Menderita Kemiskinan Struktural Sejak dalam Kandungan

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Dalam satu momen, Muhammad Sutisna, salah satu pendiri Forum Intelektual Muda sekaligus sosok yang pernah aktif dalam organisasi kemahasiswaan, mengutarakan realita saat ini soal degradasi dan turunnya pamor eksistensi organisasi yang dinaunginya dulu.
Juga organisasi-organisasi kemahasiswaan lainnya di tengah kebangkitan politik para influencer. Katanya, "berat juga ya jadi aktivis Cipayung zaman sekarang, mau jadi pejabat udah diambil oligarki, mau jadi aktivis pun perannya udah diambil influencer," guyonnya.
Peran aktivisme politik para aktivis organisasi faktanya memang kini telah tergantikan oleh munculnya kelas baru dari para influencer yang pamornya naik lewat keterlibatan intensif mereka di ruang-ruang media sosial.
Mendengar pesan yang ia kirim dalam perbincangan WhatsApp tersebut, hal ini justru menyeret saya untuk mengulas soal mati surinya organisasi kepemudaan dan organ ekstra kampus itu - bahkan organisasi kemasyarakatan secara umum - dalam mewarnai diskursus dan wacana progresif ruang publik di era pascareformasi.
Harus diakui, bahwa kondisi organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan-ekstra kampus, kini, bisa dibilang, kehilangan ruh dan spirit vitalitas dalam memproduksi wacana segar yang dibutuhkan masyarakat. Justru, wacana-wacana perlawanan, kritisisme publik, dan dorongan kesadaran politik, lahir dari tangan para influencer yang menghabiskan banyak waktunya di ruang digital dengan pemeroduksian konten-konten kritis yang bervariasi.
Banyak di antaranya yang mengulas berbagai isu sosial politik yang sedang berkembang di masyarakat. Mungkin mandegnya organisasi kemasyarakatan secara umum dalam diseminasi wacana kritis, bisa jadi, karena zaman yang juga berubah dan karena kondisi sosial politik yang tak lagi sama.
Di masanya, di era orde lama dan baru khususnya, organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan ekstra kampus, memiliki andil besar dalam menciptakan figur-figur reformis, para pembaharu. Sebut saja beberapa tokoh monumental yang lahir dari pendadaran diskusi keras dan adu wacana di internal organisasi.
Kita kenal banyak sosok seperti Mahbub Djunaidi, Ahmad Wahib, dan Nurcholis Madjid. Belum lagi sosok-sosok lainnya. Mereka lahir berkat ruang-ruang diskusi yang marak diinisiasi oleh organisasi tempat mereka bertukar pikir.
Tapi pertanyaannya, mengapa sosok aktivis politik semacam itu kini tak lagi hadir di tengah kondisi sosial yang juga baru. Satu hal yang pasti, kondisi saat ini tidak lagi sama seperti di masa lalu. Baik soal lingkungan sosial-politik yang melingkupinya maupun gaya hidup atau tren yang ada.
Perubahan yang terjadi memang membawa dampak besar terhadap cara bagaimana organisasi menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru itu. Namun sayangnya, perubahan itu begitu ekstrem. Masalahnya, kini, organisasi kemasyarakatan sering terseret pengaruh politik kekuasaan. Sementara organisasi kepemudaan dan ekstra kampus kerap sibuk dengan isu-isu politik praktis di lingkungan mereka masing-masing.
Contoh sederhana adalah organisasi ekstra kampus yang sibuk mengintervensi politik BEM - Kampus lewat akumulasi massa sebanyak-banyaknya melalui perekrutan para kader tapi lupa melakukan pembinaan setelahnya melalui penyediaan berbagai ruang diskusi dan pengembangan diri anggota.
Sementara di luar kampus sana, organisasi kepemudaan sering kali mewujudkan dirinya sebagai bamper kekuasaan. Eksistensinya sering memanfaatkan mobilisasi massa yang dimilikinya untuk mendukung rezim yang berkuasa.
