Efek Domino "Ketidakpuasan" itu Akhirnya sampai di Filipina

Ronny P. Sasmita, CNBC Indonesia
24 September 2025 06:30
Ronny P. Sasmita
Ronny P. Sasmita
Ronny P. Sasmita merupakan analis senior di Indonesia Strategic and Economics Action Institution... Selengkapnya
Warga Filipina berkumpul dalam sebuah protes yang mengecam apa yang mereka sebut korupsi terkait proyek pengendalian banjir di Manila, Filipina, Minggu (21/9/2025). (REUTERS/Lisa Marie David)
Foto: Suasana demonstrasi di Filipina, beberapa waktu lalu. (REUTERS/Lisa Marie David)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Saya kembali ke Indonesia dari Filipina tanggal 17 September 2025 dengan menyimpan bayangan yang hampir sama dengan yang terjadi tanggal 21 September 2025 di Manila dan beberapa kota lainnya di Filipina.

Di saat saya bolak-balik dari University of Philippines, Ateneo De Manila University, dan beberapa universitas di daerah di Filipina terkait dengan urusan penelitian, informasi aksi besar-besar yang akan dilaksanakan di tanggal 21 September 2025 memang sudah sering saya dengar, baik dari kawan-kawan satu tim penelitian maupun dari media sosial.

Rencana awalnya, demonstrasi besar-besaran akan dilaksanakan pada tanggal 13 September 2025. Namun ketika itu terpantau hanya aksi di beberapa kampus dengan tajuk "walk out" dari kelas lalu "long march" di area kampus masing-masing.

Rencana tanggal 21 September 2025 muncul setelah terdapat kesepakatan antara aktor-aktor pergerakan dengan komunitas dan organisasi keagamaan. Dan kesepakatan tersebut dibuktikan di tanggal tersebut, di mana "long march" besar-besaran dimulai dari Rizal Park atau dikenal dengan sebutan Luneta Park, lokasi di mana saya sering melakukan jalan pagi ketika sedang berada di Manila.

Jika diperhatikan, gelombang demonstrasi yang melanda Asia, terutama Indonesia, Filipina, Nepal, Thailand, dan lainnya, kini semakin terlihat bukan sebagai peristiwa yang terpisah begitu saja, melainkan sebagai efek domino dari ketidakpuasan masyarakat di satu negara.

Dalam kasus ini, Indonesia mengawalinya tentunya. Memang beberapa minggu lalu, Indonesia diguncang demonstrasi besar-besaran terkait pemotongan subsidi, peningkatan tunjangan perumahan anggota DPR, kegagalan tata kelola pemerintahan, serta meningkatnya kecenderungan otoritarianisme aparat.

Tak lama kemudian, Nepal akhirnya juga menyaksikan aksi massa yang dipelopori generasi muda untuk menentang stagnasi politik dan praktik korupsi yang sudah mengakar kuat di negeri tersebut. Dan kini, Filipina pun menyusul, dengan ribuan warga turun ke jalan di Manila dan berbagai kota lainnya pada 21 September 2025, mengecam skandal besar dalam proyek pengendalian banjir.

Meskipun masing-masing negara memiliki pemicu lokal yang berbeda, benang merah yang menyatukan ketiga gelombang protes ini jelas tak jauh berbeda, yakni meningkatnya persepsi ketidakadilan sistematis di mata masyarakat, kejenuhan terhadap elite politik yang terus berlindung di balik kekuasaan, serta tekad generasi muda untuk merebut ruang politik yang selama ini sering dikuasai oleh dinasti dan oligarki.

Fenomena ini menunjukkan bahwa Asia Tenggara dan Asia Selatan tengah memasuki fase pertarungan baru, bukan sekadar ledakan spontan, melainkan rekonstruksi politik yang dipicu langsung oleh rakyat.

Di Filipina, inti dari kemarahan rakyat jauh lebih sederhana, tapi sekaligus berpotensi besar untuk menghancurkan legitimasi pemerintah yang sedang berkuasa, yakni dana publik dalam jumlah miliaran peso yang seharusnya digunakan untuk proyek pengendalian banjir justru hilang, dikorupsi, atau dialihkan melalui jaringan kontraktor yang dekat dengan elite politik.

Sidang-sidang kongres mengungkap praktik pengadaan yang mencurigakan, proyek "hantu" yang sama sekali tidak pernah dibangun, serta pengerjaan proyek infrastruktur yang berhenti di tengah jalan.

