Menepati Janji Kemerdekaan Energi di Indonesia

Larassita Damayanti, CNBC Indonesia
21 August 2025 05:10
Larassita Damayanti
Larassita Damayanti
Larassita Damayanti merupakan dosen Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sriwijaya. Opini yang disampaikan merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili institusi tempat penulis bekerja... Selengkapnya
kilang minyak
Foto: Ilustrasi kilang. (Aristya Rahadian Krisabella/CNBC Indonesia)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Masih dalam semarak kemerdekaan, momen ini menjadi refleksi bagi negara, kilas balik perjalanan panjang ketika proklamator mendirikan negeri ini. Saat itu, konstitusi dibuat untuk memastikan bahwa negara hadir dengan segala upayanya untuk menyejahterakan masyarakat, termasuk pada pengelolaan sektor energi.

Kini setelah 80 tahun berlalu, apakah janji kemerdekaan energi seperti yang tertuang pada Undang-Undang Dasar pasal 33 ayat 3 bahwa "Bumi, air, kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat" sudah terlaksana?

Realisasi janji tersebut setidaknya dapat dilihat dari dua indikator yaitu akses terhadap energi dan ketersediaan cadangan energi. Pada indikator pertama, penting untuk memastikan bahwa energi tidak hanya tersedia (available) tetapi juga terjangkau (affordable).

Artinya, suplai energi harus bisa dijangkau oleh seluruh rakyat, termasuk penduduk yang tinggal di daerah 3 T (tertinggal, terdepan, terluar). Selain itu, aspek keadilan harga juga berperan vital karena hal ini akan berdampak pada daya beli masyarakat, utamanya bagi masyarakat rentan.

Pada indikator kedua, label rich-resource country yang dilekatkan pada Indonesia memberikan peluang dan tantangan. Dalam hal ini, Indonesia dituntut untuk memiliki manajemen pengelolaan sektor ekstraktif yang mumpuni untuk mengurangi ketergantungan terhadap konsumsi energi fosil.

Sehingga alternatif yang dapat dilakukan adalah eksplorasi Energi Baru Terbarukan (EBT). Mengapa kedaulatan energi penting untuk Indonesia? karena energi sangat bergantung pada dinamika situasi global, terlebih saat ini Indonesia merupakan net-importer di mana suplai hampir 90 persen minyak mentah didapatkan dari negara lain seperti Singapura, Malaysia, dan Arab Saudi (Badan Pusat Statistik, 2025).

Ketergantungan Indonesia terhadap impor minyak mentah harus disikapi secara serius, karena harga minyak global sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi politik. Konflik berkepanjangan antara Rusia-Ukraina terbukti berpengaruh pada harga minyak mentah yang pernah menyentuh US$ 113,50 per barel pada Maret 2022 (Direktorat Jenderal Minyak dan Gas, Kementerian ESDM, 2022).

Hal itu disebabkan oleh sanksi ekspor minyak mentah dari Rusia yang mengganggu pasokan minyak mentah global sebanyak 1,2 juta - 4,5 juta barel per harinya. Selain itu, Arab Saudi sebagai salah satu produsen minyak terbesar, tidak mau meningkatkan produksi karena tetap berpegang pada komitmennya dalam OPEC+. Situasi ini setidaknya memberikan gambaran bahwa, ketergantungan Indonesia pada suplai minyak mentah global sangat rawan dalam konteks kedaulatan energi.

Akses dan Ketersediaan Energi
Akses terhadap sumber energi dapat diukur menggunakan rasio elektrifikasi. Indikator untuk melihat persentase rumah tangga yang teraliri listrik. Idealnya listrik tersedia secara merata pada setiap provinsi, kabupaten, dan kota tanpa melihat kondisi geografis.

Secara sederhana dapat diartikan bahwa, apabila listrik di Pulau Jawa atau Sumatra tersedia selama 24 jam, maka listrik di pulau Papua juga harus tersedia selama 24 jam. Secara nasional, rasio elektrifikasi pada 2023 sudah mencapai 99,79 persen (Kementerian PPN/Bappenas 2023). Tren selama 2021 - 2023 juga konsisten meningkat.

Capaian tingkat provinsi juga memperlihatkan tren yang baik. Provinsi dengan rasio elektrifikasi terendah adalah Papua Pegunungan sebesar 93,82 persen. Namun capaian tingkat kabupaten/kota relatif bervariasi, sebagai contoh di Provinsi Kalimantan Timur yang saat ini menjadi IKN.

Pada 2022, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Penajam Paser Utara, dan Mahakam Ulu capaiannya masih di bawah 90 persen. Artinya masih ada 10 persen masyarakat yang kesulitan mendapatkan pasokan listrik karena keterbatasan instalasi dan infrastruktur pendukung.

Hal lain yang juga menentukan akses masyarakat adalah harga bahan bakar minyak (BBM) tunggal. Idealnya, tidak ada perbedaan harga BBM di setiap pulau. Saat ini harga BBM masih bervariasi pada setiap pulau. Faktor utama yang menyebabkan hal tersebut adalah biaya logistik pengangkutan BBM dari kilang ke lokasi konsumen.

