Dua Sisi Mata Uang Kepemimpinan Strategis Xi Jinping dan Prabowo

Ronny P. Sasmita CNBC Indonesia
Rabu, 10/09/2025 17:18 WIB
Ronny P. Sasmita
Ronny P. Sasmita
Ronny P. Sasmita merupakan analis senior di Indonesia Strategic and Economics Action Institution.... Selengkapnya
Foto: Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto (kiri) dan Presiden Republik Rakyat China Xi Jinping (kanan). (Dokumentasi BPMI Sekretariat Presiden)

Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto melakukan kunjungan kilat ke Beijing, China, pada malam tanggal 2 September 2025 untuk menghadiri parade militer besar di Tiananmen Square keesokan harinya dalam rangka parade commemorating 80 tahun kemenangan China atas Jepang di Perang Dunia II. Kedatangan tersebut, konon, atas undangan khusus Presiden Xi Jinping.


Awalnya sempat dikabarkan bahwa Prabowo menunda kehadirannya karena faktor demo yang berlangsung di dalam negeri sejak tanggal 25 Agustus 2025 sampai dengan 31 Agustus 2025. Namun setelah kondisi dianggap membaik dan adanya dorongan kuat dari pemerintah China, Prabowo akhirnya memutuskan untuk hadir selama satu hari lalu kembali ke Indonesia pada malam yang sama.

Pada acara tersebut tersebut, Prabowo berdiri di barisan depan berdampingan dengan Presiden Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin, sebuah posisi yang digadang-gadang oleh beberapa pengamat sebagai posisi kehormatan yang mencerminkan pentingnya hubungan strategis antara Indonesia-China di satu sisi dan hubungan unik antara Indonesia dan Rusia di sisi lain.

Kehadiran Prabowo dianggap sebagai bentuk penegasan posisi Indonesia dalam kancah diplomasi global yang semakin hari semakin multipolar, khususnya di tengah ketegangan antara kekuatan besar seperti AS dan China sekaligus eksistensi dinamika relasi strategis yang unik antara Amerika dan Rusia.

Namun di dalam negeri, kehadiran Prabowo juga menuai kritik tajam justru karena datang di tengah aksi protes besar yang terkait dengan isu korupsi, kekerasan aparat, dan ketimpangan ekonomi di Indonesia. Sehingga kunjungan tersebut juga dipandang secara sinis sebagai respons permisif Indonesia terhadap tekanan diplomatik China di satu sisi dan dinilai kurang memperhatikan urgensi krisis nasional di sisi lain.

Tapi terlepas dari perdebatan persepsi tentang kedatangan Prabowo ke Beijing dan pemosisian Prabowo oleh media Jepang yang tidak dianggap sebagai bagian dari blok perlawanan (Xi, Putin, dan Jong Un), jika didalami secara detail, memang terdapat model dan pola kepemimpinan strategis yang sama antara Prabowo dan Xi Jinping. Sehingga cukup wajar jika Prabowo enggan menolak undangan langsung dari Xi.

Bagiamana Prabowo melegitimasi kepemimpinannya dengan narasi-narasi historis dari pemimpin-pemimpin Indonesia sebelumnya, memadukannya dengan nilai-nilai ke-Indonesia-an, lalu memproyeksikannya ke masa depan di satu sisi dan ke panggung yang lebih luas di sisi lain, yakni dunia, semuanya nyaris identik dengan bagaimana Xi Jinping membangun model dan pola kepemimpinannya sejak 2013 lalu di China.

Seringkali di dalam pidatonyo, Prabowo tak pernah lupa membawa-bawa nama Sukarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, dan Jokowi, secara kronomologis dan proporsional, untuk menjelaskan keberlanjutan yang sedang ia emban dan menegaskan bahwa Prabowo adalah sistesis dari nilai-nilai baik yang dimiliki oleh semua mantan presiden Indonesia, yang tentunya diikat oleh nlai-nilai tradisional bangsa seperti asas gotong royong, tepo saliro, mendem jero, dan asas kekeluargaan.

