. Di tengah gemuruh tersebut, dunia seolah baru tersadar bahwa perang Gaza bukan sekadar konflik dua pihak, melainkan simbol ketimpangan moral global. Dunia yang cepat bersimpati pada Ukraina, tapi lambat bersuara ketika anak-anak Palestina menjadi korban.
Dalam situasi yang semakin genting, muncul gagasan yang disebut Gaza Plan, rencana pembangunan pascaperang yang didorong oleh sejumlah negara kawasan seperti Turki, Mesir, dan Qatar. Idenya sederhana, membuka ruang kemanusiaan sementara, membangun kembali infrastruktur dasar, dan memberikan jeda bagi rakyat Gaza untuk bernapas. Bagi penduduk yang telah kehilangan segalanya, Gaza Plan adalah sejenis harapan rapuh di tengah reruntuhan.
Namun bagi sebagian pengamat, rencana tersebut tak lebih dari tambal sulam politik. Selama status penjajahan belum diakhiri dan solusi dua negara belum dihidupkan kembali, semua pembangunan hanya akan mempercantik wajah penjara yang sama. Tetapi mungkin, di dunia yang kelelahan oleh perang dan kebencian, bahkan tambal sulam pun adalah bentuk kebaikan yang patut disyukuri. Bagi rakyat Gaza, setiap langkah menuju kehidupan adalah bentuk kemenangan kecil yang berarti.
Satu tahun setelah serangan, Gaza masih berduka dan dunia masih bingung. Anak-anak tumbuh tanpa rumah, para ibu menunggu kabar yang tak datang, dan puing-puing menjadi bagian dari pemandangan sehari-hari. Israel mungkin berhasil menghancurkan markas Hamas, tapi tak ada bom yang bisa menghancurkan ide.
Tidak ada tank yang mampu menaklukkan rasa kehilangan. Seperti dulu para pejuang Zionis memaksa Inggris pergi karena tekanan kekerasan, kini Hamas mencoba memaksa dunia melihat penderitaan mereka dengan cara yang sama getirnya.
Namun perang ini telah merenggut lebih banyak dari sekadar nyawa. Perang yang satu ini merampas arah moral dunia. Negara-negara besar bicara tentang hukum internasional, tapi menutup mata ketika dilanggar oleh sesama negara besar. Dunia Arab menyerukan solidaritas, tapi seringkali terjebak pada retorika. Sementara itu, Gaza terus terbakar, menjadi simbol kegagalan kolektif umat manusia dalam memahami arti kemerdekaan.
Mungkin inilah makna sejati dari peristiwa 7 Oktober, sebuah pengingat bahwa penjajahan dan kekerasan tak akan pernah melahirkan keamanan. Israel bisa memperkuat pertahanannya, membangun tembok lebih tinggi, dan menambah sensor di setiap sudut perbatasan, tapi tak ada teknologi yang bisa menahan keputusasaan. Selama rakyat Palestina hidup tanpa kebebasan, bentuk-bentuk baru perlawanan akan terus lahir dari reruntuhan Gaza.
Dalam perspektif ini, Gaza Plan tampak seperti langkah kecil menuju penyembuhan yang lebih besar. Bagi rakyat Gaza, rencana ini adalah obat sementara yang dibutuhkan untuk bertahan hidup setelah penderitaan panjang. Bagi dunia, Gaza Plan bisa menjadi penyejuk bagi geopolitik global yang kian panas dalam lima tahun terakhir, dari Ukraina hingga Laut China Selatan. Dunia membutuhkan jeda, dan Gaza juga.
Sejarah memang terus berputar, tapi manusia selalu punya pilihan untuk tidak mengulang kesalahannya. Tragedi 7 Oktober adalah luka bersama, dan satu-satunya jalan keluar adalah keberanian untuk memutus lingkaran dendam. Selama kemanusiaan masih diingat, selalu ada harapan bahwa Gaza suatu hari bisa berbicara tentang masa depan, bukan hanya tentang luka.