Relevansi Tarif Resiprokal 19% bagi Ekonomi Indonesia

Mungkin banyak orang menilai, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sudah "gila" dengan menerapkan kebijakan tarif resiprokal impor yang tinggi kepada negara mitra dagangnya termasuk Indonesia. Dikatakan "gila", karena telah banyak analisis dari IMF, Bank Dunia, OECD, dan lain-lain menyebut kebijakan tarif impor diperkirakan memicu pertumbuhan ekonomi dunia melemah termasuk di AS sendiri. Lalu, kenapa Trump masih "keras kepala" melanjutkan kebijakan yang merugikan diri sendiri itu?
Bagi penulis, Trump justru cerdas sekaligus cerdik. Kenapa begitu? Mari kita bayangkan, kalau kita yang menjadi presiden AS, yang dihadapkan pada kondisi daya saing manufakturnya yang mulai terkejar oleh negara-negara lain seperti China dan Eropa.
Banyak pelaku industri asal AS justru membangun pabriknya di luar AS seperti di Kanada, Meksiko dan China karena alasan global supply chain yang lebih efisien. Karena yang menjadi market terbesar atas produk yang dihasilkan oleh pabrikan di luar negeri adalah AS, situasi ini menyebabkan peningkatan terhadap defisit neraca perdagangan AS.
Meskipun AS menikmati manfaat ekonomi dari pabrikan milik pengusaha asal AS di luar AS tersebut, yaitu melalui repatriasi modal dan perpajakan, namun value creation-nya bagi ekonomi AS tidak maksimal. Lapangan kerja yang tercipta atas manufaktur milik pengusaha AS di luar negeri, tidak bisa dinikmati oleh pekerja asal AS.
Belum lagi, isu terkait dengan pengembangan teknologi dan kapasitas sumber daya manusia di negara tempat pabrikan beroperasi. Kondisi tersebut menjadi isu yang sensitif karena pengusaha AS yang memiliki pabrik di luar negeri justru telah memberikan kesempatan manufaktur negara lain lebih berkembang dibanding negara asalnya sendiri, AS.
Kondisi-kondisi inilah yang oleh Presiden Trump hendak "dikoreksi" melalui kebijakan tarif impor yang tinggi. Meskipun dalam berbagai forum terbuka Trump mengemukakan bahwa alasannya adalah untuk mengurangi defisit neraca perdagangan, namun Trump sebenarnya memiliki agenda lebih besar, yaitu melakukan reformasi struktural untuk memperkuat industrialisasi di dalam negeri.
Melalui kebijakan tarif impor yang tinggi, harga barang dari luar AS menjadi lebih mahal. Kondisi itu akan merangsang kenaikan permintaan terhadap barang-barang yang diproduksi di dalam negeri.
Selain itu, kebijakan tarif impor yang tinggi, juga akan merangsang para produsen (dari dalam dan luar AS) untuk membangun pabriknya di AS, mengingat AS adalah market yang besar. Tidak cukup dengan kebijakan tarif impor yang tinggi, pemerintah AS juga memberikan berbagai insentif fiskal untuk mendorong pertumbuhan dunia usaha secara lebih masif di AS.
Kedudukan AS sebagai jangkar utama ekonomi dunia, juga menjadi insentif bagi produsen yang membangun industri di AS. Mereka tidak hanya terfasilitasi pasarnya di AS, tetapi juga memiliki peluang memperluas pasar di luar negeri melalui pemanfaatan posisi AS dalam kancah geopolitik global.
Berdasarkan skenario tersebut, ke depannya, AS akan memperoleh manfaat dan penciptaan nilai (value creation) yang lebih besar. Dalam jangka panjang, insentif fiskal yang dikeluarkan akan tergantikan dengan penerimaan perpajakan yang lebih besar.
Sementara itu, meningkatnya aktivitas manufaktur di AS juga akan menciptakan kesempatan kerja yang luas bagi rakyat AS. Ekonomi AS berpotensi tumbuh lebih tinggi. Dan yang paling penting, posisi AS sebagai pusat manufaktur di dunia dapat dipertahankan. Pertanyaannya, lalu kenapa konsep yang begitu baik tersebut kemudian oleh para analis dan ekonom justru dinilai berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi di AS dan dunia?
Kebijakan tarif Trump adalah sebuah perubahan drastis dalam pengelolaan ekonomi suatu negara. Trump pasti telah memahami implikasi dari kebijakannya tersebut. Dalam setiap perubahan pasti akan menimbulkan transisi. Dan selama transisi, pasti akan "memakan korban" karena tidak siap dengan perubahan. Nah, kondisi inilah yang kemudian menimbulkan dampak berupa perlambatan ekonomi.
