Abolisi Tom Lembong & Amnesti Hasto: Ujian Pemberantasan Korupsi Kita

Nicholas Martua Siagian, S.H. CNBC Indonesia
Selasa, 05/08/2025 05:10 WIB
Nicholas Martua Siagian, S.H.
Nicholas Martua Siagian, S.H.
Nicholas Martua Siagian mendalami keilmuan di bidang Hukum Administrasi Negara, Keuangan Negara, Pencegahan Korupsi, Inovasi, dan Perbaikan ... Selengkapnya
Foto: Kolase foto Hasto Kristiyanto (kiri) dan Tom Lembong (kanan). (Dokumentasi CNBC Indonesia)

Diskursus mengenai korupsi di Indonesia menunjukkan bahwa persoalan ini bersifat struktural dan belum menemukan titik henti. Praktik korupsi tidak lagi terbatas pada tingkat pemerintahan pusat, tetapi juga telah menembus hingga ke unit pemerintahan paling bawah.

Nilai kerugian negara akibat praktik tersebut terus meningkat signifikan; dari ratusan juta rupiah, kini mencapai skala triliunan rupiah. Namun, pola penindakan yang tampak di ruang publik cenderung hanya menyasar pelaku lapis bawah yang berperan sebagai eksekutor, sementara aktor pengendali pada level strategis kerap luput dari proses hukum.


Hal tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai efektivitas desain penegakan hukum dan tata kelola integritas nasional: apakah terdapat kelemahan sistemik yang menghalangi penindakan pada level elite, ataukah memang ada faktor politik yang menjadikan sebagian pihak seolah memiliki imunitas dari proses hukum?

Tentu ini menjadi pertanyaan penting, karena begitu banyak kasus korupsi yang hanya diumumkan sesaat kepada publik sebagai bentuk respons awal, namun kemudian mengambang tanpa kejelasan penanganan.

Pola seperti ini menunjukkan adanya kelemahan serius dalam mekanisme penegakan hukum yang berkelanjutan, terutama ketika perkara menyangkut figur-figur yang memiliki posisi strategis atau jaringan kekuasaan yang kuat. Akibatnya, sanksi pidana kerap berhenti pada pelaku lapis bawah, sementara aktor-aktor elite yang mengorkestrasi dan mengambil keuntungan terbesar justru luput dari jerat hukum.

Jurus Jitu
Kalau ditanya kepada publik kasus korupsi mana yang sangat kental dalam ingatan masyarakat, jawabannya adalah kasus Tom Lembong dan kasus Hasto Kristiyanto. Satu ditangani oleh Kejaksaan Agung, satunya lagi ditangani oleh KPK.

Namun, semenjak pertama kali kasus ini diumumkan kepada publik, yang terbesit dalam pikiran rakyat adalah: apakah kasus ini memang murni tindak pidana korupsi atau 'cocokologi' demi mematikan lawan politik? Tentu, pikiran-pikiran liar semacam ini akhirnya muncul karena memang begitu banyak luka dalam proses penegakan hukum kita.

Dari kasus Tom Lembong, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terhadap mantan menteri perdagangan itu menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara, namun perlu diingat bahwa dalam amar putusan disebutkan bahwa Tom Lembong tidak terbukti memiliki mens rea (niat jahat), serta tidak menikmati keuntungan pribadi dari kebijakan yang ia ambil.

Sedangkan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terhadap Hasto Kristiyanto menjatuhkan vonis 3,5 tahun penjara dengan alasan terbukti memberikan suap ke anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam proses pergantian antar waktu (PAW) anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang melibatkan Harun Masiku.

Perdebatan tentang kasus Tom Lembong ini akhirnya sampai pada titik kulminasinya, yaitu adanya campur tangan Prabowo lewat kewenangan konstitusional, yakni memberikan abolisi terhadap Tom Lembong dan amnesti terhadap Hasto Kristiyanto. Begitu jelas amanat pasal 14 UUD NRI Tahun 1945 bahwa presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.

Beberapa minggu lalu, saya pribadi memang berekspektasi bahwa Prabowo mungkin akan mengeluarkan jurus jitunya di tengah terombang-ambingnya pemberantasan korupsi kita. Saya yakin keputusan ini diambil Prabowo karena melihat ada sesuatu yang tidak beres dengan wajah pemberantasan korupsi kita.

Yang begitu mencolok adalah dari kasus Tom Lembong: seorang mantan menteri yang menjalankan tugas dari Presiden Joko Widodo, tidak terbukti niat jahat, bahkan tidak menikmati keuntungan pribadi - justru divonis 4,5 tahun penjara. Lantas, jaksa dan hakim menjerat atas dasar apa jika sama sekali tidak terbukti melakukan korupsi? apakah atas dasar cocokologi demi menjebloskan seseorang ke dalam penjara?

