Dari Dapur ke Masa Depan Ekonomi Keluarga

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Kedaulatan gizi adalah wajah lain dari kedaulatan ekonomi. Bangsa disebut kuat bukan hanya karena mampu menggelontorkan anggaran untuk memberi makan warganya, melainkan ketika rakyatnya berdaya memproduksi, mengolah, dan menyalurkan pangan bergizi dari tanahnya sendiri dengan mutu terjaga dan harga yang adil.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) membuka peluang ke arah sana. Tetapi agar tidak berhenti sebagai distribusi massal yang tidak terarah, kebijakan ini memerlukan "rumah" kelembagaan yang menautkan hulu dan hilir pangan di tingkat desa. Di titik itulah Program Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih patut diposisikan sebagai poros yang dapat mendukung program MBG agar tercipta putaran ekonomi lokal dari desa yang nyata.
Inti gagasannya sederhana. Program MBG akan menyediakan permintaan kebutuhan yang pasti, sedangkan Koperasi Merah Putih akan berperan dalam penyediaan produksi dan distribusi yang berakar pada anggota.
Dalam hal ini, ketika bahan pangan yang digunakan dalam program MBG diserap melalui koperasi, maka akan terjadi siklus ekonomi rakyat yang indah dan memberdayakan. MBG tidak lagi dipandang sebagai program ambisius yang hanya berorientasi kepada jumlah serapan penerima manfaat, namun menjadi program yang mendukung ekonomi kerakyatan.
Di sinilah koperasi menjadi kunci. SPPG tidak hanya mengolah dan menyalurkan makanan, tetapi menaut ke hulu: koperasi mengorganisasi petani dan peternak yang menjadi anggota, mengumpulkan panen, mengolah di dapur bersama yang memenuhi standar, lalu menyalurkan ke sekolah dan titik layanan MBG.
Dengan model ini, pendeknya rantai koperasi dapat memangkas biaya distribusi dan menyerap produksi lokal secara lebih stabil. Ketika koperasi menjadi poros dari program MBG, maka anggaran yang dikucurkan oleh negara akan bertransformasi menjadi sirkulasi lokal: mendukung daya beli dan menyuburkan ekosistem UMKM desa.
Ada satu dimensi yang tak boleh diabaikan: keamanan pangan. Kasus keracunan makanan pada MBG sepanjang 2025 menjadi alarm keras.
Badan POM (BPOM) mencatat lebih dari 9.000 anak terdampak dalam 103 insiden hingga September 2025; masalah berulangnya menyangkut penanganan makanan yang terlambat, penyimpanan tidak memadai, dan dapur yang belum layak higiene. Pemenuhan gizi tanpa adanya keamanan pangan yang memadai hanyalah menciptakan sebuah permasalahan baru.
Standar keamanannya sebenarnya jelas. Dalam rapat koordinasi terkait Penanggulangan KLB pada program MBG, pemerintah telah mewajibkan pemenuhan sertifikat laik higiene sanitasi (SLHS), sertifikat hazard analysis and critical control point (HACCP), serta sertifikasi halal di dapur SPPG.
Koperasi justru berada pada posisi terbaik untuk memastikan kepatuhan ini: ia mengenal asal-usul bahan, dapat menerapkan traceability sampai ke anggota, dan menjalankan pengawasan partisipatif berbasis rapat anggota.
Dari sisi hukum, pijakannya kokoh. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian menempatkan koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional yang berhak mengelola usaha bersama; Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengakui kelembagaan ekonomi desa, termasuk koperasi;
UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan mewajibkan negara memperkuat kelembagaan masyarakat di bidang pangan bergizi; sementara Perpres Nomor 83 Tahun 2024 memberi mandat koordinasi kepada BGN. Dengan kerangka ini, integrasi Koperasi Desa Merah Putih dalam program MBG sangat dimungkinkan.
Ujungnya sederhana namun mendasar. Keberhasilan Integrasi Koperasi Desa Merah Putih dan MBG tidak diukur semata jumlah porsi yang dibagikan, melainkan seberapa besar nilai tambah yang kembali ke desa dan seberapa ketat keamanan pangan dijaga.
Paling tidak ada empat aspek yang musti dipenuhi: (1). serapan lokal yang naik dari waktu ke waktu; (2) peningkatan pendapatan UMKM pemasok; (3) kepatuhan terhadap keamanan pangan; (4) transparansi yang baik. Apabila keempat aspek ini dilakukan dengan baik, maka integrasi dapat dikatakan telah berjalan di jalur yang benar.
Jika MBG dapat terintegrasi secara maksimal dengan Koperasi Desa Merah Putih, bahan baku diserap dari anggota, standar mutu dijalankan dengan disiplin, dan akuntabilitas sosial bekerja melalui mekanisme koperasi, maka program gizi ini tak lagi berdiri di atas logika proyek, melainkan di atas rumah ekonomi rakyat.
Itulah inti kedaulatan gizi yang hendak kita wujudkan: tumbuh dari desa, bekerja melalui koperasi, dan bertahan karena ditopang oleh tata kelola yang bersih dan jernih.