Bahkan di musim pemilu, biasanya berjamur beragam nama kelompok partisan yang diisi oleh mereka-mereka yang sebenarnya terafiliasi pada organisasi kepemudaan tertentu. Organisasi kepemudaan tak ubahnya mesin-mesin partai yang bekerja dan memanfaatkan jumlah massa yang dimiliki. Padahal, sebagai salah satu bentuk organisasi kemasyarakatan, organisasi pemuda harusnya menjalankan satu fungsi eksistensial: sebagai penyeimbang kekuasaan di luar parlemen.
Makanya di tengah zaman yang berubah ini, corak organisasi ekstra kampus dan kepemudaan kini lebih mendekati tipologi partai politik. Mereka terseret masuk ke dalam pencarian kekuasaan tiada henti dengan skala yang lebih kecil: kampus dan lingkungan luar. Dan tak sedikit kader-kadernya berebut jabatan-jabatan komisaris atau staf ahli di pemerintahan.
Walau harus diakui, bahwa dalam sejarahnya, memang banyak organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan berasal dari underbouw partai politik yang identik dengan kekuasaan - dan akhirnya beberapa memilih independen - namun di masa lalu ruang-ruang diskusi ilmiah masih begitu marak di dalam internal mereka.
Kini euforia perdebatan ilmiah tersebut seolah hilang. Organisasi ekstra-kampus dan pemuda lebih khawatir kehilangan kekuasaan yang mereka pegang dibandingkan melahirkan para kader yang jago debat dan diskusi. Kuantitas lebih diutamakan sementara upaya untuk upgrade kualitas sering dilupakan.
Impaknya, dengan kosongnya berbagai ruang intelektualitas dan diskusi itu, perlahan tapi pasti, daya nalar kritis kader dan anggota semakin menurun. Militansi ideologi hilang. Yang ada malah, mereka terjerembab ke dalam lubang oportunisme dan pragmatisme. Mereka tidak lagi memiliki independensi di hadapan kekuasan dan juga para senior-senior mereka yang telah terlebih dulu berkecimpung di berbagai partai politik.
Mereka rentan dimanfaatkan oleh seniornya dan sialnya, mereka sering kali diam tak melawan. Kritisisme anggota menjadi tumpul dan pragmatisme kader semakin menjadi-jadi. Imbasnya, kini eksistensi organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan tidak lebih hanya sebagai estafet kepentingan para senior mereka yang duduk di kekuasaan. Makanya tak aneh kini kita sering menyaksikan organisasi kepemudaan yang mati-matian membela kekuasaan bagaimana pun buruknya kekuasaan itu.
Dan kita juga sering melihat konferensi nasional organisasi ekstra-kemahasiswaan yang ricuh akibat tarik-menarik kepentingan senior-senior mereka yang setuju dan tidak setuju atas calon ketua pengurus besar mereka di level nasional. Semuanya hanyalah bukti kecil betapa virus pragmatisme kekuasaan telah menjangkiti warna organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan masa kini.
Bangkitnya Aktivisme Politik Influencer
Di tengah absennya pengaruh dan peran organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan dalam memproduksi wacana kritis publik, kini muncul kelas penggerak baru yang disebut sebagai 'influencer'. Para kaum influencer tersebut kini banyak mengisi ruang-ruang kosong yang ditinggalkan oleh organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan itu. Atau bahkan suara kritis yang ditinggalkan oleh organisasi kemasyarakatan dan partai oposisi.
Intinya, di kala semua senyap dalam bersuara dan menyampaikan kritik terhadap kekuasaan, dan di saat masyarakat membutuhkan wacana segar yang pro atas berbagai kebijakan yang memihak mereka, para kaum 'influencer' berdiri di garda terdepan untuk menyuarakannya. Kelas penggerak baru ini muncul dari dua segmen penting. Bisa selebritis maupun pegiat media sosial dengan pengikutnya dalam jumlah besar.
