Menyehatkan Desentralisasi Kita

Rendy Wadipalapa CNBC Indonesia
Rabu, 20/08/2025 05:10 WIB
Rendy Wadipalapa
Rendy Wadipalapa
Rendy Wadipalapa merupakan ketua pada research cluster Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri Badan Riset ... Selengkapnya
Foto: Pengibaran bendera merah putih di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Minggu (17/8/2025). (Tangkapan Layar YouTube Sekretariat Presiden)

Dalam beberapa bulan terakhir, trajektori politik global telah mengubah secara dramatik kebijakan negara-negara di dunia. Turbulensi ekonomi yang dikirim oleh langkah agresif kenaikan tarif perdagangan dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump, ditambah dengan menajamnya konflik geopolitik, telah melahirkan sensasi keterancaman yang sangat nyata.


Situasi ini membuat negara-negara secara radikal kembali pada rumus 'ekonomi benteng' (fortress economy) yang mendadak menjadi resep defensif dan sementara untuk menjaga kepentingan domestik di tengah kerumitan kompetisi global.

Lembaga-lembaga internasional secara cepat meramal ancaman krisis ekonomi politik di dunia. IMF, WTO maupun OECD bersepakat bahwa semua proyeksi pertumbuhan ekonomi negara-negara harus direvisi, mengingat ketakstabilan antar wilayah yang memerlukan waktu tak sebentar untuk memulihkan diri.

Perang dagang, penetapan tarif, ancaman konflik nuklir, dan krisis kemanusiaan akibat perang telah menaikkan seluruh biaya, mengerdilkan pendapatan, dan memperlebar ketimpangan.

Di tengah turbulensi ini, Indonesia masih memelihara pandangan tua yang meremehkan ihwal desentralisasi-sekadar sebagai prasyarat di atas kertas dari bab reformasi politik: selesai ditulis, lalu ditinggalkan.

Padahal, justru pada masa ketika kecemasan global menyeret kembali negara-negara untuk memerhatikan dan menjaga perkara domestik, desentralisasi yang sehat adalah perisai terbaik: ia mengurangi ketergantungan pada satu pintu, memperbanyak simpul produksi dan logistik di dalam negeri, serta mempercepat respons saat guncangan datang.

Masalahnya, arsitektur desentralisasi kita dalam satu dekade terakhir jauh dari kata memuaskan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menegaskan relasi hierarkis: gubernur menjadi wakil pemerintah pusat dengan fungsi pembinaan dan pengawasan atas kabupaten/kota.

Regulasi-regulasi turunan kita telanjur merestui pemerintah pusat dengan peran yang sangat eksesif. Ia bukan sekadar wasit, melainkan jauh lebih dominan adalah pemain utama, penentu arah, sekaligus regulator yang memiliki kewenangan amat luas. Agenda desentralisasi pada akhirnya merosot menjadi resentralisasi.

Kecenderungan itu menguat lewat reformasi perizinan pro-investasi. Omnibus Law Cipta Kerja telah menarik nyaris seluruh perizinan penting di daerah ke pusat pemerintahan.

Pemerintah pusat bukan saja mewajibkan integrasi sistem daerah, tetapi juga dapat mengambil alih bila daerah tak memenuhi standar. Ada banyak argumen efisiensi di situ-meski sebagiannya valid-namun efek sampingnya adalah penyusutan ruang inovasi perizinan dan pelayanan di tingkat lokal, padahal di sanalah denyut "last-mile" investasi berdetak.

Secara fiskal, transfer besar-besaran pun tidak otomatis menumbuhkan otonomi daerah yang sungguh-sungguh substantif. Dana Desa yang dikucurkan selama 2015-2024 mencapai Rp 609,9 triliun.

Sepintas angka-angka ini mengesankan, tetapi tanpa keleluasaan kelembagaan dan kapasitas teknis di daerah, proses belanja di daerah cenderung mengulangi rutinitas lama ketimbang memperkuat simpul baru ekonomi lokal. Dengan kata lain, logika ini sekedar merawat "desentralisasi belanja" tetapi tidak selalu menjaga "desentralisasi kewenangan dan ide".

