Krisis Kepemilikan Finansial, Uang di Bawah Bantal ke Era Pembekuan

Fakhrul Fulvian CNBC Indonesia
Jumat, 01/08/2025 11:50 WIB
Fakhrul Fulvian
Fakhrul Fulvian
Fakhrul Fulvian adalah Chief Economist di Trimegah Sekuritas Indonesia. Titel sarjana ekonomi diraih dari Fakultas Ekonomi Universitas Indon... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi rekening. (Edward Ricardo/CNBC Indonesia)

Di masa lalu, persoalan besar sistem keuangan Indonesia bukanlah terlalu banyak uang di bank, melainkan terlalu sedikit. Dalam laporan-laporan Bank Indonesia pada dekade 1970-an, perhatian utama para ekonom adalah soal "monetisasi ekonomi".

Hal itu merupakan sebuah upaya untuk menarik uang tunai yang berserakan di luar sistem perbankan agar bisa masuk dan dikelola secara formal. Uang beredar cepat di pasar-pasar tradisional, dalam transaksi tunai tanpa catatan, namun justru sektor perbankan kekurangan likuiditas.




Waktu itu, masyarakat lebih percaya menyimpan uang di bawah bantal, di celengan bambu, atau dalam bentuk emas fisik. Bank adalah institusi yang jauh, asing, dan tidak bisa dijangkau oleh mayoritas rakyat. Bahkan para pelaku usaha kecil lebih percaya pada simpan-pinjam informal dan arisan keluarga.

Regulasi dan kebijakan fiskal di masa Orde Baru menanggapi ini dengan cara membangun jaringan perbankan nasional dan memperkenalkan berbagai bentuk tabungan yang menarik. Lahirnya Undang-Undang Pokok Perbankan 1967 dan kemudian UU Perbankan 1992 menjadi tonggak penting.

Tujuannya jelas: membangun kepercayaan, agar uang yang berserakan bisa masuk sistem. Karena hanya dengan itulah pemerintah bisa mengelola, menyalurkan, dan menumbuhkan ekonomi secara modern.

Lima puluh tahun berlalu. Kita kini hidup di dunia di mana hampir seluruh uang telah masuk sistem. Gaji ditransfer ke rekening. Subsidi dicairkan lewat aplikasi. Investasi bisa dilakukan lewat satu klik. Dompet digital menggantikan uang fisik. Bahkan anak muda lebih hafal PIN e-wallet daripada wajah petugas teller.

Tapi di balik kemajuan ini, muncul pertanyaan baru yang jauh lebih filosofis: apakah kita masih memiliki uang kita sendiri?

Kita mulai melihat situasi di mana seseorang bangun pagi dan mendapati rekeningnya diblokir. Tanpa sidang, Tanpa pemberitahuan. Kadang hanya karena namanya muncul dalam laporan transaksi mencurigakan.

PPATK, lembaga intelijen keuangan yang sangat penting dalam menjaga integritas sistem, memiliki wewenang yang besar untuk merekomendasikan pembekuan. Tapi bagaimana jika salah sasaran? Bagaimana kalau salah satu dari kita yang menjadi korban dari sistem yang terlalu cepat menilai?

Di masa lalu, tantangannya adalah bagaimana membuat masyarakat percaya bahwa bank itu aman. Kini tantangannya berubah: apakah bank masih bisa dipercaya untuk tidak membekukan uang kita semena-mena?

Didirikan berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, PPATK hadir sebagai garda depan untuk melawan kejahatan finansial. Perannya vital. Di tengah dunia yang penuh skema pencucian uang lintas negara, pendanaan terorisme, dan kejahatan korporasi, kita butuh lembaga intelijen finansial yang cekatan dan berpandangan jauh.

Namun di era digital saat ini, ketika hampir semua transaksi terekam dan nyaris minim ruang privasi finansial, muncul kekhawatiran tentang penggunaan wewenang yang tidak proporsional. Pembekuan bisa dilakukan sebelum ada keputusan hukum. Warga biasa bisa kehilangan akses atas dananya hanya karena kesalahan teknis atau kecurigaan administratif.

