Efisiensi Anggaran, Tarif Trump, dan Resiliensi APBN

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Ketika anggaran pendidikan kerap dipandang sebagai "penggenap konstitusi" dan dicibir sekadar formalitas karena kalah sorot dari proyek strategis lain seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) atau Cek Kesehatan Gratis (CKG), kita justru perlu bertanya ulang: benarkah pemerintah tidak serius dalam sektor pendidikan?
Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, pemerintahan baru ini mewarisi narasi keberlanjutan dari Presiden Joko Widodo. Jika era Jokowi menancapkan fondasi fisik melalui pembangunan infrastruktur pendidikan, era Prabowo berupaya memperbaikinya sekaligus menghidupkannya melalui investasi pada sumber daya manusia (SDM).
Kualitas manusia adalah fondasi pembangunan berkelanjutan. Tanpa pendidikan yang membebaskan nalar dan menyalakan jiwa, bangsa ini akan tertinggal, terperangkap dalam ketergantungan, dan kehilangan arah di tengah arus peradaban.
Menyadari hal tersebut, pemerintah telah mengambil langkah-langkah strategis melalui program prioritas di bidang pendidikan yang mencakup peningkatan (1) kesejahteraan guru, (2) kualitas lulusan, (3) infrastruktur sekolah, dan (4) sarana pendukungnya.
Efisiensi Birokrasi melalui Salur Langsung Tunjangan Profesi Guru
Pemerintahan Prabowo sejak awal menunjukkan langkah konkret yang langsung dirasakan pada bidang pendidikan, bahkan terhadap program di luar Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC). Melalui kebijakan terobosan 13 Maret 2025, tunjangan profesi guru (TPG) kini disalurkan langsung ke rekening guru ASN dan non-ASN untuk memitigasi inefisiensi dan rawannya maladministrasi birokrasi.
Berdasarkan penuturan Direktur Jenderal Guru, Tenaga Kependidikan, dan Pendidikan Guru (Dirjen GTKPG) dan jajaran, sejauh ini, setidaknya tercatat 1.438.029 (97,4%) guru di Indonesia telah menerima TPG salur langsung. Langkah ini penting, tetapi belum cukup.
Sebagaimana ditegaskan UNESCO, mutu pendidikan hanya terjamin jika guru terlatih, didukung, dan dihargai secara optimal. Dengan demikian, kebijakan kesejahteraan perlu diiringi dengan penguatan kapasitas dan profesionalisme guru secara berkelanjutan.
Menuju Pendidikan yang Lebih Inklusif dan Berkeadilan
Selain isu kesejahteraan guru, pemerintah saat ini juga menaruh perhatian pada pengembangan kualitas dan akses pendidikan. Hal ini tidak kalah penting mengingat investasi pada satu anak terdidik bukan hanya memberi manfaat bagi dirinya sendiri, tetapi juga dapat membuka jalan perubahan bagi keluarga dan lingkungan sekitarnya.
Dalam kerangka itu, keberadaan Sekolah Rakyat dan SMA Unggul Garuda layak dilihat sebagai langkah strategis yang berpotensi membuka lebih banyak peluang bagi generasi mendatang.
Sekolah Rakyat adalah sekolah berasrama yang diampu Kementerian Sosial (Kemensos) untuk memastikan anak-anak dari keluarga prasejahtera mendapatkan pendidikan dan pengasuhan yang layak sekaligus menjadi sarana memutus rantai kemiskinan struktural.
Mengusung Trilogi Sekolah Rakyat-Memuliakan Wong Cilik, Menjangkau yang Belum Terjangkau, dan Memungkinkan yang Tidak Mungkin-program ini memberi pengalaman belajar bermartabat. Di sini, negara memberi dukungan dari tempat tinggal dan kebutuhan sehari-hari hingga lingkungan belajar modern dan berkarakter.
Dengan menyediakan pendidikan berkualitas secara gratis, anak-anak diberi akses seluas-luasnya untuk belajar tanpa terbebani biaya ataupun kewajiban bekerja membantu orang tua demi ekonomi keluarga.
Target pembangunan Sekolah Rakyat yang meningkat dari 100 menjadi lebih dari 200 lokasi, dimulai pada 2025 dengan membangun 100 sekolah dan dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya, mencerminkan komitmen Presiden Prabowo terhadap pendidikan yang inklusif dan berdaya saing.
Sementara itu, SMA Unggul Garuda merupakan inisiatif strategis dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek). Program ini menargetkan pembangunan 20 sekolah baru serta transformasi 20 sekolah eksisting pada 2025-2029.
SMA Unggul Garuda diproyeksikan menjadi sekolah pencetak lulusan yang kompetitif untuk bisa diterima di 100 perguruan tinggi terbaik dunia. Hal ini berkat penerapan kurikulum International Baccalaureate (IB) dan ekosistem berbasis science, technology, engineering, and mathematics (STEM) yang diakui secara global.
Dalam hal ini, setiap siswa yang berhasil diterima di universitas ternama mempunyai potensi untuk mentransfer ilmu, jejaring, dan peluang ekonomi bagi komunitasnya. Ia menjadi satu cendekia unggul yang dapat memperbaiki nasib hingga ratusan individu prasejahtera sebagaimana konsep social multiplier effect.
Potensi besar ini idealnya dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya kelompok tertentu. Dalam praktiknya, pemerintah menyediakan beasiswa penuh bagi 80% siswa dan memprioritaskan pembangunan sekolah di daerah yang memiliki keterbatasan akses pendidikan bermutu, terutama di wilayah Indonesia Timur.
