RUU Pangan: No Farmer, No Food, No Future

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Pertanian merupakan sektor krusial dalam menjamin ketahanan pangan dan stabilitas ekonomi, terutama di negara-negara berkembang. Namun, tantangan seperti perubahan iklim, keterbatasan lahan, dan fluktuasi harga komoditas sering menghambat produktivitas pertanian.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, integrasi teknologi canggih seperti artificial intelligence (AI) menjadi salah satu solusi yang menjanjikan. AI memiliki potensi untuk merevolusi sektor pertanian dengan meningkatkan efisiensi, akurasi, dan produktivitas melalui automasi dan analitik prediktif (Kamilaris & Prenafeta-BoldĂș, 2018).
Secara ekonomis, penerapan AI dalam pertanian dapat mengurangi biaya produksi, meningkatkan hasil panen, dan meminimalkan kerugian akibat hama atau cuaca ekstrem. Misalnya, penggunaan drone berbasis AI untuk pemetaan lahan dan deteksi dini penyakit tanaman memungkinkan petani mengambil keputusan yang lebih cepat dan tepat, sehingga menghemat biaya operasional hingga 30% (Shamshiri et al., 2018).
Selain itu, AI juga membantu dalam pengelolaan rantai pasok, prediksi harga pasar, serta pengoptimalan penggunaan pupuk dan air, yang semuanya berdampak pada peningkatan nilai ekonomi bagi petani dan pelaku agribisnis (Liakos et al., 2018).
Investasi dalam teknologi AI untuk pertanian bahkan diproyeksikan mencapai miliaran dolar AS secara global. Laporan oleh MarketsandMarkets (2021) memperkirakan bahwa pasar AI dalam pertanian akan tumbuh dari US$ 1 miliar pada 2020 menjadi lebih dari US$ 4 miliar pada 2026. Pertumbuhan ini mencerminkan keyakinan industri terhadap dampak ekonomi positif yang ditawarkan AI di sektor pertanian.
Dengan demikian, pemanfaatan AI tidak hanya menjawab tantangan teknis di lapangan, tetapi juga berperan strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pertanian secara berkelanjutan.
Penerapan AI dalam sektor pertanian membawa dampak yang signifikan terhadap peningkatan nilai ekonomi, baik dari sisi produktivitas, efisiensi biaya, maupun keberlanjutan usaha tani. Salah satu penerapan AI yang paling menonjol adalah dalam sistem pertanian presisi (precision agriculture).
Teknologi ini memungkinkan petani memantau kondisi tanah, cuaca, kelembapan, dan pertumbuhan tanaman secara real-time menggunakan sensor dan citra satelit, yang dianalisis melalui algoritma AI. Hasilnya, petani dapat mengambil keputusan yang lebih tepat dan cepat, mengurangi pemborosan input seperti air, pupuk, dan pestisida (Wolfert et al., 2017).
Dalam hal produktivitas, AI terbukti mampu meningkatkan hasil panen melalui optimasi waktu tanam, pemupukan, dan irigasi. Sebagai contoh, sistem berbasis AI yang mengintegrasikan data historis cuaca dengan model prediksi pertumbuhan tanaman telah membantu petani jagung di AS meningkatkan hasil hingga 15% dalam satu musim tanam (Chen et al., 2019). Efisiensi ini secara langsung berkontribusi pada peningkatan pendapatan petani.
Selain itu, AI juga membawa keuntungan ekonomis dalam proses pascapanen. Teknologi seperti machine vision digunakan untuk menyortir hasil panen berdasarkan kualitas dan ukuran dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dibanding tenaga manusia. Sistem ini tidak hanya mengurangi biaya tenaga kerja, tetapi juga meningkatkan nilai jual produk pertanian karena kualitas dapat terjamin secara konsisten (Wang et al., 2020).
Di sisi pasar, AI berperan dalam prediksi harga dan permintaan komoditas dengan akurasi yang tinggi. Algoritma machine learning mampu menganalisis tren pasar, data perdagangan global, dan faktor musiman sehingga membantu petani dan pedagang merencanakan strategi penjualan yang lebih menguntungkan (Zhang et al., 2022). Dampaknya adalah pengurangan risiko kerugian karena harga yang anjlok secara tiba-tiba.
Lebih jauh lagi, nilai ekonomis AI tidak hanya dirasakan oleh petani skala besar, tetapi juga oleh petani kecil apabila diintegrasikan dengan pendekatan berbasis komunitas atau melalui bantuan pemerintah dan startup teknologi.
Model pertanian berbasis platform digital seperti e-Farming dan AI-as-a-Service memungkinkan petani kecil mengakses teknologi canggih tanpa harus berinvestasi besar (Rose et al., 2021). Dengan demikian, adopsi AI menjadi sarana inklusif dalam meningkatkan kesejahteraan pertanian secara luas.
Namun, keberhasilan implementasi AI dalam pertanian sangat bergantung pada kesiapan infrastruktur digital, ketersediaan data, dan literasi teknologi para petani. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah dan kolaborasi lintas sektor sangat diperlukan untuk memastikan AI dapat memberikan dampak ekonomi yang optimal dan merata.
Pemanfaatan AI dalam sektor pertanian membawa potensi besar untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan nilai ekonomi secara keseluruhan. Melalui berbagai aplikasi seperti pertanian presisi, sistem pemantauan cerdas, prediksi harga, hingga manajemen rantai pasok, AI mampu merespons tantangan struktural dan lingkungan yang selama ini membatasi kemajuan sektor agrikultur.
Keuntungan ekonomis yang ditawarkan tidak hanya dirasakan oleh petani skala besar, tetapi juga dapat diakses oleh petani kecil apabila didukung oleh ekosistem teknologi yang inklusif.
Meskipun demikian, keberhasilan implementasi AI dalam pertanian tetap bergantung pada kesiapan infrastruktur digital, pelatihan sumber daya manusia, serta dukungan kebijakan dari pemerintah dan sektor swasta. Tanpa adanya intervensi sistematis, adopsi teknologi canggih seperti AI berisiko memperlebar kesenjangan antara petani maju dan petani tradisional.
Oleh karena itu, langkah-langkah kolaboratif yang mengedepankan pemerataan akses teknologi, subsidi inovasi, dan pengembangan data pertanian yang terintegrasi menjadi sangat krusial. AI bukan sekadar alat bantu, melainkan katalisator transformasi ekonomi pertanian menuju sistem pangan yang lebih cerdas, efisien, dan berkelanjutan.