Ketidakjelasan Pajak di Balik Distribusi Royalti Musik

Karsino CNBC Indonesia
Jumat, 22/08/2025 11:37 WIB
Karsino
Karsino
Hobi nonton sepak bola, khususnya Liga Inggris. Sempat meniti karier di Direktorat Jenderal Pajak, Fans The Gunners ini sekarang bernaung di... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi musik di era digital. (Arie Pratama/CNBC Indonesia)

Suasana pusat perbelanjaan yang biasanya riuh dengan alunan musik kini berubah hening. Beberapa restoran memilih mematikan speaker, bukan karena kehilangan selera hiburan, melainkan lantaran takut terjerat sengketa royalti.


Namun, di balik gegap gempita isu pembayaran hak cipta yang menyeret musisi, pengusaha, hingga pemilik waralaba besar itu, muncul satu persoalan lain yang tak kalah penting, bagaimana kepastian hukum pajak yang melekat pada royalti itu sendiri.

Industri musik begitu juga industri pada umumnya dan pajak, memang bak aur dengan tebing, satu sama lain saling berhubungan. Ketika kegiatan industri bergulir dan ekonomi tumbuh maka penerimaan pajak juga akan terdampak positif.

Industri musik Indonesia terus menunjukkan geliat yang positif, terutama di era digital. Di balik jutaan lagu yang mengalun di berbagai platform digital itu ada hak ekonomi yang melekat bagi penciptanya. Hak ini menjelma menjadi royalti, sebuah wujud penghargaan sekaligus pengakuan atas karya intelektual.

Di Indonesia, mekanisme pengumpulan dan distribusi royalti musik relatif telah tertata, yaitu melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Namun, satu aspek krusial masih menggantung dalam ketidakpastian, yaitu pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23.

Ketiadaan aturan teknis yang spesifik dari Kementerian Keuangan mengenai alur ini menciptakan keraguan dan potensi hilangnya penerimaan negara yang signifikan.

Alur Distribusi Royalti
Untuk mengatur peredaran nilai ini, Indonesia telah memiliki mekanisme pengumpulan royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, LMKN merupakan lembaga yang berwenang menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti dari para pengguna komersial, mulai dari stasiun TV, radio, hotel, restoran, hingga penyelenggara konser.

Setelah itu, LMKN menyalurkan dana ke Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang lebih spesifik, seperti Karya Cipta Indonesia (KCI), Wahana Musik Indonesia (WAMI), atau Royalti Anugerah Indonesia (RAI). Baru dari LMK inilah royalti diteruskan ke pencipta lagu, musisi, produser, atau pemegang hak terkait lainnya.

Secara konsep, alurnya jelas. Namun, ketika masuk ke ranah perpajakan, muncul pertanyaan besar: siapa yang wajib memotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 atas royalti tersebut?

Dilema Pemotongan PPh Pasal 23
Menurut ketentuan perpajakan, royalti termasuk objek PPh Pasal 23 dengan tarif 15% dari jumlah bruto. Artinya, setiap kali ada pembayaran royalti, seharusnya dilakukan pemotongan pajak. Namun, karena alur distribusi royalti melibatkan beberapa perantara, muncullah kebingungan: pada tahap mana pemotongan itu harus terjadi? Ada setidaknya tiga skenario yang kerap diperdebatkan.

Pertama, pajak dipotong sejak awal, yaitu ketika pengguna komersial membayar royalti ke LMKN. Secara sederhana, ini memang paling langsung. Namun, tantangan besarnya adalah rekonsiliasi. LMKN bukan penerima penghasilan akhir, melainkan hanya perantara. Jika pemotongan dilakukan di sini, administrasi menjadi rumit dan berisiko menimbulkan selisih data.

Kedua, pajak dipotong oleh LMKN saat menyalurkan dana ke LMK. Skenario ini sedikit lebih masuk akal, tetapi tantangannya sama. LMK juga bukan penerima akhir, melainkan sekadar pengelola dana titipan.

Ketiga, pajak baru dipotong oleh LMK saat membagikan royalti kepada para pencipta lagu atau pemilik hak cipta. Inilah skema yang dinilai paling logis, karena pada titik inilah penghasilan benar-benar diterima oleh subjek pajak yang sah. Namun, tanpa aturan tegas dari Kementerian Keuangan, praktik di lapangan bisa berbeda-beda.

Sebagian LMK mungkin memotong, sebagian lagi tidak. Ketidakseragaman inilah yang berpotensi memicu sengketa di kemudian hari. Namun, karena tidak adanya penegasan dari otoritas pajak, praktik di lapangan bisa jadi tidak seragam dan berpotensi menimbulkan sengketa di kemudian hari.

Bukan Pajak Final
Masalah lain yang tak kalah penting adalah sifat PPh Pasal 23 atas royalti. Banyak pencipta lagu atau musisi yang beranggapan bahwa pemotongan 15% adalah kewajiban akhir. Padahal, pajak ini tidak bersifat final.

Artinya, potongan tersebut hanyalah angsuran atau kredit pajak. Penerima royalti tetap wajib melaporkan seluruh penghasilannya dalam SPT Tahunan, dihitung dari jumlah bruto sebelum dipotong. Bukti potong yang diterima dari LMK hanya berfungsi sebagai pengurang pajak terutang di akhir tahun.

Konsekuensinya jelas. Jika total pajak terutang lebih besar daripada kredit pajak, pemilik hak cipta harus menambah setoran. Sebaliknya, jika lebih kecil, akan timbul status lebih bayar. Situasi ini bisa membingungkan, terutama bagi musisi atau pencipta lagu yang tidak terbiasa dengan administrasi pajak.

Kepastian Regulasi
Potensi penerimaan pajak dari royalti musik tidak bisa dianggap kecil. Industri ini tumbuh pesat seiring perkembangan digital. Semakin banyak platform streaming, konser, dan penggunaan musik di ruang publik, semakin besar pula nilai royalti yang berputar. Tanpa regulasi yang jelas, negara bisa kehilangan peluang penerimaan, sementara para pelaku industri terjebak dalam ketidakpastian.

Solusi yang realistis adalah penerbitan aturan teknis, entah dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) atau Peraturan Dirjen Pajak, yang secara tegas mengatur:

* Siapa pemotong PPh Pasal 23 atas royalti,
* Pada tahap mana pemotongan dilakukan, dan
* Dasar pengenaan pajaknya.

Kejelasan ini akan memberi kepastian hukum bagi semua pihak. Pengguna komersial tahu kewajibannya, LMKN dan LMK punya pedoman administrasi, dan pencipta lagu tidak lagi gamang menghadapi kewajiban pajak. Pada saat yang sama, negara dapat mengamankan potensi penerimaan yang selama ini mungkin terlewat.

Pada akhirnya, musik dan pajak mungkin berbicara dalam bahasa yang berbeda. Namun, keduanya membutuhkan harmoni agar dapat berjalan seiring. Royalti yang dihargai dan pajak yang dikelola dengan adil adalah kunci keberlanjutan industri kreatif Indonesia.


(miq/miq)