Situasi ini menegaskan teori Jacquelien van Stekelenburg dalam bukunya A Social Psychology of Protest (2023). Ia menekankan bahwa protes lahir bukan hanya karena ada kerugian material, tapi juga karena masyarakat memandang bahwa ketidakadilan yang terjadi dilakukan secara sengaja, terstruktur, dan sangat meremehkan nilai moral kolektif dari masyarakat umum.

Proyek banjir yang gagal bukan sekadar salah kelola. Bagi rakyat Filipina, hal tersebut adalah pengkhianatan sadar yang memperlihatkan bahwa negara melayani para koruptor, bukan warganya.

Mobilisasi di Filipina berlangsung luas dan terkoordinasi, menyerupai pola yang sebelumnya terlihat di Jakarta dan Kathmandu. Kelompok masyarakat sipil, jaringan gereja, serikat buruh, serta kelompok oposisi bersatu dalam aksi massa bertajuk "Baha sa Luneta" dan "Trillion Peso March." Gereja, yang sejak lama menjadi suara moral dalam sejarah demokrasi Filipina, kembali memberi legitimasi spiritual pada protes damai tersebut.

Jumlah massa yang hadir sangat besar, puluhan ribu orang memadati Taman Luneta, ribuan lainnya menutup sebagian jalur EDSA, dan aksi serupa bergema di berbagai provinsi.

Skala ini menunjukkan bahwa protes sudah melampaui basis aktivis tradisional. Sama seperti di Indonesia, ketika mahasiswa, buruh, dan kelompok agama membangun front bersama, dan di Nepal ketika mahasiswa universitas bersekutu dengan serikat pekerja, mobilisasi lintas sektor menjadikan protes sulit untuk diabaikan pemerintah.

Yang paling menonjol dalam demonstrasi kali ini adalah keterlibatan generasi Z. Sama seperti di Indonesia yang memunculkan aksi mogok kuliah serentak dan di Nepal yang memanfaatkan media sosial untuk mengekspos elite korup, Gen Z di Filipina muncul sebagai motor digital dan simbol moral.

Mahasiswa dari Universitas Filipina, Ateneo de Manila, dan Polytechnic University melakukan aksi keluar kelas, sementara dunia maya diramaikan oleh infografis, meme, dan tagar yang dibuat anak muda untuk menerjemahkan detail sidang anggaran menjadi narasi yang mudah dipahami oleh publik.

Kreativitas generasi muda ini mendongkrak batas atas partisipasi masyarakat Filipina selama ini, sehingga kemarahan yang sebelumnya terfragmentasi berubah menjadi energi kolektif. Bagi Gen Z, aksi ini bukan sekadar perlawanan, tetapi juga deklarasi identitas politik bahwa mereka tidak mau mewarisi sistem yang dikendalikan oleh dinasti dan jejaring rente.

Sebagaimana diketahui, generasi Z ini tumbuh dalam era digital, terbiasa mengakses informasi lintas negara, dan lebih sensitif terhadap isu keadilan sosial serta krisis iklim. Pun sekaligus mereka terlahir dari rentetan krisis, mulai dari krisis moneter dan mata uang di Asia, terorisme global, sampai pada krisis finansial global yang bermula di Wall Street.

Oleh karena itu, mereka tidak lagi mudah ditenangkan dengan retorika kosong, karena akses pada data dan jejaring informasi global memungkinkan mereka untuk melakukan pembandingan langsung dengan kondisi negara lain. Bila pemerintah Filipina gagal mengakui tuntutan mereka, maka gelombang protes tidak hanya akan berulang, melainkan juga berkembang menjadi gerakan yang lebih radikal dalam menuntut transformasi struktural.

Sebagaimana ditulis oleh van Stekelenburg, ada empat prasyarat utama agar protes dapat bertahan lama, yakni adanya persepsi ketidakadilan, keyakinan akan efektivitas aksi, jaringan sosial yang kuat, dan terbentuknya identitas kolektif. Keempatnya kini terlihat jelas di Filipina. Sidang kongres dan pembentukan komisi independen memberi harapan bahwa tekanan publik dapat menghasilkan konsekuensi nyata, yakni menciptakan rasa "efikasi" dalam gerakan.

Jaringan kampus, gereja, dan LSM memperkuat mobilisasi masa, pun ikut menurunkan biaya sosial untuk ikut serta. Identitas kolektif, baik sebagai mahasiswa, jemaat gereja, maupun warga rentan banjir, mendadak menjadi perekat solidaritas. Kombinasi faktor ini yang juga memicu daya tahan protes di Jakarta dan Kathmandu.