Kebijakan tarif tinggi, dalam jangka pendek, pasti memberikan dampak kenaikan inflasi. Ini mengingat, barang yang terdampak oleh kenaikan tarif tidak secara cepat dapat digantikan oleh barang produksi dalam negeri. Dalam situasi ini, dalam jangka pendek, pertumbuhan ekonomi AS akan tertekan.
Trump pasti telah sangat memahami hal ini. Itulah kenapa, bersamaan dengan pemberlakuan kebijakan tarif impor tinggi, Trump mendorong insentif melalui fiskal yang longgar. Trump juga mendorong agar sektor moneter juga dibuat lebih longgar untuk meningkatkan pasokan likuiditas bagi perekonomian.
Tujuannya adalah perlambatan ekonomi tidak berlangsung lama dan selanjutnya bisa tumbuh lebih cepat. Itulah kenapa Trump sering mengkritik kebijakan moneter yang dilakukan bank sentral AS, the Fed, yang cenderung ketat (tight money policy) dan tidak kunjung menurunkan suku bunga.
Trump adalah seorang dovish. Dia lebih percaya bahwa inflasi tinggi yang terjadi di AS sejak tahun 2022 lebih banyak disebabkan faktor pasokan (supply side), yaitu kenaikan biaya produksi akibat gangguan supply chain pascapandemi Covid-19. Sehingga, keliru bila inflasi tinggi akibat gangguan pasokan diredam melalui kenaikan suku bunga yang semestinya dipergunakan untuk meredam inflasi akibat permintaan (demand side).
Pandangan Trump ini sama dengan Joseph E. Stiglitz ketika memberikan kritiknya terhadap cara the Fed menangani inflasi di AS. Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi 2001, menyebut the Fed salah mendiagnosa penyebab inflasi di AS. Stiglitz menganggap inflasi tinggi di AS cenderung disebabkan masalah pasokan (supply side) bukan oleh kuatnya permintaan (aggregate demand). Sebab, pasokan barang dan jasa memang sedang terganggu di dunia akibat masa Pandemi Covid-19 dan perang Ukraina-Rusia.
Dari perspektif ini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa ekonomi AS memang sedang dibangun dengan pendekatan yang berbeda dibanding pemerintahan sebelumnya. Dan Trump sangat berkepentingan seluruh pemangku kepentingan, baik di parlemen (Senat dan Kongres) maupun otoritas moneter (the Fed) mendukung pendekatan yang diambil untuk membangun ekonomi AS. Sebab tanpa dukungan tersebut, Trump tentu kesulitan mewujudkan pertumbuhan ekonomi sesuai dengan ekspektasinya.
Relevansi Tarif Resiprokal 19%
Pada 2 April 2025, Trump mengumumkan pengenaan tarif resiprokal untuk negara-negara mitra dagangnya. Pada saat itu, Indonesia dikenakan tarif resiprokal sebesar 32%. Kemudian, Trump menunda pemberlakuan tarif resiprokal selama 90 hari untuk memberikan ruang negosiasi bilateral antara AS dengan seluruh negara mitranya.
Pada saat berakhirnya masa penundaan, 7 Juli 2025, Trump mengumumkan tarif resiprokal untuk Indonesia tetap sebesar 32%. Dalam perjalanannya, negosiasi berlanjut. Presiden RI Prabowo Subianto bertelepon langsung dengan Trump.
Sedangkan di tingkat teknis, Tim Negosiasi Tarif yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga bergerak bernegosiasi dengan tim dari pemerintah AS. Hasilnya, pada 16 Juli 2025, Trump mengumumkan tarif resiprokal untuk Indonesia sebesar 19% yang akan berlaku efektif mulai 1 Agustus 2025.
Dalam pengumuman tarif resiprokal tersebut, Trump menyatakan sebagai bagian dari kesepakatan tarif resiprokal 19%, Indonesia berkomitmen akan membeli produk-produk dari AS dengan perincian produk energi senilai US$15 miliar, produk pertanian senilai US$4,5 miliar dan sebanyak 50 pesawat Boeing 777.
Trump juga menyatakan sebagai bagian dari kesepakatan tarif resiprokal 19%, AS memiliki akses ke pasar Indonesia secara penuh (complete and total access) dan ekspor AS ke Indonesia akan bebas dari hambatan perdagangan baik hambatan tarif maupun non-tarif.
