Geliat UMKM & Ekonomi Digital Indonesia yang Berbasis Kapitalisme

Kala pemerintah dan media berbondong-bondong dalam mendorong UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) untuk terus berinovasi dan go digital, saya merasa ada yang luput dari diskusi kita bahwa inovasi bukan sekedar urusan teknologi, justru dominasi sepihak. Siapa yang bisa mengakses modal, pelatihan, dan jaringan itulah yang benar-benar bisa berinovasi. Sementara yang jauh dari akses tersebut, tertinggal dan terpinggirkan.
Pada masa kini kata "inovasi" kerap digunakan bak mantra. Digitalisasi, platformisasi, dan teknologi finansial dianggap dapat menjadi jawaban bagi masalah yang dihadapi UMKM meski begitu, dalam praktiknya menurut data dari Kementerian Komunikasi dan Digital menyebutkan hanya sekitar 13 persen UMKM yang benar-benar terdigitalisasi.
Hal ini menjelaskan bahwa sebagian besar UMKM Indonesia masih berjuang di medan yang tidak setara. Rendahnya literasi digital, kurangnya akses internet yang layak
terutama di wilayah yang terpinggirkan, dan lemahnya daya beli modal adalah tantangan nyata yang tidak dapat diselesaikan dengan seminar atau pelatihan daring.
Transformasi digital memang meningkatkan efisiensi dan akses pasar UMKM, akan tetapi juga memperparah ketimpangan yang terjadi antara UMKM skala kecil dan menengah melawan perusahaan besar. Sebagian UMKM bergantung kepada platform besar seperti Shopee dan Tokopedia, yang secara algoritma lebih menguntungkan pelaku usaha dengan kapasitas produksi tinggi dan anggaran pemasaran pasar. Bukankah ini bentuk dari kapitalisme digital?
Platform besar menciptakan ketergantungan seperti kolonialisme digital, tapi juga menjalankan logika kapitalisme dengan mengeksploitasi kekuatan pasar dan modal untuk hegemoni sepihak. Ketimbang membebaskan UMKM dari keterbatasan pasar tradisional malahan banyak dari mereka yang terjebak oleh ekosistem yang eksploitatif.
Platform besar menuntut biaya promosi, potongan hasil jualan, dan berbagai fitur berbayar yang hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki modal lebih besar, sedangkan pelaku UMKM yang memiliki modal kecil tidak bisa beriklan, dan tidak mampu dalam persaingan harga justru membuatnya semakin tenggelam.
Ini adalah salah satu bentuk dari ketimpangan yang lahir di era digital. Di tempat terpencil yang jauh dari infrastruktur yang mumpuni, banyak pelaku UMKM yang memiliki keterikatan kuat terhadap nilai-nilai lokal. Mereka tidak sekedar berjualan tetapi juga menjaga tradisi, budaya, dan relasi sosial.
Dalam hal ini inovasi bisa memperkuat nilai-nilai lokal tersebut, bukan semata mengadopsi teknologi terbaru. Contoh, inovasi dalam desain batik yang tetap mempertahankan filosofi budaya lokal namun menyesuaikan selera pasar.
Pemerintah seharusnya tidak hanya mendorong UMKM untuk ikut serta dalam perlombaan digital tetapi juga menyediakan lintasan yang setara. Ini berarti kebijakan afirmatif untuk wilayah-wilayah yang tertinggal, pelatihan digital yang berbasis komunitas, dan intensif fiskal untuk pelaku usaha mikro.
Pembangunan internet harus dikawal ke desa-desa, dan literasi digital harus dikaitkan dengan literasi keuangan ,kewirausahaan dan hak-hak konsumen-produsen di dunia digital. Dari sudut pandang ekonomi politik, inovasi harus dilihat sebagai proses yang menyangkut distribusi sumber daya dan akses terhadap kesempatan.
Bukan soal siapa yang menciptakan teknologi, tetapi siapa yang bisa menggunakannya dan siapa yang benar-benar dapat memanfaatkannya. Maka, pembangunan
UMKM yang berbasis inovasi harus bersifat inklusif, partisipatif, dan berkeadilan.
Pandangan saya, inovasi hanya akan menjadi milik mereka yang sudah memiliki modal sejak awal. Inovasi yang sejati seharusnya adalah inovasi yang membebaskan, memberi peluang yang setara bagi pelaku usaha tidak hanya mendorong mereka dalam mengejar teknologi tetapi mampu memanfaatkan perubahan berdasarkan budaya lokalnya.
Negara harus berani mengatur dan mengoreksi dalam praktik platformisasi yang merugikan, serta membangun ekosistem inovasi yang berpihak kepada yang lemah. UMKM yang semestinya menjadi penopang perekonomian nasional akan terus dipinggirkan dan menyaksikan revolusi digital dari kejauhan tanpa terlibat di dalamnya.
Saatnya untuk membalikkan pertanyaan dari "mengapa UMKM belum berinovasi?" menjadi " apa yang menghalangi mereka untuk berinovasi?" hanya dengan inilah
kita dapat memahami hambatan struktural yang terjadi dan kita bisa membangun kebijakan yang benar berpihak kepada yang lemah.
Pada akhirnya inovasi yang adil bukan hanya tentang siapa yang cepat mengadopsi teknologi, tetapi siapa yang diberi kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang.
(miq/miq)