Risiko BUMN Industri Pertahanan dalam Impor Sistem Senjata

Alman Helvas Ali CNBC Indonesia
Selasa, 02/09/2025 08:16 WIB
Alman Helvas Ali
Alman Helvas Ali
Alman Helvas Ali adalah konsultan pada Marapi Consulting and Advisory dengan spesialisasi pada defense industry and market. Pernah menjadi C... Selengkapnya
Foto: Taksi terbang Vela Alpha ditampilkan dalam acara pameran industri pertahanan Internasional Indo Defence Expo & Forum 2025 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Kamis (12/6/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Penyediaan dana Rupiah Murni Pendamping (RMP) bagi aktivitas impor sistem senjata yang menggunakan skema Pinjaman Luar Negeri (PLN) adalah salah satu tantangan ketika alokasi Blue Book bagi Kementerian Pertahanan melonjak dari US$7,74 miliar pada periode 2015-2019 menjadi US$25 miliar pada kurun 2020-2024.

Pelaksanaan APBN 2025 menunjukkan bahwa penyediaan RMP tidak mudah walaupun nilai RMP telah diturunkan dari 15 persen menjadi 7,5 persen. Sedangkan sisanya dibayar melalui penerbitan letter of credit.


Akibat tantangan tersebut, pada tahun ini hanya ada sekitar lima kontrak pengadaan saja yang dapat diaktivasi karena keterbatasan RMP, di mana kontrak yang diaktivasi hanya merupakan kontrak-kontrak yang dipandang sebagai prioritas oleh Kementerian Pertahanan. Keterbatasan RMP terjadi di saat outlook anggaran pertahanan mencapai Rp247,525 triliun meskipun pagu anggaran adalah Rp166,3 triliun.

Guna mengatasi isu RMP, sejak beberapa bulan silam Kementerian Pertahanan dan Kementerian Keuangan telah membahas kemungkinan penggunaan 100 persen pinjaman untuk PLN. Dalam perkembangan terakhir, Kementerian Pertahanan akan memakai skema 100 persen pinjaman untuk PLN pada TA 2026 sehingga tidak dibutuhkan lagi RMP.

Adopsi kebijakan baru tersebut sebenarnya bukan disebabkan oleh ketiadaan anggaran bagi RMP, namun karena dana yang dapat dialokasikan bagi RMP diprioritaskan pada kegiatan belanja lainnya. Sebagai ilustrasi, pada TA 2025 dana RMP berasal dari Anggaran Belanja Tambahan dan bukan bersumber dari BA BUN.

Secara teori, kebijakan baru tentang RMP akan memudahkan aktivasi puluhan kontrak impor senjata yang dibiayai oleh PLN periode 2020-2025. Akan tetapi, penggunaan RMP 100 persen pinjaman tergantung kontrak per kontrak, di mana tidak semua kontrak memiliki tawaran bunga per tahun yang rendah dari lender.

Semakin tinggi risiko suatu utang yang akan diambil oleh Indonesia, maka secara otomatis tawaran bunga per tahun yang ditawarkan juga akan semakin tinggi. Pertanyaannya adalah seberapa besar porsi utang dengan resiko tinggi dari total utang yang akan ditarik oleh Kementerian Keuangan untuk Kementerian Pertahanan pada tahun depan?

Terkait dengan pengadaan yang dibiayai oleh PLN, BUMN industri pertahanan terkadang memiliki peran signifikan dalam kegiatan impor sistem senjata di luar urusan tentang kandungan lokal dan offset. Didorong oleh niat untuk memajukan industri pertahanan lokal, dalam kasus tertentu Kementerian Pertahanan memberikan kontrak akuisisi sistem senjata kepada firma pertahanan milik negara walaupun tidak membuat produk yang hendak dibeli.

Selaku penerima kontrak, perusahaan tersebut selanjutnya menandatangani kontrak dengan firma asing yang mempunyai portofolio produk yang dimaksud dalam kontrak dengan Kementerian Pertahanan. Model bisnis seperti ini terjadi dalam beberapa program pengadaan yang menggunakan skema PLN pada MEF 2020-2024, di mana terkadang muncul sejumlah resiko bagi firma BUMN tersebut.

