Menjawab Tantangan Pemulihan Ekonomi Daerah

Wiyogo Dwijo Cahyono CNBC Indonesia
Selasa, 05/08/2025 05:40 WIB
Wiyogo Dwijo Cahyono
Wiyogo Dwijo Cahyono
Wiyogo Dwijo Cahyono adalah seorang Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Keuangan, saat ini bertugas di KPPN Surabaya II. Penulis merupakan a... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi uang rupiah. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Hingga 31 Juli 2025, penyaluran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui KPPN Surabaya II telah mencapai angka yang signifikan, yaitu sebesar Rp10,77 triliun dari Rp20,78 triliun atau sebesar 51,82%. Angka ini mencerminkan komitmen fiskal pemerintah pusat dalam mendukung pemulihan ekonomi di tingkat daerah, khususnya di wilayah Surabaya dan sekitarnya. Ini menjadikan Surabaya sebagai salah satu pusat desentralisasi fiskal terbesar di Jawa Timur.



Kinerja ini patut diapresiasi karena di tengah berbagai tantangan, KPPN Surabaya II mampu menjaga kelancaran pencairan dana APBN ke berbagai satuan kerja, termasuk instansi pusat dan pemerintah daerah. Dukungan belanja pemerintah terbukti penting dalam menjaga daya beli masyarakat, mendukung program sosial, serta mendorong roda ekonomi lokal. Namun, di balik capaian nominal yang besar, terdapat tantangan mengenai efektivitas, arah prioritas, dan kualitas belanja negara.

Data Realisasi APBN di KPPN Surabaya II
Berdasarkan data dari laman resmi Ditjen Perbendaharaan, per 31 Juli 2025 realisasi APBN di KPPN Surabaya II secara menyeluruh adalah Rp10,77 triliun dari Rp20,78 triliun atau sebesar 51,82%. Dengan perincian realisasi belanja pegawai sebesar Rp2,00 triliun dari pagu Rp3,09 triliun (64,94%), dan belanja barang tersalur Rp0,98 triliun dari Rp2,58 triliun (38,13%).


Kemudian belanja modal terserap Rp117,35 miliar dari Rp553,39 miliar (21,21%), belanja bantuan sosial terdistribusi Rp12,6 miliar dari Rp25,55 miliar (49,64%), dan transfer ke daerah tersalur sebanyak Rp7,65 triliun dari pagu Rp14,54 triliun (52,64%).

Namun lebih dari sekadar angka realisasi, yang menarik untuk dikaji adalah bagaimana transfer ke daerah (TKD) diserap dan dioptimalkan dalam kerangka desentralisasi fiskal. Karena di sanalah letak kunci apakah APBN yang disalurkan kepada pemerintah daerah benar-benar memberi manfaat dan dampak konkret di tingkat daerah.

Efektivitas, arah prioritas, dan kualitas belanja negara
KPPN Surabaya II berhasil menjaga alur pencairan anggaran dengan akurasi dan disiplin tinggi. Terlihat dari realisasi TKD yang sudah mencapai Rp7,65 triliun dari pagu Rp14,54 triliun (52,64%). Ini menunjukkan lebih dari separuh dana transfer telah berhasil disalurkan ke pemerintah daerah hingga pertengahan tahun anggaran.

Penyaluran ini meliputi berbagai komponen strategis seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan Non Fisik, Dana Bagi Hasil, dan Dana Insentif Fiskal. Kecepatan dan ketepatan penyaluran menjadi bukti bahwa KPPN Surabaya II tidak hanya menjadi distributor APBN, tetapi juga penjaga kelancaran desentralisasi fiskal.

Realisasi anggaran mendeskripsikan penyerapan anggaran lebih banyak pada belanja rutin seperti belanja pegawai dan belanja barang. Sedangkan realisasi dari belanja modal dan bantuan sosial masih relatif lebih rendah.

Kualitas belanja mencerminkan seberapa baik anggaran tersebut dibelanjakan secara tepat sasaran, tepat waktu, dan dapat terukur. Penyerapan belanja yang tinggi belum tentu berkualitas apabila output-nya tidak jelas dan tidak terukur.

Hal tersebut dapat terjadi apabila belanja tersebut digunakan untuk kegiatan yang bersifat seremonial seperti rapat, perjalanan dinas, atau pengadaan barang non-prioritas yang tidak berdampak pada pelayanan publik atau pemulihan ekonomi.

Selain itu, proyek yang tidak tepat waktu atau tidak tuntas seperti pembangunan gedung yang mangkrak atau jalan yang belum selesai digarap sehingga belum bisa digunakan oleh masyarakat, tetapi sudah tercatat sebagai realisasi anggaran walaupun output fisiknya belum dapat dimanfaatkan.

TKD dan Peran Daerah
Transfer ke Daerah (TKD) merupakan komponen penting dalam struktur APBN yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal dan meningkatkan kapasitas pembangunan daerah. Namun dalam praktiknya, efektivitas TKD sangat bergantung pada kualitas perencanaan dan belanja dari pemerintah daerah.

Realisasi anggaran di daerah, jika tidak disertai dengan tata kelola yang baik, berisiko menimbulkan low value spending, yaitu penggunaan anggaran yang tidak efisien, dampak kecil, atau bahkan tidak relevan terhadap tujuan pembangunan dan kebutuhan masyarakat.

Tantangan
Dalam kerangka desentralisasi fiskal, idealnya TKD menjadi alat utama untuk pemerataan pembangunan. Jika tidak dikelola dengan baik, maka risiko fiscal waste (pemborosan anggaran) menjadi nyata.

Untuk menjawab tantangan tersebut, perlu pendekatan menyeluruh yang melibatkan peran pemerintah pusat dan daerah seperti halnya KPPN Surabaya II menjadi financial advisor yang berperan sebagai pembina teknis fiskal daerah yang tidak hanya menyalurkan dana APBN, tetapi juga memberikan pendampingan perencanaan dan pelaporan kepada pemerintah daerah dan satker.

Selain itu TKD harus dikaitkan dengan kinerja pembangunan daerah. Bukan hanya dilihat dari jumlah yang disalurkan, tapi apa dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat, dan penurunan ketimpangan.

Pemerintah pusat saat ini sudah menerapkan sistem insentif fiskal, di mana daerah dengan realisasi dan dampak TKD yang baik akan diberikan ruang fiskal tambahan atau fleksibilitas dalam penggunaan anggaran. Dana insentif fiskal dapat dianggarkan oleh pemerintah daerah untuk percepatan pemulihan ekonomi, infrastruktur mikro, hingga pendidikan dan kesehatan.

Penutup
Realisasi APBN melalui KPPN Surabaya II sejauh ini menunjukkan performa yang solid dalam aspek penyaluran. Namun tantangan utama kini terletak pada sisi penerima, yaitu pemerintah daerah.

Desentralisasi fiskal bukan hanya soal membagi uang ke daerah, tapi memastikan bahwa uang itu dibelanjakan dengan benar, cepat, dan berdampak. Untuk itu, sinergi antara Kemenkeu dan pemerintah daerah mutlak dibutuhkan agar APBN benar-benar menjadi alat pemulihan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.


(miq/miq)