Mengapa desentralisasi krusial untuk menjawab kompleksitas dan destabilisasi situasi global?
Alasan paling kuat adalah karena ketahanan nasional bertumpu pada rantai pasok yang kuat dan dibangun dari keberagaman jenis, sumber dan kedekatan fungsi. Resiliensi dalam negeri harus mengenali potensi ini sambil menyeimbangkannya dengan mitigasi risiko.

Potensi-potensi di daerah harus dimaksimalkan, bukan sekadar berhenti lantaran mengalah pada agenda-agenda pusat, sehingga kita mampu menaikkan daya tawar ekonomi yang jauh lebih beragam dan tak monoton, misalnya, hanya dengan sekedar bertarung pada arus tawar-menawar ekonomi gaya lama gas dan mineral.

Tiap-tiap dorongan atas kelincahan daerah dalam pengelolaan potensi ekonominya dan rantai pasok-dari fasilitasi perdagangan, digitalisasi layanan logistik, hingga demokratisasi regulasi-jauh lebih efektif.

Indonesia, yang peringkat LPI (Logistics Performance Index) 2023-nya merosot ke 63 dari 139 (turun 17 peringkat dibanding 2018), mestinya membaca sinyal ini sebagai dorongan untuk memperkuat simpul-simpul logistik dan produksi di daerah dengan memperbaiki sekali lagi arus desentralisasi melalui keleluasaan daerah, bukan alih-alih memusatkannya melalui keharusan yang kaku atas mandatory spending yang ditetapkan oleh pusat.

Menyehatkan desentralisasi kita, selain dengan merevisi segera undang-undang pemerintahan daerah yang kurang fleksibel dan tertinggal, adalah dengan pertama-tama mengembalikan prinsip beban balik pembuktian. Artinya, pemerintah pusat wajib membuktikan alasan kuat ketika hendak mengambil alih kewenangan di daerah.

Pengambilalihan harus berbasis bukti atas risiko lintas-daerah atau kepentingan nasional yang tak dapat ditangani pada level lokal, disertai dengan evaluasi periodik agar kewenangan tidak "tersangkut" di pusat tanpa alasan yang terus-menerus berubah. Prinsip ini membalik logika lama: bukan daerah yang harus berkali-kali meminta ruang, melainkan pusat yang harus mengajukan alasan transparan ketika ruang itu dipersempit.

Kedua, pemisahan yang tegas peran pemerintah pusat sebagai kontrol dan pengawas, bukan pengambil keputusan di level lokal. Prinsip ini mencegah standar nasional dijadikan pintu masuk resentralisasi yang menumpulkan akal lokal.

Ketiga, proses kolaborasi pemerintahan yang demokratis, bukan sekadar koordinasi birokrasi. Desentralisasi yang sehat mensyaratkan lahirnya kanal-kanal deliberatif yang hidup: musyawarah rencana pembangunan yang benar-benar terbuka untuk isu strategis, participatory budgeting yang menghormati suara lokal, hingga kontrak dan kesepakatan publik lokal yang dapat diumumkan ke publik sebagai sarana kontrol antara eksekutif daerah dan masyarakatnya. Di sini, akuntabilitas tidak berhenti pada tanda tangan pejabat; ia berdenyut dalam ritme partisipasi warga.

Keempat, ekologi akuntabilitas yang berlapis. Selain pengawasan internal, kita butuh kombinasi dari pengawas yang aktif, audit kinerja independen, transparansi data melalui portal data terbuka yang menerangkan dengan jelas anggaran-kontrak-kinerja, serta pemantauan sosial oleh warga, NGO, maupun asosiasi bisnis lokal.

Dan yang kelima, arsitektur fiskal yang menyokong diskresi. Desain ini memastikan pusat menjaga pemerataan dan standar minimum, sekaligus memberi oksigen bagi inovasi lokal.

Pada akhirnya, pilihan kita bukan antara pusat yang kuat dan daerah yang berdaya; pilihan kita adalah bagaimana membangun pusat yang kuat karena daerahnya berdaya. Di tengah gejolak dunia dan masyarakat internasional yang cemas, desentralisasi yang sehat tidak boleh sekedar romantika reformasi, melainkan harus menjurus pada realisasi tata kelola yang cerdas: standar dijaga di pusat, diskresi hidup di daerah, dan kedaulatan warga dirayakan dalam proses yang terbuka.


(miq/miq)