Tekanan Fiskal dan Penerapan Belanja Pertahanan Secara Bijaksana

Pembangunan kekuatan pertahanan Indonesia senantiasa memiliki dimensi eksternal karena kegiatan tersebut selalu melibatkan aktor-aktor asing. Aktor-aktor luar negeri yang terlibat dalam pembangunan kekuatan pertahanan antara lain ialah produsen sistem senjata, lembaga keuangan dan perbankan dan pemerintah negara asing.
Tentang peran pemerintah negara asing, hal demikian terkait dengan penerbitan lisensi ekspor ke Indonesia, termasuk pula izin untuk alih teknologi. Tanpa peran aktor-aktor internasional, pembangunan kekuatan pertahanan tidak akan mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Sejak masa Orde Baru, Pinjaman Luar Negeri (PLN) menjadi tumpuan utama kegiatan modernisasi kekuatan pertahanan melalui akuisisi beragam sistem senjata yang tergolong maju, canggih dan sekaligus mahal. Dana Rupiah Murni belum mampu untuk mendukung pembiayaan berbagai sistem senjata tersebut, apalagi pemerintah memberikan prioritas belanja pada sektor-sektor nonpertahanan.
Sampai kini kinerja ekonomi Indonesia belum mampu mendukung alokasi satu persen Pendapatan Domestik Bruto (PDB) bagi sektor pertahanan. Menyangkut persentase PDB, beberapa waktu silam terjadi perdebatan antarkementerian/lembaga tentang pencantuman angka 1,5 persen PDB dalam dokumen Kebijakan Umum Pertahanan Negara 2025-2029 sehingga sempat memunculkan kebuntuan pembahasan dokumen tersebut.
Mengacu pada fakta yang terjadi dan masih akan berlanjut setidaknya hingga tahun depan, belanja pertahanan yang menggunakan skema PLN mengalami tantangan yang cukup besar karena kapasitas fiskal pemerintah saat ini tidak besar. Walaupun pagu APBN Kementerian Pertahanan tahun anggaran 2025 meningkat dibandingkan tahun fiskal 2024, bahkan dengan outlook lebih besar daripada pagu yang sudah ditetapkan, namun kapasitas fiskal untuk penyediaan dana Rupiah Murni Pendamping (RMP) sangat sempit.
Hal ini bukan saja menyebabkan kontrak pengadaan sistem senjata yang dapat diaktivasi pada tahun ini amat sedikit, tetapi pula terdapat kontrak dengan pembayaran uang muka dicicil beberapa kali. Semua hal tersebut terkait dengan alokasi PLN bagi Kementerian Pertahanan periode 2020-2025 senilai US$ 25 miliar, di mana 15 persen pendanaan program harus berasal dari Rupiah Murni.
Saat ini terdapat sejumlah kontrak yang baru saja dan atau akan memasuki tahap efektif. Dari kegiatan aktivasi tersebut tercermin pula kapasitas fiskal pemerintah pada tahun anggaran 2025, di mana pembayaran dana Rupiah RMP sebesar 7,5 persen dari kontrak dilakukan melalui cicilan sebanyak dua atau tiga kali.
Hal demikian menandakan bahwa permintaan dana RMP oleh Kementerian Pertahanan untuk aktivasi kontrak yang disetujui oleh Kementerian Keuangan mungkin hanya berkisar antara Rp 3,5 triliun sampai Rp 4 triliun saja. Sebagai gambaran, dari permohonan dana RMP senilai Rp 6,5 triliun, Rp 2,7 triliun akan dialokasikan bagi aktivasi kontrak kapal selam Scorpene Evolved buatan Naval Group.
Tekanan fiskal yang saat ini dihadapi oleh pemerintah tidak mampu mengerem aspirasi belanja sistem senjata, seperti dicerminkan dari penandatanganan kontrak pembelian jet tempur buatan Turki yang diklaim generasi kelima dan fregat asal Turki. Padahal aktivitas tersebut sesungguhnya memunculkan sejumlah pertanyaan, baik dari aspek regulasi maupun teknologi.