Baik Sekolah Rakyat maupun SMA Unggul Garuda sejatinya menunjukkan upaya konkret pemerintah dalam menjadikan pendidikan sebagai alat mobilitas sosial. Sejalan dengan status attainment theory, pendidikan menjadi jembatan utama antara latar belakang keluarga dan pencapaian posisi sosial yang lebih baik.
Keberhasilan program ini tidak hanya bergantung pada ketersediaan fasilitas dan guru berkualitas. Namun, perlu juga dipastikan pemerataan distribusi tenaga pendidik serta kesesuaian pendekatan pengajaran dengan karakteristik masing-masing sekolah. Hal ini agar pemerataan mutu pendidikan di seluruh wilayah benar-benar dapat terwujud.
Memuliakan Sekolah Tempat Siswa-Siswi Menimba Ilmu
Tidak hanya menciptakan ekosistem sekolah yang baru, pemerintah juga berupaya memperbaiki dan meningkatkan kualitas infrastruktur sekolah negeri maupun madrasah. Pada tahun 2025, pemerintah merencanakan renovasi lebih dari 10.000 satuan pendidikan melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) dan lebih dari 2.000 madrasah melalui Kementerian Agama (Kemenag) di seluruh Indonesia.
Renovasi ini bukan sekadar pembangunan fisik, melainkan juga langkah strategis untuk menghadirkan ruang belajar yang aman, layak, dan mendukung tumbuh kembang putra-putri bangsa. Sebagaimana hal ini juga ditegaskan oleh Presiden Prabowo dalam pidatonya pada puncak Hari Guru Nasional tahun 2024 bahwa tak boleh ada lagi sekolah yang atapnya runtuh atau tak memiliki fasilitas dasar seperti toilet yang layak.
Proses pemetaan kebutuhan infrastruktur juga berbasis data pokok pendidikan (Dapodik). Artinya, pendekatan pemerintah bukan sekadar proyek pembangunan, melainkan intervensi berbasis data.
Dalam model perencanaan ini, sekolah yang rusak berat akan dibangun ulang, sementara sekolah yang masih layak akan ditingkatkan kualitas dan kapasitasnya (rehabilitasi). Pendekatan ini perlu dijalankan secara konsisten dan terus ditingkatkan ke depannya.
Hal ini mengingat kebijakan publik yang efektif setidak-tidaknya harus memenuhi tiga kriteria penting, yakni (1) dapat dipertanggungjawabkan secara teknis, (2) dapat dijalankan secara administratif, dan (3) lebih mudah diterima secara sosial dan politik karena bersifat transparan dan berbasis bukti.
Tantangan ke depan adalah memastikan pengawasan yang ketat terhadap mutu pembangunan. Melalui monitoring dan evaluasi yang terukur serta pengawasan yang transparan, setiap tahap pembangunan dapat dipastikan berjalan sesuai standar yang ditetapkan. Dengan begitu, dana publik benar-benar menghasilkan fasilitas yang aman dan layak.
Pemerataan Pendidikan melalui Digitalisasi
Selain kelayakan bangunan sekolah, ketimpangan akses terhadap guru berkualitas, bahan ajar, dan sarana pembelajaran juga masih menjadi tantangan di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan (DTPK). Inisiatif pemasangan smart board di setiap ruang kelas yang mulai direalisasikan oleh Kemendikdasmen pada 2 Mei 2025 menjadi langkah konkret untuk mengatasi kesenjangan ini.
Secara lugas, Presiden Prabowo menyatakan langkah ini penting untuk mempercepat pemerataan kualitas pendidikan dan pembangunan SDM unggul melalui digitalisasi serta penguatan infrastruktur.
Menurut Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti, dan jajaran, di tahun 2025, pemberian smart board ditargetkan akan terealisasi di lebih dari 300.000 satuan pendidikan. Pemberian smart board ini merupakan upaya strategis pemerintah dalam rangka menghadirkan pembelajaran interaktif yang menjangkau seluruh Indonesia, termasuk wilayah terpencil yang kekurangan guru.
Dengan teknologi ini, materi pembelajaran dapat didistribusikan secara daring dan setara ke seluruh penjuru negeri. Namun, perlu diketahui bahwa data CNBC Indonesia Tech & Telco Outlook 2023 menunjukkan tingkat literasi digital di Indonesia masih rendah, yakni hanya 62%. Dengan demikian, tanpa pelatihan guru dan infrastruktur memadai, smart board berisiko menjadi fasilitas pasif.
Fondasi Menyambut Indonesia Emas
Serangkaian langkah yang telah dijalankan di atas menunjukkan bahwa pendidikan tidak lagi hanya dipandang sebagai kewajiban konstitusional, melainkan sebagai investasi jangka panjang bagi mobilitas sosial dan kesejahteraan bangsa.
Di tengah semangat memperingati proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, momen bersejarah ini mengingatkan kita bahwa kemerdekaan sejati tak hanya berarti bebas dari penjajahan, tetapi juga bebas dari belenggu kebodohan dan ketertinggalan.
Seluruh kebijakan ini berpijak pada Pasal 31 UUD NRI Tahun 1945 yang mewajibkan negara memajukan pendidikan nasional serta selaras dengan semangat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 3/PUU-XXII/2024 yang menekankan peran negara dalam memberikan pendidikan dasar seluas-luasnya, baik di sekolah negeri maupun swasta.
Tantangannya kini adalah menjaga agar semangat ini tidak meredup akibat birokrasi dan politik jangka pendek. Pasalnya, masa depan bangsa ditentukan oleh kualitas pendidikannya hari ini. Dengan memperluas akses pendidikan berkualitas, memastikan inklusivitas melalui beasiswa, serta menyiapkan lulusan yang mampu bersaing di tingkat global, pemerintah sedang membangun fondasi yang lebih kokoh untuk menyambut Indonesia Emas 2045.