Terkait dengan kesepakatan tarif tersebut, penulis memiliki pandangan sebagai berikut. Pertama, bila sampai dengan 1 Agustus 2025, tidak ada perubahan terhadap struktur tarif resiprokal yang diterima negara lain (terutama kompetitor Indonesia), maka tarif resiprokal sebesar 19% tersebut merupakan tarif yang menguntungkan bagi Indonesia. Ini mengingat, sejauh ini, tarif resiprokal yang diterima Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan tarif yang diterima negara-negara lain.
Indonesia sangat membutuhkan tarif resiprokal yang lebih rendah dibandingkan kompetitornya untuk menjaga daya saing produk ekspor ke AS. Sejauh ini, komoditas utama ekspor Indonesia ke AS adalah tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki (sepatu), hasil perkebunan (CPO, kopi, karet, kakao), mesin, perlengkapan elektronik dan peralatan listrik, hasil perikanan (udang, biota air, fillet ikan dan kepiting), serta besi dan baja.
Tarif resiprokal yang rendah sangat relevan dengan kebutuhan manufaktur kita saat ini. Perlu diketahui manufaktur kita saat ini berada dalam kondisi yang cukup memprihatinkan. Hal ini terlihat dari data Indeks Produksi-nya (IP) yang belum sepenuhnya pulih dibandingkan kondisi sebelum pandemi Covid-19.
Di sisi lain, produk yang dihasilkan oleh manufaktur kita memiliki ketergantungan yang tinggi pada pasar ekspor di AS dan Eropa. Sehingga, bila ekspor terganggu akibat tarif tinggi, hal ini akan semakin menekan kondisi manufaktur kita. Sementara itu, manufaktur kita merupakan industri yang padat karya (labor intensive) sehingga eksistensinya sangat penting untuk menjaga kondisi ketenagakerjaan kita yang juga masih menghadapi tantangan yang cukup berat.
Tarif resiprokal yang lebih rendah setidaknya memiliki dua keuntungan bagi kita. Pertama, menjaga daya tahan (survival level) industri di dalam negeri, sebagaimana dijelaskan di atas. Kedua, menjadi peluang bagi manufaktur kita untuk mengambil pangsa ekspor negara lain yang memiliki ekspor ke AS. Tarif impor yang lebih tinggi yang diterima negara lain, akan mendorong pembeli dari AS beralih membeli produk sejenis ke negara lain, termasuk ke Indonesia sehingga berpotensi mendongkrak ekspor kita.
Tidak hanya itu, Indonesia juga berpotensi menjadi tempat relokasi investasi manufaktur dari negara-negara tetangga, yang memiliki tarif resiprokal lebih tinggi. Dalam perspektif jangka menengah dan panjang, tarif resiprokal yang lebih rendah, akan menguntungkan posisi manufaktur kita ke depan, sekaligus berpotensi mendorong kesempatan kerja yang lebih luas di dalam negeri.
Sejauh ini, negara yang memiliki produk ekspor ke AS yang relatif sama dengan Indonesia adalah Vietnam, Meksiko, China dan Thailand. Dan sejauh ini tarif resiprokal yang mereka terima dari AS masih lebih tinggi dibanding yang diterima Indonesia.
Tarif resiprokal untuk Vietnam, misalnya, masih di level 46%. Menurut sejumlah pemberitaan, Vietnam sedang bernegosiasi dengan AS untuk menurunkan tarif resiprokalnya ke level 20%. Kalaupun tarif resiprokal sebesar 20% diperoleh Vietnam, secara relatif masih lebih tinggi dibanding Indonesia. Bila Indonesia mampu menjaga daya saing investasinya, Indonesia berpeluang memperoleh huge wins berupa relokasi manufaktur dari negara-negara lain.
AS Memperoleh Akses Secara Penuh ke Pasar Indonesia?
Kedua, Trump menyebutkan bahwa sebagai bagian dari kesepakatan tarif resiprokal sebesar 19%, AS akan memiliki akses ke pasar Indonesia secara penuh (complete and total access) dan ekspor AS ke Indonesia akan bebas dari hambatan perdagangan baik hambatan tarif maupun non-tarif. Pertanyaannya, apa sebenarnya maksud pernyataan Trump sebagai "akses penuh" tersebut?
Penulis melihat, Trump dengan pernyataannya sebenarnya memiliki agenda lain. Trump itu pengusaha. Dia sangat paham bagaimana memanfaatkan posisi tawarnya yang kuat (bargaining power) kepada mitra dagangnya. Kini, AS masih bernegosiasi dengan negara-negara mitra dagangnya.
Pernyataan "akses penuh" terhadap pasar Indonesia yang disampaikan secara terbuka sebenarnya bagian dari upaya Trump untuk "menekan" negara-negara lain yang kini sedang bernegosiasi dengan AS untuk memberikan "kompensasi lebih" kepada AS, melebihi apa yang telah diberikan Indonesia. Itu adalah pernyataan bersayap dari seorang presiden, politisi, yang memiliki intuisi sebagai pedagang!