Pertama, risiko keuangan. Dengan peran sebagai kontraktor utama, perusahaan pertahanan BUMN mempunyai sejumlah kewajiban keuangan yang harus ditunaikan kepada firma asing yang bertindak sebagai subkontraktor dan kepada Kementerian Pertahanan selaku pemberi kontrak.

Kewajiban yang harus diselesaikan bukan sekedar membayar uang muka kepada sub kontraktor dan menyetor uang jaminan pelaksanaan kepada Kementerian Pertahanan, tetapi pula sejumlah kegiatan lain yang disepakati dengan subkontraktor seperti pembangunan fasilitas fisik.

Sementara itu, sebagian besar BUMN industri pertahanan memiliki cashflow yang tidak bagus, meskipun mempunyai laporan keuangan yang bagus, sehingga memunculkan risiko finansial terkait dengan kewajiban-kewajiban sebagai kontraktor utama.

Kedua, risiko penyelesaian program. Untuk program pengadaan yang kompleks di mana peralatan pertahanan tidak dapat berfungsi apabila satu atau beberapa sub sistem tidak tersedia, jadwal penyelesaian program sesuai dengan kontrak memiliki potensi untuk meleset.

Potensi tersebut antara lain disumbangkan oleh faktor resiko finansial yang menghantui firma pertahanan BUMN, di mana hal demikian nyata untuk beberapa program pengadaan yang tengah berjalan saat ini.

Situasi itu berimbas pula kepada subkontraktor, di mana pihak ini harus menanggung biaya tambahan terkait dengan penyimpanan barang, sebab produk yang mereka manufaktur belum dapat dikirimkan ke Indonesia selama infrastruktur yang mendukung peralatan pertahanan yang diimpor belum tersedia di sini.

Ketiga, risiko kerugian program. Alih-alih mendapatkan keuntungan finansial dalam program pengadaan sistem senjata dengan menjadikan BUMN industri pertahanan sebagai kontraktor utama, firma pertahanan milik negara memiliki potensi mengalami kerugian. Hal demikian disebabkan setidaknya oleh dua resiko yang sudah dijelaskan sebelumnya, di mana hal risiko buruk dapat tercipta apabila manajemen risiko tidak diterapkan sejak dini.

Persoalan manajemen risiko selalu menjadi tantangan bagi perusahaan pertahanan milik negara, apalagi bagi program di mana perseroan ditempatkan sebagai kontraktor utama dan membawahi sub kontraktor yang sebenarnya memproduksi peralatan pertahanan yang dipesan oleh Kementerian Pertahanan.

Kebijakan Kementerian Pertahanan menunjuk BUMN industri pertahanan sebagai kontraktor utama untuk akuisisi sistem senjata yang sejatinya diproduksi oleh pabrikan asing mempunyai potensi keuntungan dan kerugian sekaligus. Potensi keuntungan dapat terjadi apabila perseroan pertahanan milik negara mampu menerapkan manajemen risiko terhadap program yang diberikan oleh pemerintah.

Adapun potensi kerugian bisa berasal dari manajemen risiko yang tidak cermat di tengah tantangan kondisi finansial perseroan, sehingga memunculkan kemungkinan dilakukannya pola gali lubang tutup lubang oleh kontraktor utama. Potensi risiko demikian memunculkan pula kemungkinan terlambatnya fase penyerahan peralatan pertahanan kepada Kementerian Pertahanan sehingga mengganggu jadwal Initial Operational Capability dan Full Operational Capability.

Dalam hal penetapan industri pertahanan BUMN sebagai kontraktor utama oleh Kementerian Pertahanan bagi produk peralatan pertahanan yang diproduksi oleh produsen luar negeri, sebaiknya kontraktor utama mempunyai kapasitas manufaktur yang dapat mendukung Original Equipment Manufacturer (OEM). Misalnya kemampuan untuk melakukan produksi komponen-komponen tertentu, terlepas apakah kegiatan tersebut tercakup dalam offset atau tidak.

Pada kasus tertentu, peran kontraktor utama lebih untuk membangun infrastruktur fisik yang tentu saja tidak memerlukan syarat kemampuan manufaktur maju. Andaikata kontraktor utama hanya berperan guna mendirikan infrastruktur fisik, tidak ada keuntungan dari aspek manufaktur bagi firma milik negara yang berperan sebagai kontraktor utama.


(miq/miq)