Pajak Kekayaan: Obat atau Racun?

Pajak kekayaan kembali mengemuka sebagai opsi kebijakan di berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk mengurangi ketimpangan dan meningkatkan penerimaan negara, apalagi realisasi penerimaan pajak sampai dengan 11 Agustus 2025 baru mencapai Rp 996 triliun atau 45,5% dari target.
Namun, efektivitasnya diperdebatkan baik secara teori maupun praktiknya di beberapa negara, sehingga jika jadi diterapkan: apakah pajak kekayaan benar-benar menjadi instrumen solusi (obat) atau justru menimbulkan masalah baru (racun).
Pajak Kekayaan Obat atau Racun
1. Pajak Kekayaan sebagai Obat
a) Alasan Normatif & Keadilan
• Mengurangi ketimpangan: Di negara dengan konsentrasi kekayaan tinggi pada kelompok 1% teratas, pajak kekayaan dianggap adil untuk redistribusi. Di mana 1% orang kaya Indonesia menguasai 36% perekonomian nasional (CNN Indonesia: 5 Feb 2025).
• Prinsip kemampuan membayar (ability to pay): Wajib pajak yang memiliki akumulasi aset besar dianggap punya kewajiban lebih besar untuk berkontribusi.
b) Alasan Fiskal
• Potensi penerimaan tambahan: Pajak kekayaan bisa membuka ruang fiskal baru di tengah keterbatasan basis pajak penghasilan (karena banyak sektor informal).
• Sumber jangka panjang: Bila dirancang baik, bisa menopang belanja sosial, pendidikan, dan kesehatan, yang terbukti efektif menurunkan kemiskinan (lihat kajian Bank Dunia dan OECD).
c) Alasan Politik-Ekonomi
• Simbol keadilan sosial: Mengirim sinyal bahwa negara serius menekan oligarki dan memperluas rasa keadilan.
• Legitimasi pemerintah: Dalam konteks demokrasi, dapat memperkuat kepercayaan publik terhadap institusi fiskal.
2. Pajak Kekayaan sebagai Racun
a) Masalah Teknis & Administratif
• Sulit valuasi aset: Kekayaan berbentuk tanah, saham perusahaan tertutup, karya seni, atau aset digital sulit diukur secara tepat.
• Biaya administrasi tinggi: Pemungutan dan penegakan hukum lebih mahal dibandingkan pajak konsumsi/PPh.
b) Masalah Ekonomi
• Capital flight & tax avoidance: Orang kaya bisa dengan mudah mengalihkan kekayaannya ke luar negeri (contoh: Prancis, yang akhirnya mencabut wealth tax pada 2017 karena banyak miliarder pindah domisili).
• Dampak pada investasi: Bisa mengurangi insentif menanam modal di dalam negeri, jika tidak ada insentif yang menyeimbanginya.
c) Masalah Politik
• Resistensi kelompok elite: Potensi lobi kuat dari kelompok kaya untuk melemahkan atau menggagalkan implementasi.
• Distorsi kebijakan: Bisa memicu kompromi politik yang justru menghasilkan aturan setengah hati, sehingga manfaatnya minim, tapi biayanya besar.
Matriks: Pajak Kekayaan - Obat atau Racun?
Aspek Manfaat (Obat) Kerugian (Racun)
a. Keadilan sosial mengurangi ketimpangan, sesuai prinsip ability to pay. Resistensi politik dari elite, berpotensi melemahkan legitimasi jika gagal.
b. Fiskal sumber penerimaan tambahan untuk membiayai belanja sosial & infrastruktur. Penerimaan cenderung kecil di banyak negara; biaya administrasi relatif tinggi.
c. Ekonomi redistribusi bisa meningkatkan daya beli kelas menengah & miskin.
d. Risiko capital flight, penghindaran pajak, menurunkan insentif investasi.
e. Administrasi mendorong transparansi aset & perbaikan sistem data kekayaan. Sulit valuasi aset (tanah, saham tertutup, karya seni, aset digital).
f. Politik-ekonomi menjadi simbol komitmen pemerintah melawan ketimpangan & oligarki. Bisa dipolitisasi; jika gagal, menurunkan kepercayaan publik terhadap fiskus.