Memberikan Kepastian
Abolisi oleh  Prabowo terhadap Tom Lembong yang sama sekali tidak terbukti bersalah seharusnya bukan hanya membebaskan Tom Lembong sebagai individu, namun juga memastikan dan memberikan bahwa pemberantasan korupsi kita tidak lagi tebang pilih serta menjadi senjata menyerang yang 'dianggap' musuh.

Selain itu, perlu ada koreksi terhadap penegakan hukum kita. Sudah saatnya penegak hukum berpikir dengan logis dan bijaksana, serta benar-benar bekerja dan mengabdi untuk Tuhan Yang Maha Kuasa, bangsa, dan rakyat, bukan kepada 'tuan.'

Apabila abolisi terhadap Tom Lembong tidak diberikan oleh Prabowo, maka preseden yang terbentuk sesungguhnya sangat berbahaya bagi tata kelola pemerintahan dan integritas sistem hukum kita. Dengan cara berpikir penegak hukum yang keliru pada saat itu-yang lebih mengedepankan asumsi daripada bukti-setiap orang yang berada di dalam lingkaran kabinet atau pemerintahan akan berada dalam posisi rentan.

Siapapun yang kebetulan berseberangan atau dianggap sebagai lawan politik dapat dengan mudah dijerat kasus dan dikirim ke penjara, meskipun tidak pernah terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Dalam logika kelembagaan, hal ini menciptakan iklim ketakutan yang mengikis keberanian pejabat publik untuk mengambil keputusan strategis.

Ini karena setiap langkah berpotensi disalahartikan, bahkan dipelintir menjadi tuduhan korupsi. Dampaknya, roda pemerintahan akan bergerak lambat, penuh kehati-hatian yang tidak produktif, dan justru kontraproduktif terhadap reformasi birokrasi dan percepatan pembangunan.

Lebih bahaya lagi adalah jika para pakar, teknokrat, profesional, hingga orang-orang muda yang berkecimpung dalam kebijakan publik, akan semakin takut dalam mengeluarkan gagasan dan bertindak. Jika hal tersebut terjadi, teknokratisme akan menjadi simbolisme belaka dan teknokrat tidak lagi benar-benar jujur menyampaikan pengetahuan dan kepakarannya.

Dalam situasi seperti ini, birokrasi akan kehilangan motor intelektualnya; pengambilan kebijakan akan cenderung berdasarkan selera politik jangka pendek ketimbang rasionalitas dan bukti ilmiah.

Pada akhirnya, bukan hanya kualitas kebijakan publik yang tergerus, tetapi juga integritas para aktor yang terlibat di dalamnya. Atmosfer ketakutan yang terus-menerus dibiarkan ini berpotensi memicu brain drain di sektor publik: orang-orang terbaik memilih menjauh, enggan mengambil risiko, dan membiarkan ruang strategis dikuasai oleh mereka yang bermain aman atau justru oportunis.

Muruah Negara Hukum
Amnesti dan abolisi ini memang luar biasa, tidak pernah terjadi sebelumnya untuk kasus korupsi yang notabene adalah kejahatan luar biasa. Harapannya, ini menjadi momentum perbaikan yang menyeluruh terhadap sistem hukum kita, untuk tidak lagi menjadikan hukum sebagai senjata mematikan yang 'dianggap' lawan tanpa dasar hukum, rasionalitas, dan kejelasan.

Lebih dari sekadar tindakan politis, langkah ini semestinya dibaca sebagai koreksi besar terhadap cara negara menegakkan hukum: bahwa keadilan tidak boleh tunduk pada kepentingan penguasa, bahwa proses hukum harus berlandaskan bukti, transparansi, dan akuntabilitas.

Tanpa itu, kita hanya akan terjebak dalam lingkaran balas dendam politik dengan bungkus penegakan hukum. Amnesti dan abolisi, jika diiringi dengan reformasi mendasar, bisa menjadi pintu masuk untuk memulihkan muruah hukum-menjadikannya alat keadilan, bukan alat kekuasaan.

Pada akhirnya, harapan terbesar kita sebagai bangsa adalah mengembalikan muruah negara hukum yang sesungguhnya. Penegakan hukum harus berdiri tegak di atas prinsip keadilan substantif, bukan menjadi instrumen perlindungan elit atau alat politik untuk melumpuhkan pihak tertentu.

Sudah saatnya pemberantasan korupsi diarahkan pada aktor-aktor elit yang selama ini justru mengorkestrasi praktik korupsi secara sistematis dan merugikan negara dalam skala besar. Dengan begitu, agenda pemberantasan korupsi tidak hanya menjadi simbol, melainkan benar-benar berfungsi sebagai pilar integritas, akuntabilitas, dan tata kelola pemerintahan yang bersih demi kepentingan rakyat.


(miq/miq)