Inilah bentuk baru dari krisis kepemilikan: ketika kamu tidak lagi memiliki uangmu karena aksesnya dibatasi, meskipun secara hukum tidak ada vonis bersalah. Dan perubahan belum berhenti di situ. Kita kini memasuki era baru: uang digital yang bisa diprogram.

Bank sentral di berbagai negara, termasuk Bank Indonesia, sedang mengkaji implementasi Central Bank Digital Currency (CBDC). Di saat yang sama, stablecoin yang dikembangkan sektor swasta, seperti USDC, Tether, dan lainnya mulai digunakan dalam sistem pembayaran, investasi, dan pengiriman uang lintas negara.

Uang tak lagi netral. *Ia bisa diprogram untuk hanya digunakan dalam waktu tertentu, di tempat tertentu, dan untuk barang tertentu*. Ia bisa dikendalikan dari pusat, dibatasi, bahkan dipaksa kadaluarsa. Ini tentunya inovasi-inovasi yang akan kita lihat di masa depan dan akan membuat Kebijakan Pemerintah makin efisien.

Bayangkan: subsidi pangan yang hanya bisa digunakan di warung tertentu. Atau insentif transportasi yang tidak bisa dicairkan tunai. Ini efisien, memang. Tapi juga membuka pertanyaan etis besar: apakah kita masih bebas menentukan apa yang kita lakukan dengan uang kita sendiri?

Kita tidak menyadari bahwa uang yang kita simpan di bank sebenarnya hanyalah janji. Ia bukan benda, melainkan entri dalam sistem. Ketika kita membuka aplikasi dan melihat saldo, itu bukan koin atau kertas, melainkan klaim. Dan klaim itu bisa dibekukan.

Krisis kepemilikan finansial hari ini adalah krisis atas klaim: kita tahu kita memilikinya, tapi kita tidak bisa mengaksesnya. Sama seperti seseorang yang memiliki rumah namun digembok oleh otoritas atas alasan sengketa administratif yang belum selesai.

Di dunia tanpa uang fisik, kepemilikan bergantung sepenuhnya pada izin. Izin dari lembaga, izin dari sistem, izin dari pusat data. Dan izin bisa dicabut, bukan karena kamu bersalah, tapi karena sistem belum selesai menilaimu.

Kita tidak sedang menyerang lembaga seperti PPATK. Kita sedang mengajukan pertanyaan lebih besar: bagaimana menjaga integritas sistem, tanpa mengorbankan martabat warga negara? Kita mungkin perlu memikirkan sebuah kerangka baru: semacam Financial Bill of Rights.

Isinya bisa mencakup: Hak atas notifikasi sebelum pembekuan rekening, Hak atas proses banding yang cepat dan transparan, Hak untuk mengetahui dasar hukum dan bukti kecurigaan dan Hak untuk mendapatkan akses darurat atas dana dasar hidup. Mungkin juga Undang-Undang Tentang Uang Nomor 7 tahun 2011 juga harus perlu dibahas perubahannya di tengah dunia yang semakin licin.

Karena dalam sistem yang makin terpusat dan makin digital, tanpa batasan yang jelas, kita mudah tergelincir menjadi masyarakat yang dikendalikan lewat saldo. Di masa lalu, membawa uang ke dalam sistem adalah perjuangan untuk membangun modernitas. Kini, menjaga agar uang dalam sistem tetap benar-benar milik kita adalah perjuangan untuk mempertahankan martabat warga negara.

Uang bukan sekadar alat tukar. Ia adalah ekspresi kebebasan, hasil jerih payah, dan cermin pilihan hidup. Ketika akses atasnya bisa dibatasi tanpa kejelasan, kita tidak hanya kehilangan hak atas properti, kita kehilangan sebagian dari kemanusiaan kita.

Maka mari kita buka diskusi ini. Demi Indonesia yang makin canggih, tapi juga makin adil. Demi sistem keuangan yang tangguh, tapi juga manusiawi. Dan demi generasi masa depan yang tak hanya melek digital, tapi juga berdaulat atas hartanya sendiri. Karena pada akhirnya, pertanyaan itu sederhana: Apakah uang itu milikmu? Atau kamu hanya memegang izin atasnya.


(miq/miq)