Apabila lokasi konsumen jauh dari kilang minyak PT. Pertamina, maka hal ini akan berdampak pada perbedaan harga BBM. Sebagai ilustrasi, pada 2024 harga BBM non subsidi bervariasi pada tiap provinsi.

Harga Pertamax Turbo di Provinsi Aceh sebesar Rp. 15.450,00, Provinsi Sumatra Utara sebesar Rp. 15.800,00, dan provinsi sebesar Papua 15.800,00. Perbedaan ini juga mengindikasikan masih adanya ketimpangan sarana dan prasarana sehingga berimplikasi pada tidak seragamnya harga yang akhirnya ditanggung oleh konsumen.

Pengelolaan Sektor Ekstraktif dan Transformasi EBT
Manajemen pengelolaan sektor ekstraktif diperlukan untuk memastikan bahwa secara perlahan Indonesia mampu mengurangi ketergantungan terhadap suplai minyak mentah dunia. Hal ini menjadi titik awal membangun kedaulatan energi.

Pemerintah harus lebih serius dalam mengembangkan sektor EBT, menyiapkan kerangka regulasi dan kebijakan, dan menawarkan skema insentif yang berimbang bagi pelaku usaha dan industri. Sehingga konsep "transisi energi nasional" tidak hanya menjadi tagline pemerintah tetapi berdampak dan memberikan manfaat bagi masyarakat.

Pada 2023, porsi EBT tercatat sebesar 13, 29 persen dari total bauran energi (Direktorat Jenderal EBT dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM, 2023). Angka tersebut dapat ditingkatkan melalui sumber EBT potensial seperti surya, hidro, dan angin.

Energi surya dapat dioptimalkan pada kabupaten Kepulauan Aru (Maluku), Sorong (Papua Barat Daya), Sula (Maluku Utara). Tantangan utama pada energi surya adalah potensi lahan yang berdekatan dengan hutan lindung, sehingga diperlukan sinergi antara Kementerian PUPR, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian Kehutanan.

Pada energi hidro, lokasi prioritas yang dapat disasar adalah Kabupaten Maluku Tengah, Halmahera Utara, Morotai. Pengembangan energi hidro saat ini masih terkendala keterbatasan alat pengukur yang saat ini sedang dikembangkan oleh Kementerian ESDM dan Kementerian PUPR khususnya Pusat Sumber Daya Air.

Kemudian pada energi angin, Provinsi Maluku, Papua, NTT, dan NTB menyumbang 40 persen dari total energi nasional. Namun, keterbatasan sarana dan prasarana menjadi tantangan, utamanya instalasi pada wilayah 3T. Sehingga diperlukan kerja sama antara pemerintah, pelaku usaha, pemerintah daerah, dan akademisi untuk menekan tingginya biaya investasi awal.

Ketersediaan sumber EBT yang melimpah harus didukung dengan regulasi yang memadai. Pembahasan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan sebagai bagian dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025 harus dipercepat.

UU EBT nantinya akan menjadi landasan yang memberikan kepastian hukum bagi investor dan sektor industri. Pemerintah perlu mengatur kebijakan, insentif, dan sanksi bagi seluruh stakeholder. Selain itu, UU EBT juga harus mendorong lini masa dan target transisi yang masuk akal. Penetapan target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025 hampir bisa dipastikan tidak akan tercapai mengingat capaian terakhir masih jauh dari target tersebut.

Lebih lanjut, transformasi EBT akan sulit tercapai tanpa dukungan pelaku usaha baik BUMN atau sektor swasta. Kementerian ESDM belum lama ini menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan, yang juga memuat terkait insentif, namun bagaimana dengan sumber EBT lainnya? hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah.

Pengembangan EBT memerlukan biaya yang tinggi, paket insentif yang ditawarkan juga harus sejalan dengan kepentingan bisnis. Pemerintah dapat memberikan tax holiday, tax allowance, atau pembebasan PPN pada pelaku usaha dan industri yang berkomitmen untuk mendorong industri hijau. Selain itu, opsi pendanaan campuran (blended finance) juga dapat ditawarkan sehingga terdapat cost-sharing dan pembagian resiko antar pemerintah dan pelaku usaha.

Indonesia telah berhasil mengisi kemerdekaan dengan berbagai kemajuan selama 80 tahun terakhir. Namun pada sektor energi, kemerdekaan belum bisa sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat, khususnya kelompok rentan.

Mandat konstitusi bahwa pengelolaan kekayaan alam dikelola oleh negara untuk kemakmuran rakyat perlu ditata kembali. Pada negeri yang berlimpah sumber energi ini tidak boleh ada lagi tekanan global yang mengakibatkan tingginya harga minyak sehingga menekan daya beli masyarakat, rumah tangga yang hidup dalam gelap karena tidak teraliri listrik, dan ketimpangan harga karena keterbatasan sarana prasarana.

Janji kemerdekaan energi menjadi tanggung jawab pemerintah, tentunya dengan dukungan seluruh pihak.


(miq/miq)