Antara Kepemimpinan Algoritma dan Kepemimpinan Berkesadaran

Suparjono, CNBC Indonesia
02 September 2025 05:10
Suparjono
Suparjono
Suparjono merupakan Praktisi Human Capital yang memiliki pengalaman selama 13 tahun. Ia sempat berkecimpung di Corporate Secretary & Legal selama empat tahun dan saat ini kembali ke dunia Human Capital dan stakeholder management di Pertamina Group. Lulus.. Selengkapnya
Sejumlah karyawan melihat gedung bertingkat yang tertutup oleh kabut polusi di Jakarta, Senin, (14/8). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi gedung bertingkat di Jakarta, beberapa waktu lalu. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Dinamika permodelan kepemimpinan akhir-akhir ini menjadi isu yang cukup hangat diperbincangkan baik pada sektor publik, sektor korporasi, maupun privat. Seolah tidak pernah habis pembahasan tentang permodelan kepemimpinan yang ideal di era penuh bertebaran informasi yang cenderung tuna substansi.

Beberapa contoh yang beredar baik di media arus utama maupun media sosial bagaimana ruang publik memperlihatkan ketidakmampuan pemimpin dalam mengelola wilayahnya dengan segala latar belakangnya. Ada korporasi yang tertekan akibat missed management sampai berujung pailit, karena ketidakmampuan pemimpin dalam mengelola aktivitas korporasi. Bahkan Ada juga sektor privat yang menghiasi media sosial atas ketidakmampuan pemimpin dalam mengelola keluarganya.

Dinamika kepemimpinan tersebut tentu tidak bisa kita tarik kesimpulan secara generik diakibatkan oleh personifikasi orang per orang atau entitas. Dinamika tersebut perlu kita lihat secara komprehensif baik aspek atribut yang melekat pada manusianya dengan konteks yang melingkupinya.

Sehingga kita bisa melihat duduk persoalannya secara proporsional. Apakah dua kutub (manusia dan konteks) tersebut terkoneksi secara harmonis atau sebaliknya kedua kutub saling dorong mendorong dan saling menegasikan.

Apabila kedua kutub tersebut tidak saling menguatkan tentu jalannya proses kepemimpinan akan berpotensi mengalami kendala yang cukup dinamis. Namun demikian, jika kedua kutub tersebut terkoneksi dengan baik maka potensi besar akan berdampak pada keberlanjutan sebuah entitas atau kelompok.

Lingkungan kepemimpinan
Lingkungan kepemimpinan mempunyai kecenderungan yang cukup berpengaruh dalam model kepemimpinan di masa kini. Arus informasi yang cukup masif dan kemampuan setiap individu bisa memposisikan diri sebagai pewarta tanpa menunggu wartawan atau jurnalis agar bisa menjadi berita lokal, nasional maupun global.

Ditambah dengan lingkungan yang boundaryless sebagai konsekuensi dari masa peralihan revolusi industri 4.0 berbasis internet of thing (IoT) dan artificial intelligence (AI), tentu model kepemimpinan tidak seperti pada masa-masa sebelum munculnya internet of thing. Mempertajam pisau analisa dalam melihat kondisi lingkungan dimana kita berada sangat memengaruhi ketajaman pemimpin dalam mengambil keputusan.

Dengan menggunakan pisau analisis yang sesuai dengan kondisi, tentu akan memberikan efektifitas dalam pengambilan Keputusan. Seperti halnya pisau buah digunakan untuk memotong buah, atau ketajaman gergaji untuk memotong kayu. Seperti halnya ketajaman pisau analisa pengambilan keputusan pun tidak bisa digunakan pada lingkungan yang berbeda.

Konteks lingkungan kepemimpinan saat ini yang dikelilingi ketidakpastian, banyaknya variable yang meliputinya seringkali menggoda untuk memperlambat pengambilan keputusan dan mengambil pendekatan menunggu sambil melihat momentum yang tepat atau seringkali menggunakan management by objective (MBO) dengan menyederhanakan hanya berfokus pada hasil akhir.

Kondisi demikian terjadi karena dukungan teknologi yang memadai dan masifnya penggunaan AI. Para pemimpin kini tentu mengetahui IA dibangun dari algoritma yang tersusun dari serangkaian instruksi atau langkah-langkah sistematis, jelas dan logis yang dirancang untuk menyelesaikan masalah atau mencapai tujuan tertentu.

Lingkungan kepemimpinan yang berbasis algoritma an sich memang sangat mudah untuk memotong proses pengambilan keputusan tetapi hal tersebut berpotensi menimbulkan penurunan "rasa" dalam mengambil keputusan. Penurunan rasa akibat pengambilan keputusan akan berpotensi menimbulkan berbagai dinamika yang terjadi.

Sebagai contoh pada sektor publik tidak diperhatikannya suasana kebatinan masyarakat bagaimana dalam menetapkan kebijakan publik dapat menimbulkan dinamika sosial, pada sektor korporasi diabaikannya pengakuan terhadap kinerja pekerja berpotensi menimbulkan demotivasi dan turn over yang tinggi. Oleh sebab itu, lingkungan kepemimpinan perlu menjadi navigasi penting dalam mengambil keputusan bagi para pemimpin

Kepemimpinan Algoritma
Fenomena viral, FOMO (Fear of Missing Out) dan budaya popular lainnya merupakan kondisi yang sedikit banyak mampu mengubah cara pandang dan cara memahami realitas pada masing-masing individu dalam memimpin. Seringkali pemimpin mengalami overthinking yang berdampak pada pengambilan keputusan yang mungkin saja tidak sesuai dengan latar belakang yang dimiliki setiap pemimpin.