Sehingga, diakui atau tidak, dalam konteks itulah Prabowo meramu dan merancang strategi pembangunan ekonominya, yang secara strategis memang tak benar-benar terlihat sama dengan apa yang pernah dilakukan oleh Jokowi atau presiden lainnya, karena dianggap sebagai "sistesis strategis" dari semuanya yang disatukan di dalam satu presiden, yakni Prabowo Subianto.

Disadari atau tidak, Xi Jinping juga melakukan hal yang sama di China untuk melegitimasi kekuasaannya di satu sisi dan untuk memproyeksikan kedigdayaan China di pentas global di sisi lain. Zhang Xiaotong, sebagaimana ditulis dengan sangat ciamik dan apik di dalam bukunya "China's Modern Economic Statecraft: A Wealth-Power Dialectic" (2024), menggambarkan bagaimana sintesis dari Marxist-Developmentalist (warisan Mao dan Deng) dengan tradisi klasik China (Konfusius-Mencius) menjadi gen utama di dalam kepemimpinan Xi Jinping.

Xi mewarisi dari Mao Zedong pandangan bahwa negara harus menjadi aktor utama dalam mengarahkan pembangunan. Sebagaimana diketahui, Mao menekankan mobilisasi politik dan ideologi sebagai fondasi pembangunan ekonomi, dengan menempatkan kepentingan kolektif di atas individual. Xi mengambil semangat ini dalam penekanan "peran sentral partai" yang harus mengendalikan jalannya ekonomi dan mencegah liberalisasi ekonomi politik secara berlebihan.

Dari Deng Xiaoping, kata Zhang, Xi menyerap pragmatisme dan orientasi pembangunan sebagai prioritas utama. Deng memperkenalkan prinsip yang sangat populer, yakni "tidak peduli kucing hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus" sebagai simbol fleksibilitas kebijakan demi mendapatkan pertumbuhan ekonomi yang progresif. Dan Xi melanjutkan pendekatan ini tetapi dengan penekanan baru, yaitu pembangunan harus mengabdi pada tujuan geopolitik dan kebangkitan bangsa (national rejuvenation).

Di samping itu, Zhang menunjukkan Xi juga menarik sumber inspirasi dari filosofi klasik, khususnya Konfusius dan Mencius. Dari Konfusius, Xi mengambil ide tentang harmoni sosial, hierarki moral, dan pentingnya pemerintahan yang berbudi (virtuous rule). Sementara dari Mencius, Xi menyerap gagasan legitimasi politik lahir dari kesejahteraan rakyat. Hal ini terlihat sangat jelas di dalam konsep "pembangunan yang berpusat pada rakyat" yang kini menjadi narasi resmi partai di bawah kepemimpinan Xi.

Kombinasi tradisi klasik dengan materialisme historis ala Marx yang diinterpretasi secara berbeda oleh Mao dan Deng tak pelak menciptakan dialektika baru di tangan Xi Jinping. Kekayaan negara bukan semata instrumen akumulasi kapital, melainkan juga sarana memperkuat kekuasaan negara di satu sisi dan menjaga harmoni sosial di sisi lain. Di sini, kita bisa melihat narasi Xi bahwa ekonomi sama sekali tidak bisa dipisahkan dari tatanan moral tradisional yang sudah lama melekat di dalam darah orang China dan dari strategi politik kebangsaan China.

Dengan tradisi Konfusian yang menekankan "zhongyong" (jalan tengah, moderasi), tulis Zhang, Xi menerapkan strategi kehati-hatian, terutama dalam menghindari liberalisasi yang bisa menggoyahkan stabilitas politik domestik China. Menariknya, Xi tidak menolak proses integrasi global, karena menguntungkan China secara ekonomi dan geopolitik. Tapi di saat bersamaan, Xi berusaha mengendalikannya agar tidak menimbulkan ketergantungan yang berlebihan, terutama kepada Barat. Di sisi lain, warisan Mao dan Deng memberi Xi kerangka ambisi besar tentang kebangkitan China sebagai kekuatan utama dunia.

Dalam konteks inilah bisa dipahami mengapa Xi terlihat cukup ambisius di dalam meluncurkan Program Strategis seperti Belt and Road Initiative, Made in China 2025, visi "China Dream", Dual Circulation Strategy, Common Properity, dan tak terkecuali kampanye masif anti korupsi ala Great Cultural Revolution yang berlangsung dari tahun 2013 sampai dengan 2016 lalu. Di tangan Xi, kata Zhang, moto yang semula dipakai di China, "socialism with Chinese's characteristic" berubah menjadi "developmentalism with Chinese's characteristic".

Di dalam prakteknya, Prabowo juga tak berbeda dengan Xi. Prabowo meluncurkan kebijakan efisiensi besar-besaran untuk menekan pemborosan pemerintah yang dianggap oleh Prabowo sebagai salah satu masalah berat birokrasi selama ini. Secara komparatif, kebijakan efisiensi Prabowo setara dengan kampanye antikorupsi Xi dari tahun 2013-2016, tapi dijalankan dengan cara ketimuran. Kemudian, Prabowo juga terus menggelorakan keinginannya untuk menghimpun semua kekuatan dan kekayaan negara ke tangan pemerintah, untuk dijadikan senjata pembangunan nasional.

Dan tak lupa, Prabowo terus mengutarakan "kekesalannya" kepada aktor-aktor ekonomi yang rakus dan serakah yang telah menjarah daya beli publik selama ini. Dengan kata lain, sangat terlihat jelas bahwa Prabowo sedang ingin melakukan peremajaan perekonomian nasional, setara dengan "national rejuvenation" ala Xi, agar jauh lebih perkasa dan tidak bocor di sana-sini.

Penghimpunan kekayaan ini, tidak saja dimaknai oleh Prabowo sebagai ajang untuk menyejahterakan rakyat untuk meningkatkan legitimasi di satu sisi dan harmoni sosial di sisi lain, tapi juga untuk meningkatkan daya tawar Indonesia di sisi lain, karena akan digunakan untuk membangun kekuatan industri dan keuangan yang bisa melejitkan nama Indonesia di dalam tatanan ekonomi global.

Tak lupa, sebagaimana sering dikatakan Prabowo, semua itu hanya bisa dicapai dengan jalan "gotong royong" di satu sisi dan semua penyelesaian masalah harus dalam kerangka kekeluargaan di sisi lain. Dan dalam hemat saya, di sinilah perbedaan sekaligus kesamaan Prabowo dengan Xi. Bagaimanapun, sejarah setiap bangsa memang tak sama, sehingga buah dari sistesis yang dilakukan oleh Prabowo dan Xi tetap akan berujung pada praktek yang berlainan.

Kesamaannya adalah sama-sama diambil dari nilai-nilai tradisional dan luhur domestik. Tapi apa yang membuat keduanya berbeda pada ujungnya? Dalam hemat saya pembedanya adalah sebagian pada Gen Institusional di satu sisi dan arah yang ingin dituju di sisi lain.

Istilah Gen Institusional ini diperkenalkan oleh Chenggang Xu di dalam buku barunya "Institutional Genes: Origins of China's Institutions and Totalitarianism" (2025) untuk menjawab pertanyaan mengapa China, sekalipun sudah mengalami modernisasi, tidak berhasil bertransformasi menjadi negara demokrasi sebagaimana diharapkan oleh pemikir-pemikir liberal barat. Jawabannya, kata Xu, adalah perbedaan pada Gen Institusional.

