Momentum Efisiensi Presiden Prabowo

Dr. Anggawira CNBC Indonesia
Senin, 08/09/2025 10:25 WIB
Dr. Anggawira
Dr. Anggawira
Dr. Anggawira merupakan pemimpin di dunia bisnis dan berbagai organisasi. Ia dipercaya sebagai Sekretaris Jenderal HIPMI 2022-2025 dan Ketua... Selengkapnya
Foto: Presiden Prabowo Subianto. (BPMI Sekretariat Presiden)

Gelombang protes sosial beberapa pekan terakhir mencerminkan keresahan rakyat atas ketimpangan. Publik terusik ketika mendengar rencana pemberian tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan bagi anggota DPR-hampir sepuluh kali lipat upah minimum Jakarta. Di tengah ekonomi rakyat yang seret, kebijakan seperti itu terasa mencederai rasa keadilan.

Di saat itulah Presiden Prabowo Subianto bergerak cepat. Ia mencabut tunjangan perumahan DPR serta menghentikan perjalanan dinas luar negeri yang boros. Tapi sebenarnya, langkah efisiensi sudah lebih dulu ia mulai: penghapusan tantiem bagi komisaris dan direksi BUMN. Kebijakan ini merupakan sinyal politik yang jelas-era fasilitas berlebihan sudah harus berakhir.



Efisiensi Bukan Pemangkasan Membabi Buta
Data DPR mencatat, pendapatan bruto anggota dewan mencapai Rp 74,21 juta per bulan, dengan take home pay sekitar Rp 65,6 juta setelah pajak. Ditambah tunjangan lain, angka itu bisa tembus Rp 100 juta hingga Rp 230 juta per bulan. DPRD DKI Jakarta bahkan lebih tinggi, dengan tunjangan perumahan Rp 70,4 juta-Rp 78,8 juta, membuat total pendapatan anggota bisa mencapai Rp 139 juta per bulan. Kontras dengan rata-rata upah nasional Rp 3,1 juta per bulan (BPS, 2025).

Namun, efisiensi tidak berarti memangkas secara brutal. Negara tetap berkewajiban menjamin gaji layak bagi birokrasi agar profesional, berintegritas, dan tidak tergoda praktik rente. Bedanya, fasilitas harus proporsional:
1. Housing allowance terbatas, berbasis kebutuhan dan harga pasar.
2. Reimbursement transportasi dengan bukti pengeluaran riil.
3. Insentif berbasis kinerja, bukan privilese statis.

Mahalnya Biaya Politik: Akar Masalah
Namun, efisiensi tunjangan hanyalah permukaan. Akar masalah ada pada biaya politik dan pemilu yang sangat mahal. Untuk menjadi anggota DPR, caleg bisa menghabiskan Rp 5 miliar hingga Rp 10 miliar per kursi. Biaya selangit ini mendorong logika "balik modal" begitu terpilih-melalui proyek, rente, atau tunjangan.

Maka, reformasi efisiensi harus dibarengi reformasi pendanaan politik:
• Pembiayaan kampanye sebagian ditanggung negara dengan batas wajar.
• Transparansi dan audit dana kampanye diperketat.
• Pembatasan sumbangan dari pihak swasta atau oligarki.

Tanpa itu, beban biaya politik akan terus melahirkan perilaku boros dan tidak pro-rakyat.

Menuju Servant Leadership
Prabowo sudah memberi contoh dengan menghapus tantiem dan mencabut tunjangan DPR. Namun yang lebih penting adalah arah besar yang ingin dibangun: menuju servant leadership-pemimpin sebagai pelayan rakyat, bukan penikmat privilese.

Seorang servant leader tidak mengukur keberhasilan dari fasilitas yang dinikmati, melainkan dari kebijakan yang meringankan beban rakyat. Dalam paradigma ini, efisiensi bukan sekadar hemat anggaran, melainkan bentuk keadilan sosial.

Belajar dari Negara Lain
• Singapura memberi gaji tinggi, tetapi menghapus fasilitas berlebihan.
• Vietnam memotong 10% belanja birokrasi untuk dialihkan ke belanja produktif.
• Eropa Barat banyak menghapus tunjangan seumur hidup pejabat, menggantinya dengan sistem pensiun terbatas.

Indonesia bisa meniru: bukan memiskinkan pejabat, tapi menormalkan agar proporsional, transparan, dan akuntabel.

Momentum Emas
Efisiensi yang dimulai dari penghapusan tantiem hingga pencabutan tunjangan DPR adalah langkah awal. Namun pekerjaan besar masih menanti: merevisi aturan tunjangan, menata ulang skema gaji birokrasi, sekaligus mereformasi biaya politik.

Gelombang protes rakyat jangan dijawab dengan retorika, melainkan dengan reformasi substantif. Dengan momentum emas ini, Presiden Prabowo bisa mewariskan jejak sejarah: melahirkan birokrasi ramping, politik bermartabat, dan kepemimpinan yang melayani rakyat.



(miq/miq)