Makan Bergizi Gratis: Jalan Panjang Menuju Generasi Emas Indonesia

Belakangan ini program Makan Bergizi Gratis (MBG) terus menerus diperbincangkan di percakapan tanah air dan menjadi berita utama di berbagai media. Meningkatnya kasus keracunan dari program ini hingga mengakibatkan ratusan siswa keracunan menjadi sorotan utama dari berbagai organisasi hingga masyarakat sipil.
Data dari Badan Gizi Nasional (BGN) menyebutkan bahwa sejak pertama kali program dijalankan pada bulan Januari 2025, telah terdapat 45 kasus keracunan atau kejadian luar biasa (KLB) yang menyebabkan hingga 4.711 penerima manfaat mengalami keracunan.
Adanya situasi ini menunjukkan bahwa pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah yang besar terkait program ini. Sejak awal peluncuran, program MBG selalu menjadi program yang dibanggakan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran.
Dalam pengantar pidato yang disampaikan pada Sidang Kabinet Paripurna di Istana Kepresidenan Jakarta pada Senin, 5 Mei 2025. Presiden dengan lantang mengatakan bahwa MBG akan menjadi investasi bagi anak-anak dan dapat mengurangi kemiskinan di Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2024 menggambarkan bahwa sekitar 23,29 juta penduduk atau 8,27 persen dari total populasi penduduk Indonesia masih mengalami kekurangan konsumsi energi.
Selain itu, Indonesia pada tahun 2020 masih menempati peringkat ke-96 dari 174 negara dengan nilai skor sebesar 0,54 persen pada Human Capital Index (HCI), artinya seorang anak yang lahir di Indonesia hanya mencapai 54 persen dari tingkat maksimal produktivitasnya apabila memenuhi tolak ukur pendidikan dan kesehatan yang memadai.
Pemerintah memang memiliki visi besar dan optimisme yang tinggi terhadap program ini, utamanya menyangkut Indonesia Emas 2045. Dengan adanya program MBG, besar harapannya anak-anak yang saat ini menjadi penerima manfaat akan menjadi generasi emas yang produktif dan siap untuk berkontribusi secara maksimal dalam pembangunan bangsa.
Presiden Prabowo, percaya bahwa masa depan Indonesia terletak pada kualitas dari generasi mudanya dan pemerintah hadir untuk mendukung hal itu melalui MBG.
Masalahnya, semangat dan visi yang besar atas program MBG mestinya diselaraskan dengan tata kelola implementasi yang baik. Data dari Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) menunjukkan bahwa dari hasil monitoring terhadap 29 menu MBG pada Januari 2025, ditemukan 45 persen sampel menu MBG yang berisi produk susu kemasan berperisa tinggi gula.
Hal ini tentu tidak sejalan dengan semangat mencetak generasi emas yang produktif yang dimulai dari pemenuhan gizi dari program MBG. Alih-alih mendapatkan gizi yang baik dari makanan yang diterima, penerima manfaat malah terancam terjangkit penyakit. Tak ayal, banyak orang tua yang merasa khawatir dengan adanya program MBG.
Padahal, Indonesia sudah memiliki Pedoman Gizi Seimbang yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 41 Tahun 2014. Dalam melaksanakan program, pemilihan menu MBG bisa didasarkan dari pedoman tersebut.
SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) perlu menjadi perhatian khusus, pasalnya dari SPPG inilah semua makanan diproses untuk kemudian dikirimkan dan dikonsumsi oleh penerima manfaat. Kasus keracunan makanan yang muncul di berbagai titik dan pemilihan menu yang tidak mempertimbangkan kandungan gizi menjadi bukti bagaimana kurangnya pengawasan terhadap SPPG.
Data BGN mencatat bahwa hingga tanggal 23 September 2025, total seluruh SPPG operasional yang ada di seluruh Indonesia adalah sebesar 8.903. Hingga saat ini, masih belum ada mekanisme mengenai evaluasi yang bisa dikenakan terhadap SPPG apabila ditemukan masalah dalam proses produksi makanannya.
BGN sebagai lembaga yang memiliki fungsi salah satunya sebagai pemantau dan pengawas pemenuhan gizi nasional berdasarkan Perpres 83 Tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional, sudah selayaknya bertindak cepat dalam hal ini. Terlebih, partisipasi publik belum tergambarkan sejauh ini.
Indonesia dapat belajar kepada negara lain yang sudah terlebih dahulu melaksanakan program serupa. Meksiko misalnya, orang tua dan komite sekolah di Meksiko memiliki tanggungjawab dalam penerimaan hingga pemantauan dan promosi gizi yang baik serta protokol keamanan pangan.
Selain menyasar perihal masalah keracunan dan tata kelola dalam SPPG, program MBG diwarnai dengan tingginya tingkat risiko keuangan negara.
Transparency International Indonesia (TII), mencatat bahwa program MBG yang dilakukan tanpa adanya prioritas penerima manfaat beresiko mendorong pelebaran defisit anggaran hingga 3,6 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini melebihi batas maksimal sebesar 3 persen sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Dengan berbagai data dan temuan di lapangan, program ini telah sampai pada satu kesimpulan: baik dalam ide, namun perlu pembenahan dalam implementasi. Setidak-tidaknya, dalam program MBG pemerintah memiliki kewajiban untuk membenahi isu keamanan pangan, manajemen SPPG/mitra, potensi kerugian keuangan negara, payung hukum pelaksanaan program, transparansi data dan sinkronisasi antar institusi terkait.
Menghayati ucapan Carol Weiss: Evaluation is not just to prove, but to improve. (Evaluasi tidak hanya untuk membuktikan, namun untuk memperbaiki) berhenti sejenak untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap program MBG bukanlah sebuah kegagalan dari pemerintah, melainkan sebuah syarat agar program MBG betul-betul memberikan manfaat yang baik bagi generasi yang akan datang.
(miq/miq)