Pengalaman Negara Norwegia & Spanyol masih menerapkan dengan tingkat keberhasilan tertentu. Prancis, Jerman, Swedia, Denmark mencabut karena biaya > manfaat.
3. Pengalaman Negara Lain
• Berhasil (sebagian):
o Spanyol: Wealth tax digunakan kembali pascakrisis 2008 sebagai instrumen darurat penerimaan.
o Norwegia: Masih memberlakukan pajak kekayaan, tapi didukung sistem informasi pajak yang transparan dan budaya kepatuhan tinggi.
• Gagal / Dihapus:
o Prancis: Dicabut pada 2017 karena mendorong eksodus kapital.
o Jerman, Swedia, Denmark: Menghapus karena biaya administrasi lebih besar daripada penerimaan.
4. Analisis Pragmatik
1. Jika diterapkan di Indonesia, tantangan besar:
2. Kapasitas administrasi pajak masih terbatas (data aset belum terintegrasi penuh).
3. Potensi penghindaran pajak tinggi karena lemahnya regulasi harta luar negeri.
4. Kultur kepatuhan pajak di kalangan HNWI (high net worth individuals) masih rendah.
• Namun, manfaatnya bisa signifikan, jika:
1. Basis data harta nasional (wealth registry) kuat dan transparan.
2. Diiringi kerja sama internasional (automatic exchange of information/AEOI).
3. Disertai strategi komunikasi publik yang menekankan keadilan sosial.
5. Berapa potensi Pajak Kekayaan :
Simulasi Pajak Kekayaan di Indonesia
A. Asumsi Dasar
1. Jumlah HNWI (High Net Worth Individuals)
o Menurut Capgemini World Wealth Report 2023, jumlah HNWI di Indonesia sekitar 180 ribu orang (memiliki kekayaan > US$ 1 juta ≈ Rp 15 miliar).
2. Total kekayaan HNWI Indonesia
o Berdasarkan laporan Knight Frank (2023), total kekayaan HNWI Indonesia diperkirakan sekitar US$ 600 miliar (≈ Rp 9.000 triliun). Dengan asumsi kurs US$ 1 = Rp. 15.000,-
3. Skema pajak kekayaan (hipotetis)
o Tarif 1% per tahun untuk kekayaan bersih di atas Rp 100 miliar.
o Diasumsikan 20% dari total kekayaan HNWI masuk kategori > Rp 100 miliar (karena distribusi sangat terkonsentrasi di top tier).
B. Perhitungan Kasar
• Kekayaan yang kena pajak:20% × Rp 9.000 triliun = Rp 1.800 triliun
• Potensi penerimaan pajak (1%):1% × Rp 1.800 triliun = Rp 18 triliun per tahun
C. Interpretasi
* Angka Rp 18 triliun ≈ setara dengan:
* Hampir 1,5 kali anggaran Program Keluarga Harapan (PKH) tahun 2024.
* Dapat membiayai pembangunan ribuan sekolah atau puskesmas.
* Namun, potensi ini bisa berkurang drastis karena:
* Tax avoidance: HNWI memindahkan aset ke luar negeri atau menyamarkannya.
* Kapasitas administrasi pajak: Sulit mendata dan menilai nilai wajar aset (tanah, saham non-publik, dll).
* Biaya kepatuhan: Tinggi bagi fiskus untuk mengawasi kepemilikan aset global.
6. Kesimpulan
Apakah pajak kekayaan obat atau racun?
• Sebagai obat, pajak kekayaan bisa memperluas penerimaan negara dan menekan ketimpangan, terutama bila didukung sistem data aset yang kuat dan budaya kepatuhan tinggi.
• Sebagai racun, ia bisa kontraproduktif bila diterapkan dengan administrasi lemah, menimbulkan eksodus modal, dan hanya menghasilkan penerimaan kecil dengan biaya tinggi.
Ringkasan
• Lebih banyak risikonya jika diterapkan dengan sistem perpajakan yang lemah (contoh: Indonesia saat ini).
• Lebih banyak manfaatnya bila diterapkan di negara dengan administrasi pajak yang kuat, basis data aset jelas, dan kepatuhan tinggi (contoh: Norwegia).
• Alternatif lebih realistis untuk Indonesia: memperkuat pajak penghasilan progresif, pajak warisan, dan pajak kapital gain, serta mengoptimalkan belanja negara yang efektif.
(miq/miq)