Gen institusional China hari ini mewarisi perpaduan dua gen besar, yakni tradisi kekuasaan sentralistis dinasti yang sangat kuat di satu sisi dengan tradisi otoritarianisme leninisme yang justru semakin menguatkannya di sisi lain. Sehingga ketika era reformasi ekonomi datang di penghujung tahun 1970an, yang terjadi justru penjinakan terhadap proses liberalisasi dan penjinakan kapitalisme, bukan sebaliknya. Dengan kata lain, demokrasi bukanlah arah yang secara geneologis akan dituju oleh China karena transformasi menjadi negara demokrasi justru tidak sesuai dengan gen institusional China.

China memiliki tradisi sentralisasi yang kuat sejak era dinasti awal. Model ini berakar pada kebutuhan pengendalian sumber daya pertanian, khususnya dalam pengelolaan irigasi dan pajak agraria. Dari sinilah terbentuk struktur birokrasi yang luas dan hierarkis, yang menjadi salah satu "gen" kelembagaan utama dalam sejarah China yang masih melekat sampai hari ini di dalam pemerintahannya. Lalu, gen institusional ini menyatu dengan gen leninisme yang juga tak kalah kuatnya pascakemerdekaan 1949.

Di sinilah letak perbedaan fundamental antara "gen kelembagaan" China dan Barat, kata Xu. Barat mengenal kompetisi antara lembaga politik, agama, dan ekonomi, sementara China cenderung mengembangkan model integratif dan subordinatif di seluruh aspek kehidupan ke dalam negara. Dan pada bagian ini pula letak perbedaan struktural antara sistesis yang telah melahirkan kembali China melalui kepemimpinan baru Xi Jinping dengan Indonesia melalui kepemimpinan sistetik Prabowo.

Indonesia mewarisi tradisi kerajaan yang terfrakmentasi secara regional dan religius, yang kemudian dijahit oleh kolonialisme Belanda selama ratusan tahun, lalu berpadu di dalam pemerintahan pascakolonial yang sulit untuk mewujudkan mimpi demokrasi, karena tak didukung oleh gen institusional yang dibutuhkan untuk terwujudnya tatanan demokratis yang substansial.

Bahkan Benedict Anderson dan para pengikutnya menyebut bahwa gen institusional kekuasaan di Indonesia adalah genetis kekuasaan Jawa yang sentralistis. Gen ini kemudian berpadu dengan spirit birokrasi Weberian dan roh militeristik penjajahan Jepang. Walhasil demokrasi terpimpin dan otoritarianisme ala Orde Baru menjadi dua proyek yang berhasil terwujud, sekalipun di dalam konstitusi disebutkan arahnya sebenarnya adalah negara demokrastis.

Dengan kata lain, antara Indonesia dan China memiliki sebagian gen yang sama, tapi sebagian lainnya berbeda. Sentralisme Indonesia tak sekuat China, karena tradisi kekuasaan kerajaan yang juga tak sekuat dinasti-dinasti di China. Lalu China tak benar-benar memasukkan demokrasi ala barat ke dalam konstitusinya, sehingga tujuan yang ingin dituju selaras dengan gen yang membentuk pemerintahannya.

Sementara Indonesia menyertakan sebagian spirit demokrasi liberal ke dalam konstitusinya, sementara gen institusionalnya tak mendukung. Sehingga acap kali terjadi ketegangan antara aspirasi demokratis dengan ambisi sentralistis di dalam dinamika kekuasaan.

Jadi pendeknya, ternyata dengan gen institusional dan sistesis kepemimpinan nasional Xi berhasil membawa China ke pentas global dengan daya tawar yang luar biasa, tapi berada dalam posisi yang tak sama dengan Amerika layaknya Jepang 50 tahun lalu. Dan China memang pernah berada di posisi itu, jauh hari sebelum kemajuan dunia barat di-trigger oleh revolusi industri di Inggris. Hari ini, Prabowo nampaknya juga ingin menegaskan bahwa sistesis kepemimpinannya akan membawa Indonesia ke posisi serupa. Hanya saja, kita semua mengetahui dengan pasti akan seperti apa bentuknya nanti.


(miq/miq)