Pun faktor tambahan yang semakin memperkuat adalah perasaan "ketidakadilan moral" yang bersifat universal di Filipina bahwa masyarakat kelas menengah ke bawah yang setiap musim hujan harus mengungsi dan kehilangan harta benda merasa ditipu oleh elite yang memperkaya diri dari proyek-proyek yang seharusnya untuk menyudahi penderitaan mereka.

Bahkan dalam hemat saya, persoalan sebenarnya jauh lebih dalam dari sekedar isu korupsi dana banjir. Politik Filipina, seperti juga Indonesia dan Nepal, dikuasai oleh dinasti yang cenderung dengan mudah bisa mengubah anggaran negara menjadi kas pribadi. Korupsi bukan lagi dianggap sebagai penyimpangan, melainkan pola struktural. Skandal proyek banjir hanyalah satu contoh.

Infrastruktur yang seharusnya melindungi masyarakat miskin dari dampak perubahan iklim justru menjadi instrumen akumulasi kekayaan elite. Karena itu, protes hari ini bukan hanya tentang menghukum pencuri anggaran, melainkan tentang menuntut perombakan sistem yang membuat praktik tersebut terus berulang. Tanpa reformasi sistemik, skandal baru hanya menunggu waktu untuk muncul kembali.

Apa yang kita saksikan di Manila hari ini tidak dapat dipisahkan dari konteks regional. Indonesia, Nepal, dan kini Filipina memperlihatkan pola yang sama di mana mayoritas anak muda menolak tunduk pada politik dinasti, mengutuk rente, dan menuntut demokrasi yang lebih bersih.

Efek domino ini menunjukkan bahwa generasi baru Asia tidak lagi mau bersabar. Kemarahan yang lahir dari kasus lokal cepat terhubung dengan wacana transnasional tentang korupsi, keadilan iklim, dan demokrasi.

Gelombang ini dapat menjadi tekanan besar bagi elite politik di kawasan, sekaligus sinyal bagi investor, mitra internasional, dan kekuatan geopolitik bahwa legitimasi rezim-rezim di Asia akan bergantung pada sejauh mana mereka mau memperbaiki tata kelola di dalam pemerintahannya. Dengan semakin terhubungnya gerakan sipil melalui media sosial, narasi perlawanan akan melintasi batas negara dengan cepat, mengakselerasi solidaritas regional yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Di sisi lain, respons pemerintah Filipina akan menentukan arah gerakan ini ke depannya. Presiden Ferdinand Marcos Jr. telah menjanjikan investigasi mendalam, namun rakyat masih terlihat sangat skeptis. Jika langkah yang diambil hanya menyasar "kambing hitam" level bawah, sementara elite dinasti masih dipandang kebal, kemarahan publik akan semakin membara.

Sejarah regional telah memberi pelajaran, seperti yang terjadi di Indonesia dan Nepal. Filipina berisiko mengulangi kesalahan tersebut. Satu-satunya jalan keluar adalah reformasi substantif, audit anggaran secara transparan, reformasi sistem pengadaan, dan penegakan hukum terhadap aktor kuat yang dianggap terlibat, bukan hanya menyikat pion kecil.

Bahkan lebih dari itu, sistem politik yang terlalu memberi ruang luas untuk dinasti di dalam menguasai legislatif dan eksekutif harus ditantang dengan agenda reformasi hukum yang tegas. Tanpa perubahan struktural, protes-protes semacam ini hanya akan menambah daftar panjang siklus ketidakpuasan yang berulang dalam sejarah politik Filipina.

Demonstrasi 21 September 2025 di Filipina bukan sekadar aksi spontan, melainkan babak baru dalam sejarah demokrasi Filipina, sekaligus bagian dari narasi regional yang jauh lebih luas. Gelombang protes di Indonesia, Nepal, dan Filipina memperlihatkan bahwa generasi muda Asia sudah terlanjur kehilangan kesabaran terhadap politik dinasti, korupsi sistemik, dan elitisme yang membutakan.

Efek domino ini bisa berakhir dengan dua skenario, reformasi yang membuka jalan pada tata kelola pemerintahan yang lebih bersih, atau krisis legitimasi yang semakin dalam bila pemerintah memilih langkah penyangkalan atau sekedar respon kosmetik politik. Yang pasti, satu hal sudah menjadi terang hari ini bahwa generasi muda dan baru tidak akan lagi diam. Asia sudah memasuki era baru di mana suara jalanan kembali menjadi kekuatan politik penting.


(miq/miq)