Jika kita sibak diksi ini dalam terjemahan Inggris-Indonesia, 'influencer' bisa diartikan sebagai orang berpengaruh. Dalam bahasa yang lebih utuh, mereka adalah orang-orang yang memiliki popularitas di platform dan bidang masing-masing, yang dengan ketenarannya bisa mempengaruhi massa atas wacana dan diskursus tertentu.
Bahkan dengan kekuatan dan pengaruh yang dimiliki, mereka mampu memobilisasi massa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Berbeda dengan buzzer, mereka tidak menyembunyikan identitas asli mereka. Mereka tidak anonim. Dan mereka seringkali memproduksi wacana-wacana kritis dibanding membela habis-habisan status quo.
Kebangkitan politik influencer dalam ruang aktivisme politik dan diskursus publik di era pasca reformasi memang unik. Stigma selebriti yang lekat dengan kehidupan glamor dan berjarak dari isu-isu sosial-politik nyatanya tidak seperti yang dipersepsikan. Mereka kini juga terlibat dalam pemeroduksian wacana-wacana kritis dan banyak bersuara soal ketimpangan yang terjadi.
Adalah Fedi Nuril salah satunya. Dirinya aktif menyuarakan kritik dan membuka kotak pandora ketidakberesan dalam berbagai kebijakan publik di akun X miliknya. Memang lingkungan sosial dan tren penyampaian pendapat hari ini terbantu dengan perkembangan media sosial. Kemajuan internet dan munculnya berbagai platform media sosial telah menjadi babak baru bagi model partisipasi publik yang berbeda dari cara-cara konvensional di masa lalu.
Ruang-ruang diskusi marak tersedia di berbagai platform online. Dan ruang menyampaikan pendapat terjadi secepat isu yang muncul dan diseminasi berita oleh media-media online. Perkembangan platform media sosial online juga akhirnya membuka profesi baru di berbagai platform media sosial seperti YouTube, Instagram, Twitter, dan Tiktok.
Melalui platform-platform tersebut, para influencer bukan hanya sekedar merefleksikan spesialisasi kontennya masing-masing, namun juga banyak memaksimalkan gaung keberadaannya untuk terlibat dalam aktivitas politik dan membangun partisipasi publik. Ferry Irwandi adalah satu dari sekian banyak aktivis yang lahir dari kegiatannya mengkapitalisasi ruang baru di dunia maya.
Saat ruang-ruang diskusi wacana kritis di organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan serta ormas semakin hilang, para influencer kini menggantikan peran-peran baru mereka. Mereka menyulut diskursus publik, menyampaikan kritik, dan menyebarkan wacana-wacana kritis pro-rakyat.
Eksistensi mereka sangat diperlukan dalam dinamika politik berdemokrasi. Tanpa influencer yang giat mengkampanyekan berbagai isu sosial politik yang terjadi, struktur demokrasi kita akan berjalan timpang.
Sebab kelompok penyeimbang yang biasanya digadang-gadang muncul dari suara organisasi kemasyarakatan termasuk kepemudaan dan kemahasiswaan di dalamnya, bahkan partai oposisi, banyak yang masuk angin terkikis pragmatisme politik dan atau lebih memilih diam. Eksesnya, demokrasi tidak ideal karena kekuasaan berjalan tanpa ada yang mengontrol.
Meski kelahiran para influencer politik patut diapresiasi, namun satu hal yang mesti diwaspadai dari impak negatif aktivisme politik yang mengandalkan personalitas semacam itu adalah pengkultusan terhadap sosok. Faktanya, dengan banyaknya para pengikut setia di belakangnya, kehadiran influencer sering dijadikan kiblat kebenaran.
Padahal, kebenaran bukan bersumber dari siapa yang menyampaikan, tapi dari apa yang dikatakan berdasarkan fakta-fakta sosial politik yang terjadi. Untuk itu munculnya idola-idola baru publik juga harus diimbangi dengan nalar kritis agar obyektivitas kebenaran tidak tercampuri rasa fanatik dan taklid buta. Seperti disampaikan Francis Bacon, "idola" merupakan penghalang pencarian pengetahuan yang sejati (Hardiman, 2011).