Dari aspek regulasi, Menteri Keuangan belum menerbitkan Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) untuk kedua program atau dengan kata lain anggaran akuisisi belum tersedia. Adapun dari aspek teknologi, jet tempur yang diklaim sebagai generasi kelima tersebut masih jauh dari status matang (mature) sehingga memunculkan risiko besar bagi Indonesia sebagai first export customer.
Penandatanganan kontrak pengadaan sistem senjata tanpa ketersediaan anggaran sebenarnya bukan hal baru, sebab terdapat preseden saat Indonesia meneken kontrak akuisisi enam fregat FREMM pada 4 Juni 2021. Apabila mengacu pada Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sangat jelas dinyatakan bahwa pejabat pemerintah dilarang mengadakan ikatan perjanjian atau menandatangani kontrak dengan penyedia barang/jasa apabila belum tersedia anggaran.
Alangkah baiknya bila proses akuisisi sistem senjata mengikuti ketentuan yang berlaku sehingga tidak akan memunculkan masalah hukum dalam lima atau 10 tahun ke depan. Tidak ada unsur kegentingan dalam urusan pembelian senjata dari Turki sebab Indonesia masih dapat mengandalkan peralatan perang yang dimiliki saat ini bila harus menghadapi perang pada beberapa tahun ke depan.
Bagaimanapun, kegiatan belanja pertahanan harus dilaksanakan secara bijaksana dengan mempertimbangkan sejumlah aspek, seperti fiskal, perencanaan strategis pertahanan dan teknologi. Pertimbangan-pertimbangan tersebut diharapkan dalam menghasilkan keputusan pengadaan sistem senjata yang relatif obyektif dan dapat dipertahankan apabila mendapat kritik.
Kondisi fiskal pemerintah yang penuh tantangan hendaknya disikapi dengan perencanaan strategis pertahanan yang matang, sehingga saat keputusan akuisisi sistem senjata diambil maka teknologi yang dipilih pun sudah mengantisipasi ancaman dan tantangan masa depan. Sebagai contoh, apakah pengadaan pesawat tempur Indonesia masih akan stand-alone ataukah akan mulai menjajaki Manned-Unmanned Teaming (MUM-T) yang antara lain didukung oleh tactical datalink.
Memiliki perencanaan strategis pertahanan yang memadukan antisipasi perkembangan geopolitik, kapasitas ekonomi Indonesia (termasuk kapasitas fiskal) dan kemajuan teknologi pertahanan nampaknya merupakan tantangan besar bagi Indonesia saat ini. Sebab bukan saja diperlukan sumberdaya manusia yang mempunyai pengetahuan mendalam tentang ilmu-ilmu terkait pertahanan guna menyusun perencanaan strategis, namun dibutuhkan pula suatu proses penyusunan perencanaan yang bersedia mendengarkan dan menerima masukan dari berbagai pihak terkait.
Mengingat bahwa sektor pertahanan tidak akan pernah dapat dipisahkan dari kapasitas fiskal pemerintah, belanja pertahanan pada setiap periode perencanaan strategis pertahanan harus mengadopsi skala prioritas. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sampai akhir dekade ini anggaran sektor pertahanan akan bersaing dengan anggaran sektor lain seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), ketahanan pangan, ketahanan energi dan pembangunan desa, koperasi dan UMKM di tengah kapasitas fiskal pemerintah yang masih akan terbatas.
Terkait dengan pembangunan kekuatan pertahanan periode 2025-2029, beberapa waktu lalu Kementerian Perencanaan Nasional/Bappenas sudah menerbitkan Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN) 2025-2029 untuk Kementerian Pertahanan. Dikeluarkannya Blue Book 2025-2029 memunculkan suatu ketidakpastian baru bagi para pelaku industri pertahanan global yang berniaga di Indonesia.
Sebab dokumen tersebut tidak mencerminkan kapasitas fiskal yang tersedia hingga dasawarsa ini berakhir di saat kondisi ekonomi Indonesia diprediksi masih penuh tantangan karena turbulensi domestik dan internasional. Padahal kepastian kapasitas fiskal yang akan mendukung program akuisisi merupakan salah satu hal penting bagi pabrikan sistem senjata internasional.
(miq/miq)