Perlu diketahui bahwa tanpa atau dengan pernyataan Trump sebagai "akses penuh" tersebut, sebenarnya dalam koridor perjanjian perdagangan yang telah eksis, Indonesia telah memberikan "akses penuh" kepada produk-produk asal AS ke Indonesia. Telah banyak produk asal AS yang telah diberikan kemudahan tarif impor 0%.
Kalau diperiksa ke buku tarif bea masuk di Direktorat Jenderal Bea Cukai, memang sebagian besar tarif impor untuk produk asal AS sudah 0%. Toh, dengan tarif impor sebesar 0% selama ini, neraca perdagangan kita konsisten mencatatkan surplus dengan AS. Indonesia juga telah memberikan akses investasi kepada investor asal AS "secara penuh" dengan berbagai fasilitas dan kemudahan, sama dengan investor asal negara lain.
Sebagai bagian dari kesepakatan tarif resiprokal sebesar 19% yang diterima Indonesia, Indonesia juga membuat komitmen khusus akan membeli produk energi, produk pertanian dan pesawat Boeing 777 dari AS. Pertanyaannya, akankah komitmen ini akan merugikan posisi neraca perdagangan kita? Jawabannya tidak.
Ini mengingat, produk-produk yang akan kita impor dari AS sebenarnya produk yang memang kita butuhkan dan selama ini kita impor dari negara lain. Kita mengimpor gandum dari Eropa. Kita juga mengimpor produk energi dari Singapura. Dengan kesepakatan tersebut, yang terjadi adalah pergeseran negara asal impor kita yaitu dari Eropa dan Singapura ke AS.
Mungkin yang perlu diantisipasi adalah implikasi dari pergeseran negara asal impor tersebut ke AS. Pertama, harga barang impor (landed price) berpotensi menjadi lebih mahal, karena faktor jarak yang lebih jauh. Kedua, aspek kelancaran pasokan, karena faktor geopolitik.
Nah, agar kebijakan impor tersebut dapat dijalankan maka payung hukum bagi pelaku usaha yang menjalankan program pemerintah tersebut perlu dipersiapkan. Tujuannya adalah untuk memberikan kepastian hukum agar di kemudian hari tidak menimbulkan implikasi hukum bagi pelaku usaha (BUMN dan swasta) yang menjalankannya.
Dengan terbukanya akses penuh terhadap produk AS, khususnya barang modal dan barang antara (intermediate goods), Indonesia sebenarnya berpeluang memperoleh keuntungan lainnya. Keuntungan tersebut berupa kesempatan untuk mengimpor teknologi maju, peralatan investasi, produk teknologi informasi dan komunikasi (TIK), serta produk bernilai tambah tinggi lainnya dengan harga yang lebih kompetitif.
Namun demikian, tentunya kesempatan ini tidak diartikan sebagai relaksasi atau pelonggaran terhadap Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) secara penuh. Dalam koridor tertentu, kebijakan terkait impor dari AS, tetap perlu diimbangi dengan upaya melindungi perkembangan industri dalam negeri melalui kebijakan TKDN.
Berdasarkan analisa di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Indonesia dalam posisi yang relatif diuntungkan dengan tarif impor resiprokal sebesar 19% tersebut. Dengan catatan bahwa posisi tarif resiprokal yang diperoleh negara lain tidak berubah sampai dengan tanggal berlaku efektif, 1 Agustus 2025.
Kebijakan tarif impor resiprokal tersebut semestinya menjadi pendorong untuk mempercepat pemulihan ekonomi kita, khususnya sektor manufaktur. Sekaligus juga seharusnya menjadi momentum untuk mendorong masuknya investasi dalam rangka mempercepat monetisasi dari berbagai infrastruktur yang telah kita bangun seperti infrastruktur konektivitas, kawasan industri, kawasan ekonomi khusus (KEK), dan lain-lain.
Tentunya, upaya negosiasi dengan AS tidak berhenti dengan diperolehnya tarif resiprokal yang lebih rendah. Proses negosiasi dengan AS lainnya harus terus dilakukan untuk memaksimalkan hubungan ekonomi yang semakin baik dengan AS.
Mudah-mudahan, kebijakan tarif resiprokal ini justru menjadi momentum yang positif bagi perekonomian Indonesia, di tengah berbagai analisis yang cenderung memberikan wajah suram terhadap prospek ekonomi global pascakebijakan tarif Trump tersebut.
(miq/miq)