Alih-alih menjadi berbeda kemudian hilang jati dirinya yang otentik. Padahal keunikan atau otentifikasi pada masing-masing yang melekat pada para pemimpin mampu memberikan peluang yang besar bagi solusi di setiap ruang dan waktu. Keunikan atau keotentikan seorang individu yang mampu memimpin sering disebut dengan talenta (talent) merupakan atribut yang by design akan bisa mengoptimalkan setiap ruang dan waktu agar lebih berdaya guna.

Sejatinya kepemimpinan algoritma jika dipahami dengan seksama dapatlah kita sebut sebagai cara memimpin dalam menggunakan data yang tersusun dari serangkaian instruksi atau langkah-langkah sistematis, jelas dan logis yang dirancang untuk menyelesaikan masalah atau mencapai tujuan tertentu.

Data dan fakta inilah kemudian diolah oleh teknologi AI untuk membuat alternatif keputusan yang memiliki tingkat risiko paling kecil dalam mencapai tujuan. Jika penggunaan algoritma ini menjadi satu-satunya alat dalam pengambilan keputusan, di sinilah awal mula dinamika sosial maupun korporasi muncul.

Keunikan dan otentitas kepemimpinan menjadi tak terlihat dengan jelas untuk tidak mengatakan hilang sama sekali. Keputusan yang dihasilkan dari proses an sich menggunakan algoritma selalu dalam ukuran kuantitas yang mungkin jauh dari "rasa kemanusiaan".

Tak hanya itu, konteks dari keputusan yang diambil seringkali tidak sesuai dengan kondisi kekinian dan kedisinian. Apalagi jika cara mengomunikasikannya juga tidak secara presisi disampaikan dengan kondisi lingkungan. Alih-alih berniat baik perdebatan panjang cenderung kontrakproduktif akan menghantui setiap keputusan yang dihasilkan.

Keberlanjutan
Seseorang jika diberikan amanah untuk memimpin tentu berharap akan menjaga keberlanjutannya sampai masa yang telah ditentukan. Bahkan pascaberakhirnya masa kepemimpinan berharap terus terjaga legasi yang telah dituliskan dalam sejarah para penerusnya.

Kondisi tersebut tentu tidak serta merta hadir dalam ruang hampa, perlu ada ikhtiar yang efektif untuk mewujudkannya. Oleh sebab itu, lingkungan kepemimpinan perlu kita cermati sebagai bagian tidak terpisahkan dari konteks yang harus menjadi perhatian bagi seorang pemimpin agar keberlanjutan kepemimpinan dapat mewujud.

Keberlanjutan kepemimpinan jangan dipersonifikasikan sebagai keberadaan fisik seorang pemimpin tetapi legasi dan kontribusi atas kepemimpinan yang pernah terjadi mempunyai relasi yang solid dengan masa kini dan masa depan meskipun sudah tidak menjabat lagi. Dalam konteks ini maka diperlukan adanya "Kepemimpinan Berkesadaran" dalam setiap individu yang akan memimpin individu, kelompok, lembaga publik dan korporasi.

Kemimpinan berkesadaran menjadi penting dalam melihat, mencermati dan membaca setiap fenomena yang terjadi di lingkungan dimana kepemimpinan itu berada. Penggunaan AI dalam memproses setiap data dan fakta atas fenomena yang terjadi perlu dilekatkan kepada kepemimpinan berkesadaran.

Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk melakukan analisa kembali atas algoritma yang dibangun dari data dan fakta yang diolah secara digital dalam mengambil dan menetapkan keputusan. Artinya perlu adanya keseimbangan antara algoritma yang dibangun sebagai otaknya dengan suasananya kebatinan lingkungan sebagai hatinya.

Kedua kutub ini menjadi keniscayaan untuk dilekatkan dan dikawinkan sebagai upaya dalam menghadirkan kepemimpinan berkesadaran. Sehingga keberlanjutan kepemimpinan akan secara alami mengalami perjalanan yang panjang dalam menemukan titik-titik makna dan rasa tanpa dinamika yang kontraproduktif.

Pertemuan kepemimpinan algoritma dengan kepemimpinan berkesadaran menjadi hal yang sangat mungkin terjadi. Keduanya bersaudara dalam ruang dan waktu sehingga jaringan dan alur kerjanya bisa bertemu dalam satu titik persimpangan.

Keduanya bisa saling melepaskan kepentingan-kepentingan sesaat dan sesatnya untuk mengkolaborasikan dan mensinergikan nilai-nilai yang lebih universal akan tujuan panjangnya. Tujuan yang tidak hanya berhenti kepada hitungan tahun seperti rencana kerja tahunan, atau rencana kerja lima tahunan atau sepuluh tahun, tetapi tujuan dari pertemuan kedua kutub adalah sepanjang mungkin selama kehidupan ini masih ada.

Oleh sebab itu, mari kita melihat setiap talenta yang akan atau yang sudah menempati peran sebagai pengambil keputusan agar melihat kembali secara hati-hati kepemimpinan algoritma dan kepemimpinan berkesadaran. Sehingga keberlanjutan kepemimpinan algoritma meniscayakan kepemimpinan berkesadaran agar dapat berdaya guna untuk menghasilkan keputusan yang membawa kemaslahatan bagi umat manusia di manapun berada. Semoga!


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation